TintaSiyasi.id -- Berbagai bencana seperti banjir, tanah longsor, hingga puting beliung melanda beberapa daerah di Indonesia.
Angin puting belung, banjir, dan abrasi pantai terjadi di Kabupaten Tolitoli, Morowali Utara, dan Boul. Lima wilayah Rukun Tetangga (RT) di Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, terendam banjir rob (antaranews.com, 23-11-2025).
Tanah longsor melanda Desa Cubeunying Cilacap dengan total korban terdampak berjumlah 46 orang. 23 orang selamat, 18 menjnggal dunia, dan 5 orang lainnya masih dalam pencarian (bbc.com, 18-11-2025). Longsor juga melanda Desa Pandanarum, Banjarnegara Jawa Tengah, BPBD memperkirakan 27 warga masih tertimbun tanah longsor (cnnindonesia.com, 17-11-2025).
Dari data tersebut banya warga menjadi korban dan belum terevakuasi. BNPB dan BPBD kesulitan dalam proses evakuasi akibat kendala cuaca, medan dan keterbatasan tim.
Pada sistem sekuler kapitalistik, sering kita dapati kebijakan yang justru menjadi penyebab munculnya potensi bencana. Bencana alam banyak terjadi akibat kesalahan tata kelola ruang hidup dan lingkungan. Contohnya, penggundulan hutan dan alih fungsi lahan terutama di zona penyangga (hutan), 35% hutan Indonesia rusak, bahkan hilang. Juga berbagai proyek industrialisasi di berbagai daerah, pembangunan fisik yang jor-joran, serta penanganan daerah aliran sungai yang timbul tenggelam, dan sebagainya. Hal ini, seakan sulit tindak lanjuti karena kebijakan penguasa berkelindan dengan kepentingan para pemilik modal.
Penanganana bencana lamban menunjukkan sistem mitigasi masih lemah dan tidak komprehensif. Masyarakat kurang diberikan informasi, bukan hanya terkait akan datangnya bencana tetapi juga upaya yang bisa dilakukan masyarakat untuk meminimalkan risiko seperti jalur evakuasi, barang-barang yang terkategori penting, cara evakuasi terhadap kalangan yang lemah fisik (balita, lansia, dan orang sakit).
Negara seharusnya bertanggung jawab untuk menyediakan data dan informasi, ketersediakan teknologi, fasilitas umum dan alat. Namun, negara selalu gagap ketika terjadi bencana. Tampak bahwa tidak ada upaya serius dari negara untuk memberdayakan segala sumber daya yang ada demi mengoptimalkan penanggulangan bencana, serta ketidak seriusan penguasa dalam menyiapkan kebijakan preventif dan kuratif dalam mitigasi bencana.
Berbeda hal dalam sistem Islam, yang memandang bencana dengan dua dimensi yaitu ruhiyah dan siyasiyah. Dimensi ruhiyah, dimana negara memahamkan rakyat bahwa bencana sebagai tanda kekuasaan Allah.
Allah mengingatkan manusia terkait bencana adalah akibat ulah manusia, seperti yang Allah sampaikan dalam TQS Ar-Rum ayat 41 yang artinya, "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)". Masyarakat menjadi paham bahwa merusak alam adalah dosa dan membahayakan kehidupan.
Pada dimensi siyasiyah, negara dalam menetapkan kebijakan tidak akan merusak alam dan merugikan rakyat. Melakukan mitigasi bencana secara serius dan komprehensif dalam rangka menjaga keselamatan jiwa rakyatnya.
Dalam sistem Islam, saat bencana terjadi, pemerintah bertanggung jawab memberikan bantuan secara layak. Evakuasi korban dengan cepat, menyediakan tempat pengungsian yang layak, konsumsi terjamin dan obat-obatan memadai. Penguasa melakukan pendampingan hingga para korban bencana mampu menjalani kehidupannya secara normal kembali pasca bencana. Karena sejatinya peran negara sebagai raa'in yakni mengurus dan melayani kepentingan rakyat, termasuk melindungi mereka dari bencana.[]
Puput Weni R.
(Aktivis Muslimah)