TintaSiyasi.id -- Banjir bandang yang kembali menerjang Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara menghadirkan pemandangan yang memilukan. Banjir bandang tersebut menyingkap kejahatan ekologis yang selama ini ditutup rapat. Air bah dari kawasan hulu menyeret ribuan gelondongan kayu berukuran besar hingga memenuhi sungai dan pesisir. (news.detik.com, 30-11-2025)
Video dan foto yang tersebar di media sosial memperlihatkan lautan kayu yang menumpuk di muara, menjadikan batas antara sungai dan daratan nyaris tidak dapat dibedakan. Fakta visual ini mengirim satu pesan tegas bahwa hutan di hulu sudah lama rusak. Artinya, banjir bukan sekadar bencana alam, tetapi akibat tangan manusia.
Pertanyaan publik pun mencuat, bagaimana mungkin kayu sebanyak itu hanyut dalam satu peristiwa? Jika penyebabnya hanya pepohonan tumbang karena curah hujan tinggi, volume gelondongan tidak akan sebesar ini. Temuan bekas potongan rapi pada sebagian batang kayu menguatkan dugaan adanya penebangan sistematis yang berlangsung lama, legal maupun ilegal, di kawasan hulu. Hutan yang seharusnya menjadi benteng alami justru berubah menjadi ladang eksploitasi.
Kehancuran Hutan dan Eksploitasi Kapitalistik
Kesaksian warga dan penelusuran lapangan memperlihatkan bahwa hutan-hutan di bagian hulu sudah jauh dari kondisi lestari. Kayu-kayu yang terseret tidak hanya berasal dari pepohonan lapuk atau tumbang secara alami, tetapi juga dari penebangan yang memperoleh izin negara (legal logging) dan dari penebangan liar yang berjalan tanpa kendali. Artinya, tragedi banjir bandang merupakan akumulasi panjang dari kelalaian manusia menjaga keseimbangan alam.
Secara ekologis, akar pohon berfungsi mengikat tanah, menahan erosi, dan menyerap air. Ketika tutupan hutan lenyap, hujan yang datang tidak lagi meresap, tetapi meluncur liar membawa lumpur, batu, dan kayu. Inilah mengapa banjir bandang kian sering dan kian mematikan. Akibatnya, alam kehilangan perisainya.
Akan tetapi, kerusakan ini tidak berdiri sendiri. Melainkan tumbuh dari paradigma sistem yang melihat alam bukan sebagai amanah, melainkan komoditas. Kapitalisme menjadikan keuntungan sebagai orientasi tertinggi. Selama profit meningkat, eksploitasi dianggap sah, legal, bahkan dipromosikan sebagai pembangunan.
Ilegal Logging dan Lingkaran Korupsi
Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa izin legal logging tidak menjamin pengelolaan yang berkelanjutan. Banyak konsesi kehutanan diberikan kepada korporasi besar yang mampu membayar mahal, dengan alasan investasi atau pertumbuhan ekonomi. Namun, manfaat materi hanya mengalir kepada pemilik modal, sementara risiko ekologis dibebankan kepada masyarakat. Ketika banjir menghancurkan rumah dan nyawa, negara hanya hadir melalui bantuan darurat tanpa penanganan akar masalah.
Ilegal logging pun tumbuh subur di sela lemahnya pengawasan. Korupsi, kolusi, dan perlindungan dari oknum aparat membuat penegakan hukum sekadar formalitas. Deforestasi meluas dalam diam, hingga banjir bandang memberikan “bukti kejahatan” berupa ribuan kayu ke hadapan publik. Pada titik inilah terlihat bahwa persoalan hutan bukan sekadar teknis, tetapi sistemis. Dalam kapitalisme, sumber daya publik diprivatisasi, diberi konsesi, dan dieksploitasi seolah milik individu. Pemodal dipuji sebagai penyelamat ekonomi, sementara masyarakat dibiarkan menanggung bencana ekologis yang timbul akibat keserakahan itu.
Islam: Alam Adalah Amanah, Bukan Komoditas
Islam melihat persoalan lingkungan dari sudut pandang yang berbeda. Manusia diperintahkan menjadi khalifah di bumi, yakni penjaga, bukan perusak. Allah Swt. memperingatkan dalam QS. Al-A’raf: 56 agar manusia tidak membuat kerusakan setelah bumi diperbaiki. Hutan bukan sekadar “aset ekonomi”, tetapi bagian dari keseimbangan makhluk Allah.
Islam menegaskan bahwa hutan, air, padang rumput, dan sumber energi adalah milik umum (al-milkiyah al-‘ammah). Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud). Artinya, hutan tidak boleh dijadikan komoditas yang diserahkan kepada individu atau korporasi, apalagi asing. Negara dalam sistem Islam bertugas mengelola hutan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk profit segelintir pemilik modal.
Model Pengelolaan Hutan dalam Islam
Islam menawarkan mekanisme komprehensif yang mampu mencegah tragedi ekologis seperti yang terjadi di Sumatra.
Pertama, hutan ditetapkan sebagai kepemilikan umum yang tidak bisa dijual atau dikonsesikan kepada korporasi. Negara adalah pengelola, bukan pemilik, dan pengelolaan itu wajib menjamin keberlanjutan ekologis.
Kedua, negara wajib menerapkan pengawasan ketat dan menghentikan penebangan yang merusak keseimbangan alam. Pelanggaran harus ditindak tegas, bukan sekadar sanksi administratif, tetapi hukuman yang memberikan efek jera.
Ketiga, rehabilitasi lingkungan dilakukan secara serius dan berkelanjutan. Reboisasi bukan proyek seremonial, tetapi bagian dari perencanaan strategis negara, mencakup pemilihan spesies tanaman, analisis DAS, hingga pemulihan habitat.
Keempat, Islam menjamin kesejahteraan rakyat sehingga mereka tidak terdorong merusak hutan demi bertahan hidup. Melalui distribusi kekayaan yang adil dan jaminan kebutuhan pokok, illegal logging berbasis kemiskinan dapat dicegah.
Kelima, masyarakat ditanamkan kesadaran ekologis berbasis akidah. Merawat bumi merupakan ibadah, dan merusaknya adalah dosa yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Nabi saw. menyebut menanam pohon sebagai amal sedekah yang pahalanya terus mengalir.
Keenam, kebijakan pembangunan dalam Khilafah tidak boleh mengorbankan kelestarian alam. Proyek ekonomi harus lolos kajian ekologis, dan pemasukan negara berasal dari pengelolaan aset milik umum secara benar, bukan penjualan izin eksploitasi kepada perusahaan besar.
Khatimah
Banjir bandang yang menggelontorkan kayu dalam jumlah masif di Sumatra adalah peringatan yang tidak bisa diabaikan. Hutan yang rusak, sistem yang abai, dan kapitalisme yang rakus telah meruntuhkan benteng alam yang seharusnya melindungi rakyat. Kita tidak bisa terus berharap pada sistem yang berkali-kali gagal menjaga lingkungan.
Islam menghadirkan solusi menyeluruh, dari konsep kepemilikan, mekanisme pengawasan, hingga kesadaran spiritual, yang menempatkan alam sebagai amanah, bukan barang dagangan. Jika sistem berubah, hasilnya pun berubah. Jika sistem benar, alam dan manusia dapat hidup selaras.
Wallahu a’lam bishshawab.[]
Oleh: Mila Amartiar
Aktivis Muslimah