Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Sudan dan Kepentingan Negara Besar

Senin, 10 November 2025 | 05:19 WIB Last Updated 2025-11-09T22:19:25Z

Tintasiyasi.id.com -- Konflik Sudan kian membara. Konflik tersebut sudah dimulai sejak satu setengah tahun yang lalu. Konflik Sudan ini telah memakan korban lebih dari 14.000 warga sipil akibat kelaparan dan pengeboman, dan eksekusi di luar jalur hukum (Republika, 31/10/2025). 

Konflik ini bermula pada bulan April 2023. Saat itu terjadi pertempuran antara Sudanese Armed Forces (SAF) dan milisi Rapid Support Forces (RSF). Sejak saat itu negara tersebut berada dalam kekacauan. 

Kondisi Sudan ini semakin diperparah oleh kelaparan yang ada di beberapa wilayah utama Sudan. Ditambah lagi dengan adanya blokade dan kekerasan pada akses bantuan kemanusiaan. Hal ini sebagaimana yang ada dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) (Jawa Pos, 4/11/2025).

Jika kita melihat lebih dalam bahwa persoalan Sudan ini tidak semata merupakan persoalan dalam negerinya saja. Namun konflik Sudan ini melibatkan negara-negara besar.

Keterlibatan mereka tampak pada beberapa hal. Berdasarkan laporan dari Amnesty International didapatkan bukti kuat adanya keterlibatan UEA dalam pelanggaran embargo senjata yang dicanangkan oleh Dewan Keamanan PBB. 

Salah satu buktinya tampak dalam serangan drone pada 9 Maret 2025 yaitu saat RSF menggunakan bom udara terpandu bernama Norinco GB50A yang dibuat oleh Tiongkok untuk menyerang Darfur Utara. Dari penanda produksinya diketahui bahwa bom ini dibuat dengan drone yang dipasok oleh UEA yang dipasok untuk RSF (metrotv, 30/10/2025).

Di sisi lain para pengamata melihat bahwa ada dukungan Mesir terjada SAF. Dukungan ini tampak dalam hubungan diplomatik antara Mesir dengan pemerintahan resmi yang dijalankan oleh SAF. Hubungan diplomatik ini juga didasari dengan adanya upaya untuk mengamankan Sungai Nil dan wilayah selatan Mesir (detik.com, 7/11/2025).

Keberadaan pengaruh dari kedua negara ini dalam konflik Sudan sebenarnya tidak lepas dari pengaruh dua negara sekuler yaitu Amerika dan Inggris. Amerika dengan dukungannya kepada militer sedang Inggris dengan dukungannya kepada sipil.

Pertarungan kedua negara besar ini telah terjadi dan nampak sejak Setelah penandatanganan dokumen konstitusi pada Agustus 2019 antara Dewan Militer dan warga sipil (Idea.int, 14/10/2022).

Namun adanya keterlibatan negara-negara besar ini menimbulkan pertanyaan tentang apa yang mendasarinya? Jika ditelisik Sudan adalah negara di benua Afrika yang memiliki sumber daya alam yang melimpah.

Sudan memiliki minyak, emas, gas alam, dan banyak mineral strategis. Selain itu Sudan memiliki tanah yang subur serta energi terbarukan. Hal ini tentu menggiurkan bagi negara-negara besar tersebut. 

Selain itu Sudan memiliki letak geografis yang strategis karena berbatasan dengan tujuh negara dan adanya akses langsung ke Laut Merah. Sudan juga berfungsi sebagai penghubung antara Afrika Utara dan Timur.

Dari sini tampak bahwa konflik yang terjadi pada negara Sudan tidak semata perang saudara. Tapi ada kepentingan imperialis dari dua negara kapitalis yaitu Inggris dan Amerika.

Di sisi lain konflik ini justru melibatkan kaum muslimin sebagai korban terbanyak. Sudan adalah salah satu negeri Islam. Keberadaan Inggris dan Amerika sebagai kampium dari negara Kapitalis harusnya bisa membuka mata kita bahwa ada pertarungan ideologi disana.

Tidak hanya semata kepentingan ekonomi saja. Ada upaya untuk menimbulkan perpecahan bagi kaum muslimin.

Selama ini umat Islam terpecah menjadi lebih 50 negeri Islam. Setelah sebelumnya berada dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Rupanya tidak cukup bagi negara Kapitalis. Perpecahan demi perpecahan dimunculkan di negeri-negeri kaum muslimin. 

Konflik demi konflik diciptakan agar kaum muslimin sibuk dengannya. Sementara solusi hakiki yang menyelesaikan problem mereka tidak mereka perjuangkan.
Tidak bisa kita pungkiri kondisi keterpurukan dan konflik yang terjadi pada kaum muslimin akibat tidak adanya pelindung bagi mereka.

Yaitu sebuah negara adidaya yang akan menyaingi negara Kapitalis Amerika Serikat. Kaum muslim telah terpecah menjadi negeri-negeri kecil yang tidak memiliki kekuatan. Selain itu kaum muslimin terkotak-kotak dalam negeri sendiri akibat adanya nasionalisme. Mereka tidak lagi peduli dengan negeri kaum muslimin yang lain. 

Oleh karenanya penting bagi negeri-negeri kaum muslimin untuk bersatu dalam satu negara. Sehingga mampu bersanding dan bersaing dengan negara adidaya Kapitalis saat ini. Negara kesatuan ini sebagaimana yang telah ada dan berjalan selama berabad-abad yaitu Khilafah Islamiyah. 

Dengannya maka kaum muslimin akan bisa bersatu dalam komando satu pemimpin yaitu Khalifah. Keberadaan Khalifah ini akan menyatukan potensi besar yang ada pada negeri-negeri kaum muslimin. Baik potensi sumber daya alam, kekuatan militer, kekayaan intelektual dan lain sebagainya.

Hal ini akan mampu mengangkat kaum muslimin dari ketepurukan dan membebaskan tanah kaum muslimin yang selama ini telah terjajah oleh negara-negara Kapitalis. Karena sesungguhnya kaum muslimin satu tubuh sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW,
“Perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyayangi bagaikan satu tubuh. 

Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR Muslim).

Oleh karenanya sudah saatnya kaum muslimin bersatu dalam satu negara Khilafah Islamiyah. Sudah saatnya bagi kita untuk turut memperjuangkan keberadaannya. Dengan dorongan keimanan kepada Allah SWT. Wallahu 'alam bishshawwab.[]

Oleh: Desi Maulia, S.K.M
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update