TintaSiyasi.id -- Di balik setiap bencana yang menimpa sebuah negeri, selalu ada pesan Ilahi yang mengetuk pintu kesadaran. Al-Ghazali pernah menegaskan bahwa musibah adalah seruan lembut dari Allah agar manusia kembali kepada-Nya, memperbaiki diri, dan menata ulang sistem hidup yang menyimpang dari jalan yang lurus. Bukan semata fenomena alam, bencana adalah peringatan dan pendidikan bagi manusia.
Kepemimpinan: Amanah Berat yang Menentukan Nasib Umat
Dalam Islam, kepemimpinan bukan sekadar jabatan, tetapi amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya."
(HR. Bukhari)
Karena itu, pemimpin wajib melindungi rakyat, mengurus mereka, dan memastikan harta kekayaan alam dikelola demi kesejahteraan publik. Ketika rakyat menderita akibat banjir, longsor, dan rusaknya ekosistem, itu bukan semata kesalahan alam—tetapi buah dari kelalaian dan salah kelola para pemangku kekuasaan.
Bencana Sumatra: Cermin Buruknya Pengelolaan Sumber Daya Alam
Banjir yang melanda berbagai wilayah Sumatra bukan kejadian yang berdiri sendiri. Ia adalah akumulasi dari kerusakan hutan, pembiaran tambang ilegal dan legal yang eksploitatif, serta pengalihan kepemilikan lahan kepada korporasi besar yang berorientasi profit. Inilah buah pahit dari penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan:
alam sebagai komoditas,
manusia sebagai objek pasar,
kekuasaan sebagai alat melindungi oligarki,
dan lingkungan sebagai korban keserakahan.
Padahal, dalam pandangan Islam, Sumber Daya Alam adalah milik rakyat, bukan korporasi. Negara hanyalah pengelola amanah, bukan makelar yang menyerahkannya kepada swasta untuk meraup keuntungan.
Sayangnya, praktik kebijakan ekologis hari ini menunjukkan ketidakmampuan negara mengendalikan eksploitasi. Hutan ditebang tanpa kendali, gambut dikeringkan, dan tambang dibuka tanpa kajian matang. Tidak heran bencana datang silih berganti.
Gagalnya Kebijakan Ekologis Modern
Para pakar lingkungan dan akademisi sejak lama memperingatkan bahwa:
Kebijakan berbasis kapitalisme tidak pernah menjadikan lingkungan sebagai prioritas,
Regulasi sering tunduk pada kepentingan investor,
Penegakan hukum lemah,
Rehabilitasi lahan hanyalah formalitas.
Bencana Sumatra hanyalah puncak dari gunung es kegagalan kebijakan ekologis nasional. Dalam jangka panjang, kerusakan ini bukan hanya menciptakan banjir tahunan, tetapi juga mengancam:
ketahanan pangan,
kualitas air,
kesehatan publik,
dan keberlanjutan generasi mendatang.
Pandangan Islam: Alam adalah Ayat Tuhan
Dalam Islam, alam bukan objek eksploitasi, melainkan:
amanah,
rahmat,
dan manifestasi tanda-tanda kebesaran Allah.
Al-Qur’an mengingatkan:
> “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatannya, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini sangat relevan dengan kondisi ekologis Indonesia hari ini. Kerusakan yang kita saksikan bukan semata takdir, tetapi konsekuensi dari sistem hidup yang jauh dari nilai-nilai Ilahi.
Saatnya Para Pemimpin Bertobat dan Kembali kepada Syariat
Musibah yang terjadi seharusnya menjadi bahan renungan bagi para pemimpin negeri ini. Sudah saatnya:
berhenti menyalahkan curah hujan,
berhenti menutupi kesalahan dengan jargon pembangunan,
dan mulai bertanggung jawab secara moral, politik, dan spiritual.
Islam menawarkan sistem pengelolaan alam yang berkeadilan, berkelanjutan, dan menempatkan kemaslahatan rakyat sebagai tujuan utama. Dalam sistem Islam:
Negara wajib menjaga hutan dan lingkungan,
SDA tidak boleh diprivatisasi,
Eksploitasi harus mengikuti kaidah syar’i,
dan pemimpin wajib hadir di tengah rakyat yang tertimpa musibah.
Bencana sebagai Ajakan Menata Arah Peradaban
Umat Islam harus menyadari bahwa keberkahan suatu negeri ditentukan oleh ketaatan kepada Allah dan keadilan pemimpin. Al-Qur’an menegaskan:
“Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami bukakan bagi mereka keberkahan dari langit dan bumi.”
(QS. Al-A’raf: 96)
Ayat ini mengandung pesan penting: keseimbangan ekologi lahir dari keseimbangan spiritual dan politik.
Penutup: Kembali Kepada Jalan Lurus
Banjir di Sumatra bukan hanya peristiwa alam, tetapi peringatan keras bahwa:
sistem kapitalisme merusak,
kebijakan ekologis gagal,
dan manusia telah jauh dari amanah pengelolaan bumi.
Saatnya pemimpin dan rakyat bersama-sama kembali kepada prinsip Islam yang mulia: menjaga bumi, melindungi rakyat, dan menegakkan keadilan.
Semoga Allah menganugerahkan pemimpin yang amanah, negeri yang berkah, dan masyarakat yang sadar bahwa menjaga alam adalah bagian dari iman.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Sekjen Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa)