Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Santri Bersuara, Dunia Berubah: Saat Pesantren Menjadi Pusat Revolusi Islam

Sabtu, 01 November 2025 | 22:09 WIB Last Updated 2025-11-01T15:10:27Z

TintaSiyasi.id -- Setiap tanggal 22 Oktober, negeri ini bergetar oleh gema Hari Santri Nasional. Dari upacara, kirab, pembacaan kitab kuning, hingga festival sinema, semua menampilkan santri sebagai figur moral bangsa. Tahun ini bertema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.” Presiden Prabowo menyerukan agar santri menjadi penjaga moral dan pelopor kemajuan bangsa, sembari mengenang Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari yang membakar semangat kemerdekaan 1945 (Kompas.com, 25/10/2025).

Namun, apakah Hari Santri hari ini masih menghidupkan semangat perjuangan Islam atau sekadar ritual tahunan yang kehilangan arah ideologis?

Peringatan Hari Santri penting sebagai penghormatan terhadap sejarah perjuangan ulama dan santri. Namun, bila hanya sebatas seremoni, maka makna jihad yang diwariskan para ulama kian kabur.

Kini peran santri banyak dikemas dalam jargon pembangunan sekuler: agen moderasi beragama, penggerak ekonomi umat, pelopor kemandirian pesantren. Padahal, istilah itu perlahan menggeser pesantren dari pusat perjuangan ideologis menjadi instrumen pembangunan kapitalistik.

Santri yang dulu berjuang dengan senjata dan pena untuk melawan penjajah kini diarahkan menjadi bagian dari sistem yang menyingkirkan syariat. Mereka dijadikan duta harmoni semu, bukan pelopor perlawanan terhadap ketidakadilan global.

Dari Resolusi Jihad ke Resolusi Moderasi

Presiden Prabowo menyeru agar semangat Resolusi Jihad diwarisi. Namun maknanya kini direduksi. Resolusi Jihad yang dulu menyerukan perang melawan penjajah kini dimaknai sebagai ajakan menjaga moral dalam bingkai nasionalisme sekuler.

Padahal, jihad dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari bukan sekadar etos kerja, tetapi perjuangan menegakkan kedaulatan Islam dan membebaskan umat dari segala bentuk penjajahan—fisik, ekonomi, maupun ideologis.

Ketika jihad digantikan moderasi, ruh perjuangan itu padam. Santri tak lagi dibina untuk memimpin perubahan menuju penerapan hukum Allah, tetapi diarahkan menjadi penjaga stabilitas sistem yang menyingkirkan syariat dari kehidupan.

Pesantren dalam Bayang Kapitalisme

Pesantren kini dipuji sebagai lembaga mandiri dan berdaya saing. Namun, kemandirian yang ditonjolkan beraroma kapitalistik: pesantren dijadikan lembaga wirausaha, pelaku pasar, dan mitra ekonomi. Seolah kemuliaan pesantren diukur dari kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Padahal, ruh pesantren bukan industri, melainkan benteng akidah dan pusat lahirnya ulama serta mujahid dakwah. Sejarah membuktikan, pesantren adalah basis pergerakan Islam, bukan bagian dari mesin pembangunan sekuler.

Ketika pesantren dijinakkan oleh logika kapitalisme, peran transformasinya tumpul. Santri sibuk mengejar produktivitas materi, tapi kehilangan ketajaman ideologis dan keberanian menantang sistem zalim.

Santri dan Misi Peradaban Islam

Islam menempatkan santri dan ulama sebagai penjaga akidah dan penuntun umat. Mereka bukan hanya pengajar, tapi penggerak peradaban. Dalam sejarah, para ulama selalu menjadi pelopor revolusi pemikiran—dari Imam Abu Hanifah hingga ulama Andalusia yang melahirkan peradaban ilmu gemilang.

Santri sejati bukan hanya pandai membaca kitab, tapi juga tajam membaca zaman. Mereka harus berani bersuara melawan sekularisme dan kapitalisme yang menjerat umat. Penjajahan hari ini datang bukan dengan bedil, tetapi dengan ide-ide yang menjauhkan manusia dari hukum Allah.

Jika santri bersuara atas dasar iman dan ilmu, dunia akan berubah. Suara santri bukan sekadar gema pesantren, tetapi gema peradaban yang mengguncang kezaliman dan membangkitkan umat menuju kemuliaan.

Pesantren sebagai Pusat Revolusi Islam

Pesantren harus kembali pada jati dirinya: bukan sekadar lembaga pendidikan, tapi pusat revolusi pemikiran Islam. Dari pesantren mesti lahir generasi faqih fid-din yang berani menegakkan syariat dan membimbing umat menuju peradaban yang diridhai Allah.

Revolusi Islam bukan kekerasan, melainkan perubahan total yang diawali dengan perubahan pemikiran sehingga menumbangkan sistem zalim dan menggantinya dengan sistem ilahi. Inilah jihad intelektual dan spiritual yang harus diemban santri hari ini—mengembalikan kehidupan manusia kepada hukum Allah.

Negara dan Amanah terhadap Pesantren

Negara seharusnya tidak menjadikan pesantren sekadar mitra proyek ekonomi, tapi penopang kebangkitan ideologis umat. Pemerintah yang benar-benar menghormati santri adalah yang menempatkan syariat Islam sebagai dasar kebijakan publik, bukan sekadar memuji pesantren di podium.

Santri bukan penjaga moral sistem sekuler, tetapi penjaga peradaban Islam. Mereka bukan alat pembangunan kapitalis, tetapi penggagas kebangkitan umat.

Dari pesantren akan lahir revolusi—yang menyalakan kembali cahaya Islam, membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya syariat Allah yang penuh rahmat bagi seluruh alam.

Wallahu a‘lam.

Oleh: Tuty Prihatini, S.Hut
Aktivis Muslimah Banua

Opini

×
Berita Terbaru Update