TintaSiyasi.id -- Imam Al-Ghazali, seorang hujjatul Islam, ahli hikmah, dan tasawuf pernah mengibaratkan manusia dalam tiga tipe yang amat dalam maknanya. Beliau berkata:
“Manusia itu ada tiga jenis: Pertama, ibarat makanan yang senantiasa dibutuhkan. Kedua, ibarat obat yang dibutuhkan pada kondisi tertentu. Ketiga, ibarat penyakit yang sama sekali tidak dibutuhkan, tetapi terkadang seseorang diuji dengan keberadaannya. Maka, bersikaplah halus agar dapat lepas darinya. Sebab dari tipe ketiga pun ada manfaatnya, yaitu engkau dapat menyaksikan keburukannya, lalu menjauhinya.”
Kiasan ini bukan sekadar klasifikasi sosial, tetapi sebuah cermin ruhani yang menyingkap bagaimana kita menempatkan diri dan bersikap terhadap orang lain. Mari kita renungkan satu per satu.
1. Manusia Ibarat Makanan yang Selalu Dibutuhkan
Mereka adalah orang-orang baik, berakhlak mulia, dan membawa manfaat bagi sesama. Keberadaannya selalu dinanti karena di mana pun mereka berada, mereka menebar kebaikan seperti makanan yang mengenyangkan dan menyehatkan.
Mereka menasihati tanpa menyakiti, menolong tanpa pamrih, menenangkan tanpa banyak bicara. Kehadirannya membawa rasa tenteram, karena hati mereka bersih dan niatnya ikhlas.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Ahmad).
Inilah manusia yang ibarat makanan pokok bagi kehidupan sosial dan spiritual. Mereka menumbuhkan iman dan cinta kasih, menjadi sumber energi moral di tengah masyarakat yang lapar akan teladan.
Hendaknya kita bercita-cita menjadi manusia jenis ini yang dicintai Allah dan dicintai makhluk-Nya.
2. Manusia Ibarat Obat Dibutuhkan pada Waktu Tertentu
Mereka bukan selalu diperlukan setiap saat, tetapi punya peran penting di waktu tertentu. Seperti obat, mereka hadir membawa solusi ketika ada masalah, datang dengan ilmu atau keahlian yang spesifik, menolong di waktu genting.
Namun, jika berlebihan, seperti obat yang diminum tanpa kebutuhan, mereka bisa menjadi beban. Maka, berinteraksilah dengan tipe ini secara proporsional. Tahu kapan mendekat dan kapan memberi jarak.
Dalam konteks ruhani, orang tipe ini adalah teman seperjalanan yang menasihati ketika engkau lemah, mengingatkan ketika engkau lupa, lalu pergi ketika engkau sudah pulih. Mereka tak menuntut kelekatan, tetapi tetap menanamkan hikmah.
Al-Ghazali mengajarkan kita untuk menghargai keberadaan mereka meski tak selalu di sisi kita, mereka tetap bagian penting dari perjalanan kehidupan.
3. Manusia Ibarat Penyakit Ujian yang Menyakitkan, tetapi Menguatkan
Inilah tipe yang paling sulit. Manusia yang menyakiti, menipu atau merusak. Mereka hadir bukan untuk memberi kenyamanan, melainkan ujian bagi kesabaran dan kebijaksanaan kita.
Al-Ghazali menyebut mereka “penyakit” — sesuatu yang tak diinginkan, tetapi terkadang harus dihadapi. Sebagaimana penyakit menguatkan sistem imun tubuh, keberadaan mereka justru dapat memperkokoh iman dan kesabaran kita.
“Janganlah engkau membenci orang yang menyakitimu, karena mungkin lewat dia Allah sedang mendidikmu.”
(Tafsir ruhani dari hikmah para ulama).
Maka, sikap terbaik adalah lembut dan bijak dalam menjauh. Tidak membalas dengan kejahatan, tidak menambah luka dengan dendam. Sebab setiap pertemuan dengan orang buruk adalah pelajaran tentang apa yang tidak boleh kita lakukan.
Dari mereka kita belajar tentang batas diri, tentang pentingnya menjaga akhlak di tengah keburukan. Allah menghendaki kita kuat, bukan pahit.
Makna Hikmah: Setiap Manusia adalah Cermin untuk Dirimu
Tiga tipe manusia ini, yaitu makanan, obat, dan penyakit, bukan hanya tentang orang lain, tetapi juga tentang diri kita sendiri.
Kadang kita menjadi makanan yang menyehatkan, kadang menjadi obat bagi sesama, dan jangan-jangan… tanpa sadar, kita pun pernah menjadi penyakit bagi orang lain.
Maka, merenunglah:
• Apakah kehadiranku membawa manfaat dan ketenangan bagi orang lain?
• Apakah kata-kataku menyejukkan atau justru melukai?
• Apakah aku menjadi rahmat bagi sesama, sebagaimana Rasulullah Saw. menjadi rahmat bagi seluruh alam?
Penutup: Menjadi Manusia yang Diperlukan Allah dan Diperlukan Umat
Hidup ini terlalu singkat untuk menjadi manusia yang sia-sia. Jadilah seperti makanan yang memberi energi, menguatkan iman, menumbuhkan kasih sayang.
Jika belum mampu, jadilah obat yang setidaknya memberi solusi ketika dibutuhkan.
Dan bila diuji dengan “penyakit manusia” di sekitarmu, bersabarlah. Jadikan mereka bahan muhasabah dan pelajaran, bukan sumber kebencian.
Imam Al-Ghazali seakan berpesan:
“Nilai dirimu di hadapan Allah diukur dari seberapa besar manfaatmu bagi makhluk-Nya.”
Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo