TintaSiyasi.id -- Indonesia berduka. Negeri ini tengah dilanda berbagai bencana. Bencana terdahsyat berupa banjir bandang dan longsor di Sumatra Utara (Sumut) dengan dampak kemanusiaan luar biasa. Berdasarkan data Polda Sumut hingga Ahad (30/11/2025), ada 1.090 korban, terdiri dari 176 meninggal dunia, 32 luka berat, 722 luka ringan, 160 hilang, serta 30.445 warga mengungsi (kompas.com, 30/11/2025).
Di tengah kabar duka tersebut, viral video banjir bandang yang membawa muatan gelondongan kayu di Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, hingga Sibolga. Saat dimintai tanggapannya, Gubernur Sumut, Bobby Nasution, mengatakan bakal melihat hal itu nanti, karena fokus sekarang adalah mengevakuasi warga terdampak. Termasuk mempercepat pengiriman logistik (detik.com, 28/11/2025).
Sementara Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Kementerian Kehutanan, Dwi Januanto, menyatakan kayu gelondongan tersebut berasal dari berbagai sumber. Termasuk sisa pohon lapuk, pohon tumbang, material bawaan sungai, area bekas penebangan legal, hingga penebangan liar (kompas.com, 29/11/2025). Adapun warganet menduga itu merupakan praktik ilegal logging yang ikut memperparah banjir dan longsor.
Ya, hanyutnya kayu gelondongan telah menyingkap tabir bahwa ini bukan sekadar bencana alam. Tapi bencana ekologis. Banjir dan longsor bukan hanya akibat dari cuaca ekstrem. Tapi karena kerusakan lingkungan dan tata kelola ruang tidak adil yang menjadi penyebab utama meluasnya. Ketika pengusaha rakus berkelindan dengan penguasa tak becus. Inilah secuil bukti penerapan sistem kapitalisme sekuler. Saat tata kelola hidup termasuk lingkungan jauh dari nilai agama dan hanya mengejar laba.
Bukti bahwa Banjir dan Longsor Bukan Sekadar Bencana Alam tapi Bencana Ekologis
Dikutip dari tvonenews.com (29/11/2025), menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), banjir dan longsor di Sumut harus dipahami sebagai bencana ekologis. Curah hujan tinggi dan eks-Siklon Tropis Senyar memang menjadi pemicu, namun akar persoalannya lebih dalam, yakni pada krisis ekologi yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Kerusakan di kawasan hulu, maraknya aktivitas industri ekstraktif seperti tambang, perkebunan besar, serta hilangnya kawasan penyangga alam menyebabkan sistem lingkungan tidak mampu lagi menahan beban air yang besar.
Bencana ekologis adalah bencana yang disebabkan oleh kerusakan ekosistem dan lingkungan akibat aktivitas manusia, bukan semata-mata karena faktor alam. Dalam konteks ini, manusia berperan langsung dalam mempercepat terjadinya kerusakan alam yang mengakibatkan ketidakseimbangan ekologi.
Contoh nyata bencana ekologis adalah banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan, hingga krisis air bersih yang terjadi akibat hilangnya hutan, rusaknya daerah aliran sungai (DAS), atau alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Secara sederhana, ketika hutan ditebang secara masif untuk kepentingan industri, maka fungsi penyerapan air dan penahan erosi akan hilang. Air hujan yang seharusnya diserap tanah akhirnya langsung mengalir ke dataran rendah, menyebabkan banjir besar di kawasan pemukiman dan kota.
Berikut bukti-bukti bahwa banjir bandang dan longsor di Sumut bukan sekadar bencana alam, tetapi bencana ekolog, berdasarkan data, indikasi lapangan, dan pola kerusakan lingkungan yang mengiringinya.
Pertama, adanya muatan gelondongan kayu dalam arus banjir.
Fenomena ini tidak terjadi, bila hutan dalam kondisi sehat. Ini mengindikasikan: terjadi aktivitas penebangan hutan (baik legal maupun ilegal) di hulu DAS, serta vegetasi penyangga air hilang, sehingga air hujan langsung meluncur secara destruktif ke bawah. Bahkan Dirjen Gakkum KLHK menyebut kayu berasal dari area bekas penebangan legal dan ilegal. Ini adalah tanda kuat degradasi hutan.
Kedua, indikasi kuat adanya illegal logging.
Meski pemerintah menyebut kayu juga berasal dari “pohon lapuk” atau “material sungai”, fakta gelondongan: berukuran besar, dalam jumlah banyak, dan terbawa dari hulu sampai ke wilayah padat penduduk, membuat dugaan ini memiliki landasan ekologis kuat. Warganet, aktivis, dan pengamat lingkungan menyoroti bahwa pola kayu semacam itu bukan ciri material alami sungai, tapi ciri penebangan liar yang masif di daerah hulu. Sementara illegal logging akan menyebabkan: hilangnya tutupan hutan, penurunan kemampuan tanah menyerap air, meluasnya run-off, serta tingginya risiko banjir bandang dan longsor.
