Tintasiyasi.id.com -- 'Bikin konten' demi mencapai popularitas dan unsur materi nampak menjadi pilihan hidup generasi kini. Menjadi influencer, konten creator, youtuber, dan sejenisnya dianggap sebagai peluang termudah untuk mencari 'cuan'.
Fakta kesuksesan sebagian influencer, content creator, ataupun youtuber menjadi pendorong yang kuat untuk mengikuti jejak keberhasilan mereka.
Disebutkan bahwa lebih dari 30% anak-anak Gen Alpha (anak kelahiran tahun 2010-2025), bercita-cita menjadi kreator media sosial.
Dari studi yang dilakukan, menunjukkan bahwa sekitar 32% anak di usia 12 - 15 tahun sudah menyatakan keinginan untuk menjadi "YouTuber" sebagai pekerjaan impian mereka (Okezone.com, 6/10/2025).
Terpantau semakin menjamur para konten kreator, bahkan dari segala usia. Sayangnya, tak sedikit konten-konten yang disuguhkan mengandung nilai dan gaya hidup penuh kebebasan, flexing, hingga berbau kekerasan dan seksualitas.
Mirisnya, justru konten-konten semacam ini yang sering kali mendapat perhatian besar, terlihat dari besarnya antusias penikmat konten tersebut dengan besarnya jumlah pengikut dan yang menyaksikan bahkan saat live.
Padahal, efek negatif digital tidak main-main. Paparan konten yang tidak mendidik, berupa video pendek yang hanya berfokus pada sensasi, bukan substansi, diantaranya dapat menyebabkan fenomena Brain Rot.
Brain Rot merupakan penurunan kemampuan berpikir kritis, daya ingat dan fungsi eksekutif akibat paparan konten media sosial yang dangkal.
Para psikolog menyebutkan paparan konten yang demikian dapat menyebabkan menurunnya daya ingat, kehilangan fokus dan konsentrasi, penurunan kemampuan analisis, tidak berkembangnya kemampuan berpikir kritis dan kompleks, serta ketergantungam pada validasi sosial (Brain Rot: Fenomena Media Sosial yang Mengancam Kesehatan Mental, artikel.kesehatan, rsmmbogor.com).
Jika dibiarkan, tentu akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan generasi berkualitas. Bagaimana akan terwujud generasi emas jika tidak ada upaya pencegahan dan perlindungan secar serius.
Media sosial ibarat pisau bermata dua, pada satu sisi, ia mampu memberikan akses informasi dan edukasi. Di sisi lainnya, penggunaan media sosial yang minim kontrol justru memberikan dampak negatif dengan porsi yang lebih besar. Konten-konten dengan paparan nilai negatif seperti pornografi, judol, pinjol, cyberbuliying, traficking, moderasi, dll, justru semakin menjamur.
Konten yang merusak akan mempengaruhi cara berpikir, cara bersikap bahkan cara beragama, hingga lahirlah muslim yang split personaliy, rapuh dan sekuler.
Ironisnya, program-program yang berisi konten-konten Islami, menyuarakan Islam Kaffah, justru dianggap radikal dan kerap dibasmi.
Yang benar ditiadakan, yang salah justru tumbuh subur. Pihak berwenang atau pemangku kebijakan hanya bisa memberikan anjuran kepada orang tua dan sekolah.
Mendudukkan Media Sosial dalam Pandangan Islam
Media sosial, dalam pandangan Islam, ditetapkan sebagai sarana untuk menyebarkan kebaikan dan syiar dakwah Islam. Media sosial juga menjadi alat kontrol dan peran politis strategis, sebagai benteng penjaga umat dan negara.
Media sosial juga menjadi sarana edukasi umat untuk mendukung penerapan dan pelaksanaan syariat Islam. Islam memiliki sebuah sistem yang mengatur terkait media, yakni sistem penerangan yang berlandaskan Syariat Islam, sehingga hanya konten-konten bermanfaat yang lulus sensor untuk diunggah.
Meski suatu konten memberikan keuntungan secara materi, jika tidak sesuai Syariat Islam maka tidak akan bisa diunggah.
Oleh karena itu, pengawasan terhadap konten-konten yang tidak mendidik dan melanggar Syariat Islam dilakukan kerja media secara ketat dan memastikan tidak ada konten yang mendatangkan mudarat, menyebarkan pemikiran kufur serta beragam budaya yang menyimpang dari Islam, termasuk sanksi tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.
Alhasil, urgensi kewajiban seorang penguasa dalam Islam yaitu penerapan Islam secara kaffah di tengah-tengah umat. Media sosial tidak diperkenankan menjadi alat politik sehingga akan melanggengkan sistem kafir yang berlandaskan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan), apalagi dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok semata-mata dalam rangka meraih kekuasaan dan materi.[]
Oleh: Linda Maulidia, S.Si
(Aktivis Muslimah)