Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Banjir dan Longsor Sumatra Belum Ditetapkan sebagai Bencana Nasional: Inikah Kelalaian terhadap Bencana Ekologis demi Kebijakan Populis?

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:48 WIB Last Updated 2025-12-05T21:48:45Z
TintaSiyasi.id -- Banjir bandang dan longsor yang menimpa tiga provinsi yakni Sumatra Utara, Barat, dan Aceh telah membuat netizen menyeru pemerintah agar menetapkan status bencana tersebut sebagai bencana nasional. Namun, pemerintah belum segera menetapkan sebagai bencana nasional. Pemerintah beralasan karena korban bencana Sumatra tidak sebanyak korban tsunami Aceh dan gempa di Palu. Padahal, kerusakan yang diakibatkan banjir dan longsor di Sumatra lebih daripada tsunami Aceh. 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan, jumlah korban meninggal akibat bencana banjir dan tanah longsor di Sumatra bertambah menjadi 659 orang berdasarkan Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Bencana (Pusdatin BNPB), Senin (2-12-2025), yang ter-update pada pukul 17.00 WIB. Sebanyak 475 orang dinyatakan hilang. Sementara itu korban luka-luka dalam bencana ini mencapai 2.600 orang. Jumlah warga terdampak banjir besar di Aceh, Sumut, dan Sumbar tembus 3,2 juta jiwa. Data ini bisa saja bertambah seiring berjalannya waktu dan proses penyelamatan korban.

BNPB juga menyatakan setidaknya 290 ribu orang mengungsi akibat bencana yang terjadi di 46 kabupaten dan kota tersebut, serta setidaknya 2.800 rumah rusak—baik ringan, sedang, maupun berat. BNPB belum menetapkan peristiwa banjir bandang di wilayah Aceh, Sumatra Utara, hingga Sumatra Barat sebagai bencana nasional. Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto menjelaskan penetapan status bencana nasional berdasarkan pertimbangan dari skala korban dan akses menuju lokasi bencana. Ia sempat menyampaikan, kondisi banjir bandang tidak begitu mengerikan seperti di media sosial. Walaupun setelah itu dia minta maaf atas ucapannya tersebut.

Pemerintah gamang menetapkan banjir bandang Sumatra sebagai bencana nasional patut diduga karena keterbatasan anggaran. Padahal seharusnya pemerintah fokus kepada bencana ekologis yang sudah memakan banyak korban. Di sisi lain, pemerintah hari ini lebih fokus menjalankan program makan bergizi gratis (MBG) yang menghabiskan dana yang cukup fantastis. Dari sini seolah-olah pemerintah lebih condong menggelontorkan anggaran demi program MBG yang tampak sebagai kebijakan populis daripada menyelesaikan bencana ekologis ataupun menghadapi tantangan krisis ekologis.

Menyorot Pemerintah Tampak Condong kepada Kebijakan Populis daripada Krisis Ekologis

Di media sosial ramai netizen menuntut pemerintah yang gagal menjaga hutan dan membiarkan pembalakan hutan, deforestasi, dan bencana ekologis yang menyebabkan umat manusia, satwa, dan cagar alam di Sumatra rusak parah hingga menyebabkan bencana ekologis. Indonesia memang kaya akan hutan, bahkan mendapatkan julukan zamrud khatulistiwa. Namun, semuanya hancur dan rusak karena pemerintah membiarkan para kapitalis mengubah hutan menjadi sawit atau ekploitasi penambangan yang tidak mengindahkan dampak ekologis hutan.

Dalam berbagai kebijakan pemerintah tampak membiarkan alam terutama hutan rusak akibat eksploitasi yang dilakukan para oligarki dan kapitalis asing. Hal ini tampak dari beberapa hal sebagai berikut. Pertama, UU Omnibus Law sebutan untuk UU Cipta Kerja (termasuk Perppu-nya) memiliki dampak signifikan terhadap hutan, terutama dalam potensi pelemahan perlindungan lingkungan, seperti penghapusan batas minimal luas kawasan hutan dan potensi kriminalisasi pembela lingkungan. Kebijakan ini dianggap dapat meningkatkan deforestasi, ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan habitat satwa, serta potensi konflik sosial dengan masyarakat adat yang bergantung pada hutan. Selain itu, dampak yang tampak hari ini adalah bencana ekologis. 

Kedua, hukum lemah kepada oligarki dan kapitalis asing pengrusak ekosistem. Di hutan sebenarnya ada polisi yang bertugas untuk menjaga hutan. Namun, karena kekuatan tanda tangan atau legitimasi pemerintah setempat. Aparat maupun rakyat tidak bisa berkutik dengan praktik pembalakan hutan yang terjadi. Walhasil, mereka bebas merusak hutan di Indonesia. Apalagi hutan di Sumatra adalah hutan tropis primer. Jika rusak dampaknya nyata, sebagaimana yang terjadi di Sumatra yakni bencana ekologis. 

Ketiga, porsi anggaran untuk menjaga lingkungan lebih sedikit dibandingkan dengan anggaran untuk kebijakan populis. Berdasarkan catatan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara, pemerintah lebih sibuk kebijakan yang bersifat populis dan lalai akan krisis ekologis. Pada 2026, Bhima sampaikan, anggaran MBG mencapai Rp335 triliun atau sekitar 8,72 persen dari belanja negara yang sebesar Rp3.842,7 triliun.

Bhima membandingkan anggaran MBG tercatat 125 kali lebih besar dibandingkan anggaran untuk BMKG sebesar Rp2,67 triliun, 240 kali lebih besar daripada Basarnas yang sebesar Rp1,4 triliun, dan 680 kali lebih banyak dibandingkan anggaran untuk BNPB yang hanya sebesar Rp490 miliar. Ironisnya, kata Bhima, justru lembaga-lembaga inilah yang menangani dampak bencana akibat deforestasi dan krisis iklim. Sektor penting kekurangan anggaran, sementara program konsumsi jangka pendek membengkak.

Hal ini adalah konsekuensi nyata dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Pemerintah lebih memilih hukum berdasarkan kepentingan hawa nafsu manusia daripada menegakkan hukum yang telah diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. Sistem sekuler kapitalisme menjadi biang kerok lahirnya berbagai undang-undang atau kebijakan yang merusak lingkungan karena daya eksploitasinya besar. Para kapitalis yang dibacking penguasa yang menikmati keuntungannya, rakyat yang menjadi tumbal bencana ekologis yang terjadi.

Dampak Pemerintah yang Lebih Mengutamakan Kebijakan Populis daripada Ekologis terhadap Aspek Politik, Ekonomi, dan Hukum

Bencana ekologis yang terjadi di Sumatra seharusnya membelalakkan mata penguasa saat ini, keserakahan kaum kapitalis yang melakukan eksploitasi hutan telah menciptakan musibah yang pedih kepada masyarakat secara menyeluruh. Akibat UU Ciptaker yang memberikan jalan tol kepada para kapitalis untuk merusak hutan dan mengancam kepunahan satwa setempat pun juga telah nyata terjadi. Bagaimana tidak? Pertama, para kapitalis melakukan eksploitasi tambang tanpa memikirkan dampak ekologis yang terjadi. Mereka melakukannya mendapatkan izin dan perlindungan hukum dari undang-undang akibat disahkannya UU Ciptaker. 

Kedua, pembalakan hutan. Tidak mungkin rakyat yang melakukan penggundulan atau pembalakan hutan. Faktanya, penggundulan hutan ini berjalan sistematis dan memiliki kekuatan hukum. Sehingga apabila ada aktivis lingkungan yang memprotes, justru mereka yang dikriminalisasi karena disahkannya UU Ciptaker tersebut. Inilah yang menyebabkan kerusakan sistematis akibat kebijakan yang pro kepada kapitalis dan berkhianat kepada rakyat serta alam semesta. 

Dampak nyata dari sikap pemerintah yang lebih memilih jor-joran menggelontorkan dana untuk kebijakan populis daripada krisis ekologis adalah sebagai berikut.
Pertama, secara politik, pemerintah berada dalam pusaran sistem sekuler kapitalisme yang menjadi dasar dilahirkan undang-undang yang pro terhadap kepentingan kapitalis. Undang-undang pro terhadap kapitalis ini telah menyebabkan kerusakan multidimensi di berbagai aspek kehidupan. Adanya negara atau pemerintahan bukan sebagai pelayan rakyat, melainkan sebagai budak korporasi. Korporasi yang mengeksploitasi alam hingga rusak hingga menyebabkan bencana ekologis. 

Kedua, dampak ekonomi. Anggaran tidak dikelola dengan prioritas pro terhadap rakyat. Yang terjadi anggaran habis untuk program populis seperti MBG tapi miskin untuk program menanggulangi krisis ekologis. Ekonomi dikendalikan segelintir orang (oligarki) dan sumber daya alam dinikmati para kapitalis. Walhasil kemiskinan meningkat dan kesejahteraan seperti hanya menjadi impian bagi masyarakat yang diatur oleh sistem sekuler kapitalisme. 

Ketiga, dampak hukum. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas; hukum tajam ke rakyat dan tumpul kepada para kapitalis dan oligarki; hukum menjadi legitimasi segala bentuk keserakahan para kapitalis maupun oligarki. Dampak nyata hukum sekuler hari ini adalah hukum ada untuk melindungi kemungkaran, kezaliman, dan keserakahan segelintir manusia. Perusahaan yang merusak hutan aman, aktivis lingkungan yang vokal justru mendapatkan kriminalisasi.