Ketiga, kerusakan Kawasan Hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Sumut berada dalam kondisi rawan ekologis sejak lama: degradasi DAS Batang Toru dan Batang Angkola, perubahan fungsi lahan hutan menjadi perkebunan sawit, kebun industri, serta aktivitas tambang. Serta fragmentasi habitat akibat pembangunan. Ketika DAS rusak, daya tampung air mengecil, sehingga hujan ekstrem sedikit saja dapat memicu bencana besar.
Keempat, tata Kelola ruang yang tidak berkeadilan.
Banyak wilayah hulu di Sumut mengalami: konversi hutan menjadi perkebunan skala besar, izin-izin konsesi yang tumpang tindih, lemahnya pengawasan lingkungan, dan pembangunan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan. Kondisi ini menyebabkan: hilangnya ruang resapan, meningkatnya limpasan air, serta rusaknya lereng dan tanah yang menjadi penahan air. Ini adalah ciri bencana ekologis akibat buruknya tata kelola ruang, bukan semata-mata cuaca ekstrem.
Kelima, penambahan beban lingkungan oleh aktivitas ekonomi.
Sumut termasuk provinsi dengan tingkat eksploitasi sumber daya alam tinggi: perkebunan sawit, HTI (hutan tanaman industri), pembukaan lahan, dan pertambangan legal/ilegal. Eksploitasi ekonomi tanpa kontrol berkorelasi kuat dengan: deforestasi, tanah longsor, penurunan kualitas DAS, dan banjir bandang besar. Ini menunjukkan pola eksploitasi kapitalistik yang mengabaikan keberlanjutan ekologis.
Keenam, banjir dan longsor terjadi di banyak titik sekaligus.
Bencana besar yang melanda: Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Sibolga, menunjukkan kerusakan berskala sistemis, bukan kejadian lokal. Jika hanya dipicu cuaca ekstrem, kerusakan biasanya lebih sporadis.
Namun yang terjadi adalah keruntuhan fungsi ekologis pada lanskap luas. Inilah tanda bencana ekologis.
Dengan demikian, banjir bandang dan longsor Sumut jelas merupakan bencana ekologis. Cuaca ekstrem hanyalah pemicu. Sementara akar masalahnya adalah rusaknya hutan, DAS, akibat tata kelola lingkungan berbasis kapitalistik sekuler. Penguasa memberikan izin, oligark menambang atau menebang, rakyat yang menderita terkena dampaknya.
Dampak Bencana Ekologis terhadap Kesejahteraan Umat Manusia
Setiap upaya perusakan pasti berakibat buruk. Demikian pula aktivitas tambang dan penebangan hutan yang abai terhadap lingkungan. Berikut ini dampak-dampak bencana ekologis terhadap kesejahteraan umat manusia.
Pertama, dampak sosial.
a. Korban jiwa dan luka-luka.
Bencana ekologis—banjir bandang, longsor, kebakaran hutan, maupun kekeringan ekstrem—menyebabkan tingginya angka kematian dan cedera. Ini tidak hanya menghilangkan sumber daya manusia produktif, tetapi juga menimbulkan trauma jangka panjang pada keluarga dan komunitas.
b. Pengungsian dan kehilangan tempat tinggal.
Kerusakan rumah dan pemukiman memaksa ribuan orang mengungsi. Hidup di pengungsian menggerus stabilitas sosial, akses pendidikan, dan kenyamanan psikologis, terutama bagi anak-anak dan lansia.
c. Keretakan sosial dan konflik sumber daya.
Ketika akses air bersih, lahan, atau bantuan terbatas, potensi konflik antarwarga meningkat. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan institusi pun menguat apabila penanganan bencana tidak memadai.
Kedua, dampak ekonomi.
a. Kerusakan infrastruktur.
Jembatan, jalan, bandara, fasilitas listrik, dan sistem air mengalami kerusakan. Ini menghambat mobilitas orang dan barang, sekaligus memperlambat pemulihan ekonomi.
b. Hilangnya mata pencaharian.
Lahan pertanian rusak, kapal terseret arus, perikanan terganggu, serta usaha kecil menengah ikut tenggelam. Banyak keluarga kehilangan sumber pendapatan utama dalam sekejap.
c. Lonjakan biaya pemulihan.
Negara harus menanggung biaya besar untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Anggaran yang seharusnya untuk pendidikan, kesehatan, atau pengentasan kemiskinan dialihkan untuk penanganan bencana.
Ketiga, dampak kesehatan.
a. Penyakit menular.
