TintaSiyasi.id -- Provinsi Kalimantan Selatan kembali menjadi sorotan setelah Media Indonesia (23/10/2025) memberitakan bahwa sektor tambang masih menjadi primadona investasi daerah. Data serupa disampaikan Kalimantan Post (20/10/2025): realisasi investasi Kalsel tembus Rp922 triliun, dan sektor pertambangan bersama perdagangan menjadi penopang utama.
Sektor ini memang terus mendominasi. Pertambangan batu bara menjadi magnet modal, penggerak ekspor, dan penyumbang terbesar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Di atas kertas, ini tampak sebagai keberhasilan ekonomi daerah. Namun, realitas di lapangan justru memperlihatkan ketimpangan yang semakin dalam. Ketika investor meraup laba, rakyat di sekitar tambang hidup di tengah polusi udara, air sungai yang rusak, dan lahan produktif yang hilang.
Paradigma Sekuler: Investasi Adalah Segalanya
Sistem sekuler menilai keberhasilan pembangunan dari nilai investasi dan pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi angka investasi, semakin besar pula kebanggaan pemerintah. Dalam logika kapitalisme, modal menjadi raja, sementara rakyat hanyalah alat produksi.
Skemanya sederhana: investor masuk, tambang dibuka, PAD naik, lalu pembangunan dianggap berhasil. Tak ada ruang untuk menilai apakah kekayaan itu benar-benar membawa kesejahteraan atau justru meninggalkan kehancuran.
Negara dalam sistem ini hanya berperan sebagai regulator dan penerima royalti kecil, sementara eksploitasi besar-besaran dibiarkan atas nama pembangunan. Akibatnya, kekayaan alam dikomoditaskan, bukan dijaga. Rakyat jadi penonton, korporasi jadi penguasa.
Buah dari Kapitalisme yang Menipu
Inilah wajah asli kapitalisme. Ia menjanjikan kemakmuran, tapi menumbuhkan ketergantungan. Ia berbicara soal kemajuan, tapi menanam kehancuran. Kapitalisme mengajarkan bahwa setiap hal bisa diperjualbelikan, bahkan bumi tempat berpijak.
Tak heran bila Kalsel yang kaya sumber daya alam justru tidak pernah benar-benar lepas dari kemiskinan struktural. Sebab sistem ini memang dirancang agar keuntungan menetes ke segelintir pihak, bukan ke seluruh umat.
Ketika bumi digali tanpa batas, ketika sungai dikorbankan untuk batu bara, ketika izin tambang jadi rebutan elite dan korporasi—itulah tanda bahwa negeri ini dikuasai paradigma yang keliru. Sebuah sistem yang menjadikan pembangunan tanpa keberkahan dan kemajuan tanpa keadilan.
Islam: SDA untuk Kesejahteraan Umat
Islam memiliki pandangan yang sangat berbeda. Dalam sistem Islam, kekayaan alam bukan komoditas, melainkan amanah umat. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad)
Tambang termasuk dalam kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah). Artinya, ia tidak boleh dimiliki individu, korporasi, atau swasta. Negara hanya menjadi pengelola amanah, bukan penjual izin. Seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan dasar: pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pelayanan publik.
Model ini pernah diterapkan dalam sejarah Islam. Baitul Mal menerima hasil pengelolaan tambang dan mendistribusikannya untuk kepentingan umat tanpa beban pajak, tanpa eksploitasi, tanpa penjajahan ekonomi. Sebab Islam memandang kekayaan alam sebagai milik Allah, bukan milik pasar, dan SDA wajib dikelola untuk kesejahteraan seluruh rakyat, bukan hanya dinikmati segelintir orang.
Kalsel Butuh Paradigma Baru
Selama sistem sekuler masih dipakai, Kalsel akan terus bergantung pada tambang dan investor. Pemerintah daerah mungkin bangga dengan angka Rp922 triliun, tapi tidak berdaya ketika tambang menimbulkan krisis lingkungan dan sosial.
Selama paradigma kapitalisme dipertahankan, tambang akan tetap menjadi sumber keuntungan segelintir orang dan sumber penderitaan bagi banyak orang. Masyarakat Banua tidak butuh lebih banyak izin tambang; yang mereka butuhkan adalah sistem yang adil dan berpihak kepada umat, bukan kepada pemilik modal.
Islam datang untuk menegakkan keadilan itu. Dalam sistem Khilafah Islamiyah, sumber daya alam diatur agar manfaatnya kembali ke seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan korporasi. Negara tidak tunduk pada investor, tetapi hanya tunduk pada hukum Allah.
Tambang Sebagai Berkah, Bukan Bencana
Kekayaan alam akan menjadi berkah bila dikelola dengan wahyu, dan menjadi bencana bila dikelola dengan nafsu. Itulah garis pembeda antara Islam dan kapitalisme. Sekularisme menilai pembangunan dari angka, Islam menilainya dari keberkahan. Kapitalisme menghitung keuntungan materi, Islam menghitung kemaslahatan umat.
Jika kekayaan tambang Kalsel dikelola dengan sistem Islam, ia akan menjadi sumber kesejahteraan yang merata. Tapi jika dibiarkan di tangan sistem sekuler, ia hanya akan memperdalam luka sosial dan kerusakan alam.
Saatnya menata ulang agar pengelolaan SDA diatur dengan aturan Pencipta. Bukan sekadar menambah angka PDRB, tapi menegakkan keadilan sosial.
Islam bukan hanya agama, tapi sistem hidup yang mampu menata ekonomi, politik, dan sumber daya alam dengan adil. Hanya sistem Islam yang bisa menjadikan tambang bukan alat eksploitasi, tapi jalan menuju kesejahteraan. Dan hanya dengan kembali kepada aturan Allah, Banua akan menemukan berkah sejatinya.
Wallahu a‘lam
Oleh: Tuty Prihatini, S.Hut
Aktivis Muslimah Banua