Inilah akibat jika negara menerapkan aturan yang tidak bersumber dari Al-Qur'an dan sunah. Aturan dibuat berdasarkan hawa nafsu masing-masing, akhirnya siapa yang paling kuat, kepentingan dialah yang menang. Hukum sekuler kapitalisme tidak akan mau tunduk kepada hukum Allah Swt. Mereka tidak menjadikan Rasulullah saw. kiblat pemutus permasalahan yang terjadi. Justru mereka menyelisihi syariat yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.

Strategi Islam dalam Menangani Bencana

Dalam Islam, nyawa manusia sangat berharga. Bahkan, diibaratkan lebih berharga daripada bumi dan seisinya. Oleh karena itu, menerapkan hukum, aturan, undang-undang yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunah adalah kewajiban. Karena Allah Swt. menjaga jiwa, akal, dan harta manusia serta alam semesta melalui aturan yang telah diwahyukan kepada Rasulullah saw. Penerapan syariat Islam secara keseluruhan memiliki makna untuk mewujudkan maqashid syariah.

Sebagaimana yang tertuang dalam ayat berikut. 

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (TQS. Al-Araf: 56) 

Secara tegas disampaikan dalam surah di atas, larangan keras umat manusia untuk berbuat kerusakan di muka bumi. Sehingga, undang-undang yang dibuat tidak akan ada satu pasal atau satu ayat pun yang berpotensi berbuat onar di muka bumi ini sebagaimana UU Ciptaker. Semua aturan Islam diterapkan untuk membawa rahmat ke seluruh alam, bukan sebaliknya. Oleh karenanya, seorang pemimpin pun harus menegakkan hukum yang tidak boleh bertentangan dengan hukum Quran. 

Apabila terjadi bencana atas kuasa-Nya, maka penguasa dan rakyat harus muhasabah. Kesalahan apa yang diperbuat hingga Allah Swt. menegur dengan menurunkan musibah? Selanjutnya penguasa berbenah dan semuanya melakukan tobat nasuha agar Allah Swt. mengampuni dan mau menolongnya dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi. 

Gambaran Islam dalam mengatasi bencana adalah cepat tanggal darurat dengan profesional. Negara berserta jajarannya akan melakukan usaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan korban dan menjaga nyawa yang telah selamat. Selain itu, proses recovery berjalan dengan tanggap darurat. Terkait dana, pemerintah akan memprioritaskan dengan benar. Selain itu, dalam sistem pemerintahan Islam Khilafah Islamiah, pemerintah Islam mewujudkan tujuan bersyariat dengan sebaik-baiknya, melakukan amar makruf nahin mungkar di segala aspek kehidupan. Sehingga kemungkaran sekecil apa pun bisa dicegah.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama. Pemerintah gamang menetapkan banjir bandang Sumatra sebagai bencana nasional patut diduga karena keterbatasan anggaran. Padahal seharusnya pemerintah fokus kepada bencana ekologis yang sudah memakan banyak korban. Di sisi lain, pemerintah hari ini lebih fokus menjalankan program makan bergizi gratis (MBG) yang menghabiskan dana yang cukup fantastis. Dari sini seolah-olah pemerintah lebih condong menggelontorkan anggaran demi program MBG yang tampak sebagai kebijakan populis daripada menyelesaikan bencana ekologis ataupun menghadapi tantangan krisis ekologis.

Kedua. Inilah akibat jika negara menerapkan aturan yang tidak bersumber dari Al-Qur'an dan sunah. Aturan dibuat berdasarkan hawa nafsu masing-masing, akhirnya siapa yang paling kuat, kepentingan dialah yang menang. Hukum sekuler kapitalisme tidak akan mau tunduk kepada hukum Allah Swt. Mereka tidak menjadikan Rasulullah saw. kiblat pemutus permasalahan yang terjadi. Justru mereka menyelisihi syariat yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.

Ketiga. Dalam Islam, nyawa manusia sangat berharga. Bahkan, diibaratkan lebih berharga daripada bumi dan seisinya. Oleh karena itu, menerapkan hukum, aturan, undang-undang yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunah adalah kewajiban. Karena Allah Swt. menjaga jiwa, akal, dan harta manusia serta alam semesta melalui aturan yang telah diwahyukan kepada Rasulullah saw. Penerapan syariat Islam secara keseluruhan memiliki makna untuk mewujudkan maqashid syariah.

Oleh. Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute) 

Materi Kuliah Online Uniol 4.0 Diponorogo. Rabu, 3 Desember 2025 di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.
#Lamrad #LiveOpperessedOrRiseAgainst

Opini

×
Berita Terbaru Update