Pengungsian yang padat memunculkan wabah diare, leptospirosis, infeksi saluran pernapasan, penyakit kulit, hingga demam berdarah. Air yang tercemar memperparah masalah ini.
b. Malnutrisi.
Distribusi logistik yang terganggu menyebabkan kerentanan gizi, terutama pada balita dan ibu hamil.
c. Gangguan kesehatan mental.
Trauma, kehilangan, stres pascabencana, dan ketidakpastian masa depan memicu kecemasan, depresi, insomnia, bahkan PTSD.
Keempat, dampak lingkungan lanjutan.
a. Degradasi ekosistem.
Kerusakan hutan dan tanah mengganggu penyerapan air, sehingga risiko bencana berulang semakin besar. Hilangnya tutupan hutan juga mematikan flora-fauna endemik.
b. Pencemaran air dan tanah.
Limbah dari industri, pertanian, dan permukiman menyatu dengan aliran banjir, mencemari sungai dan sumur yang menjadi sumber air bersih warga.
c. Perubahan iklim lokal.
Deforestasi dan kerusakan DAS memengaruhi pola hujan, menyebabkan wilayah tertentu makin sering mengalami banjir atau kekeringan.
Kelima, dampak pendidikan.
a. Sekolah rusak atau dijadikan pengungsian.
Anak kehilangan hak pendidikan akibat fasilitas yang rusak atau dialihfungsikan.
b. Learning loss..
Anak-anak di pengungsian mengalami ketertinggalan belajar, terutama jika bencana berlangsung lama. Ini menurunkan kualitas generasi masa depan.
Keenam, dampak politik dan tata kelola.
a. Erosi kepercayaan publik.
Jika pemerintah dianggap lamban, tidak transparan, atau tidak adil dalam penanganan bencana, ketidakpercayaan dan kemarahan masyarakat meningkat.
b. Penguatan oligarki dan korupsi..
Ketika bencana ekologis dipicu pengelolaan lingkungan yang buruk (misalnya ilegal logging, eksploitasi tambang, alih fungsi lahan), publik melihat hubungan erat antara penguasa–pengusaha. Ini memperkuat narasi bahwa sistem kapitalisme-sekuler memfasilitasi ketimpangan dan kerusakan.
Ketujuh, dampak spiritual dan moral.
a. Hilangnya kepekaan moral terhadap lingkungan.
Jika lingkungan dipandang sekadar sumber komoditas, kerusakan semakin tak terkendali. Bencana dapat melemahkan kesadaran manusia akan hubungan harmonis dengan alam.
b. Semakin jauhnya tata kelola dari nilai ilahi.
Bencana ekologis yang terjadi akibat keserakahan manusia menjadi bukti hilangnya nilai amanah, keadilan, dan tanggung jawab lingkungan.
Dengan demikian, bencana ekologis bukan hanya bencana alam, dampaknya multidimensi: menghancurkan kehidupan manusia, melumpuhkan ekonomi, merusak ekosistem, menggoyahkan stabilitas sosial-politik, hingga meluruhkan kesejahteraan spiritual. Maka, krisis ekologis adalah krisis kemanusiaan secara menyeluruh.
Strategi Mencegah dan Menanggulangi Bencana Ekologis dalam Sistem Pemerintahan yang Benar
Tata kelola ala kapitalistik sekuler telah terbukti merusak lingkungan. Banjir bandang, longsor, dan bencana lain di berbagai wilayah Indonesia menunjukkan bahwa problem yang kita hadapi bukan hanya fenomena alam. Ia adalah bencana ekologis yang lahir dari kerusakan tata kelola lingkungan, lemahnya pengawasan, kerakusan korporasi, dan kebijakan ruang yang cenderung pro-pemodal. Dalam Islam, bencana ekologis seperti ini merupakan akibat dari pelanggaran manusia atas amanah pengelolaan bumi (istikhlāf serta absennya penerapan sistem pemerintahan yang menjaga kemaslahatan rakyat.
Berbeda dengan kapitalisme sekuler, syariat Islam memiliki seperangkat aturan komprehensif yang mampu mencegah sekaligus menanggulang kerusakan ekologis, bukan sekadar respons setelah bencana terjadi. Berikut strategi Islam dalam mencegah dan menanggulangi bencana ekologis dalam sistem pemerintahan yang benar.
Pertama, prinsip dasar pengelolaan lingkungan dalam syariat Islam.
a. Larangan melakukan kerusakan (lā tufsidu fī al-arḍ).
Allah melarang keras praktik apa pun yang merusak bumi. "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya” (QS. Al-A‘raf: 56). Kerusakan hutan, eksploitasi berlebihan, tata ruang semrawut, hingga persekongkolan pengusaha–penguasa adalah bentuk fasad, yang dalam Islam dianggap kejahatan publik.
b. Amanah istikhlaf (manusia sebagai khalifah).
Manusia diberi amanah menjadi pengelola bumi, bukan eksploitornya. "Dialah yang menjadikan kamu khalifah di bumi ...” (QS. Faṭir: 39). Artinya, negara wajib membuat kebijakan yang menjaga keberlanjutan, bukan membiarkan korporasi mengeruk alam.
c. Kepemilikan umum (al-milk al-‘aam).
Hutan lindung, sumber air, sungai, dan kekayaan alam tertentu termasuk milik umum, tidak boleh diberikan kepada korporasi untuk dieksploitasi. Nabi SAW bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud).
Kedua, peran negara dalam sistem pemerintahan Islam.
Islam menempatkan negara sebagai pelaksana syariat dan penjaga kemaslahatan rakyat. Dalam konteks ekologis, strategi negara meliputi:
a. Strategi pencegahan bencana ekologis:
1. Pengelolaan hutan berbasis syariat.
Hutan sebagai milik umum tidak boleh diprivatisasi. Negara juga wajib melarang pembukaan lahan yang membahayakan ekosistem. Illegal logging dianggap jarimah (kejahatan) yang dihukum tegas. Penebangan harus melalui kajian syariat mengenai maslahat umat, bukan kepentingan investor.
2. Tata ruang yang adil dan terencana.
Dalam syariah, wilayah al-imarah (departemen pemerintahan wilayah) bertanggung jawab mengatur: zonasi pemukiman, pencegahan bangunan di area rawan, sistem drainase, sungai, dan irigasi. Semua dilakukan berdasarkan kaidah dar’u al-mafasid (menghindari kerusakan).
3. Kontrol negara terhadap perusahaan dan industri.
Negara hendaknya
menghapus sistem izin eksploitasi berbasis kapitalisme, lalu menggantinya dengan pengelolaan publik oleh negara, dan menerapkan audit lingkungan berbasis syariat.
4. Pelestarian daerah aliran sungai (DAS).
Islam memandang air sebagai milik umum sehingga: pencemaran sungai dikenai hukuman ta‘zir berat, negara membuat program penghijauan dan perlindungan DAS wajib, bukan proyek sporadis.
b. Strategi penanggulangan saat dan setelah bencana.
1. Komando tunggal oleh Khalifah / wali daerah.
Tidak ada tumpang tindih kewenangan seperti saat ini. Negara Islam memiliki sistem: amirul jihad (jika terkait pertahanan), dan amil yang khusus mengurusi bencana. Proses evakuasi, logistik, dan keselamatan dilakukan secara sentral dan cepat.
2. Pembiayaan dari baitul mal.
Penanganan bencana tidak menunggu donasi rakyat atau proposal dana, melainkan diambil langsung dari: pos nafaqat (biaya negara),
pos fa'i dan kharaj, serta pos darurat dalam baitul mal.
3. Rehabilitasi berbasis syariah.
Negara membangun kembali: jembatan, irigasi, hutan lindung,
kawasan pemukiman,
dengan standar syariat, tanpa korupsi dan tanpa tender yang membuka celah permainan proyek.
4. Penegakan hukum tegas pasca bencana.
Penyebab kerusakan, baik: pejabat, perusahaan, maupun individu, dikenai sanksi keras sesuai syariat (ta‘zir, denda besar, penjara, atau hukuman lain yang ditentukan qadhi).
Mengapa sistem Islam lebih efektif mengelola lingkungan? Karena:
a. Tidak ada privatisasi hutan dan SDA. Sehingga tidak ada motif korporasi merusak.
b. Negara memiliki kekuasaan penuh dan terikat hukum Allah. Penguasa tidak bisa seenaknya membuat kebijakan pro-oligarki.
c. Sistem pengawasan internal dan publik. Muhtasib mengawasi pasar dan industri. Adapun Qadhi Hisbah mengadili pelanggaran lingkungan dengan cepat.
d. Ekonomi Islam tidak berbasis pertumbuhan kapitalistik. Tidak ada eksploitasi berlebihan demi profit, seperti yang terjadi dalam kapitalisme sekarang.
Demikianlah, syariat Islam memberikan strategi komprehensif untuk mencegah dan menanggulangi bencana ekologis melalui hal-hal di atas. Dengan sistem pemerintahan Islam yang sahih, bencana ekologis dapat dicegah sejak hulu dan ditangani secara efektif di hilir. Bukan sekadar respons darurat, tapi perubahan struktural. Hanya saja strategi ideal hanya mungkin dilaksanakan dalam sistem pemerintahan Islam. Bukan dalam sistem demokrasi sekuler seperti saat ini.
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati