Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Sekularisme Meruntuhkan Cinta, Rumah Tak Lagi Surga

Senin, 17 November 2025 | 16:36 WIB Last Updated 2025-11-17T09:36:47Z
TintaSiyasi.id -- Dulu, rumah adalah tempat pulang yang penuh doa, tempat cinta tumbuh dalam takwa, tempat dua jiwa berjanji meniti jalan menuju surga. Kini, banyak rumah hanya menyisakan dinding dan rutinitas. Sabar tak laku di zaman yang menuhankan instan, cinta diperlakukan seperti transaksi, dan pernikahan kehilangan makna ibadah. Sekularisme telah mengubah rumah yang dulu surga menjadi ruang yang hampa dari ruh ilahi.

Fenomena perceraian kini kian marak dan tak lagi dianggap aib. Kompas.id (4/11/2025) mencatat, angka perceraian terus meningkat di berbagai daerah, bahkan di saat angka pernikahan menurun. VOI.id (6/11/2025) menyoroti tren cerai gugat yang melonjak karena semakin banyak perempuan merasa mandiri secara ekonomi.

CNBC Indonesia, (30/10 2025) menyebut 13 penyebab utama perceraian di Indonesia: dari perselingkuhan, tekanan ekonomi, KDRT, hingga candu judi online. Sementara Antara News (7/11/2025) mengingatkan dampak psikologis perceraian terhadap anak-anak yang kehilangan rasa aman dan kehangatan keluarga.

Data ini menunjukkan satu hal: keluarga Indonesia sedang sakit, dan penyakitnya bukan hanya sosial — tapi ideologis. Banyak yang melihat perceraian sebagai akibat dari masalah ekonomi atau komunikasi. Namun akar sejatinya ada pada lemahnya pemahaman tentang makna pernikahan. Bagi banyak pasangan, menikah hanyalah kontrak sosial, bukan ikatan ruhani yang dibangun di atas iman dan tanggung jawab. Maka ketika badai datang, cinta mudah karam. Janji bersama ke surga, tersesat di jalan dunia.

Sekularisme telah mencabut akar spiritual pernikahan. Ia mengajarkan bahwa agama tak perlu campur tangan dalam urusan rumah tangga. Maka cinta dipahami sebatas perasaan, bukan ibadah. Suami dan istri saling menuntut hak, tapi melupakan kewajiban. Ketika cinta tak lagi disandarkan pada iman, logika pasar pun mengambil alih: cinta diukur dengan kenyamanan, kesetiaan dihitung dengan gengsi, dan pengorbanan ditimbang dengan untung rugi.

Dampaknya mengalir hingga ke generasi. Anak-anak yang tumbuh di tengah perceraian kehilangan pijakan emosional. Mereka belajar mencintai dengan takut kehilangan, membangun kepercayaan dengan curiga. Dari rumah-rumah yang retak, lahirlah generasi rapuh — kehilangan arah dan makna hidup.

Sementara itu, sistem kapitalistik memperparah luka keluarga. Tekanan ekonomi, mahalnya biaya hidup, dan ketimpangan sosial membuat rumah tangga rapuh. Suami dipaksa bekerja dalam sistem kerja yang kejam, istri menanggung peran ganda tanpa dukungan sosial, anak tumbuh di antara kesibukan dan kesepian. Negara yang menganut kapitalisme justru abai — menyerahkan kesejahteraan rakyat kepada pasar. Maka rumah pun kehilangan kedamaian, dan cinta kehilangan keberkahan.

Inilah wajah muram peradaban sekuler: manusia diasingkan dari Penciptanya, keluarga kehilangan arah, dan masyarakat kehilangan fondasi moral. Karena itu, solusi bagi maraknya perceraian bukan sekadar konseling atau seminar keluarga. Akar persoalan ini sistemik. Ia lahir dari paradigma yang memisahkan agama dari kehidupan — dan hanya bisa disembuhkan dengan sistem yang menegakkan Islam secara kaffah.

Islam menawarkan jalan yang kokoh untuk membangun keluarga sakinah. Dalam sistem pendidikan Islam, pembinaan kepribadian menjadi fondasi. Anak-anak dididik bukan hanya agar cerdas, tapi agar bertakwa; bukan sekadar mengejar dunia, tapi memahami tanggung jawab akhirat. Sejak dini mereka diajarkan tentang adab, peran suami, istri, dan orang tua, agar siap membangun rumah tangga dengan kesadaran, bukan sekadar perasaan.

Dalam sistem pergaulan Islam, interaksi antara laki-laki dan perempuan dijaga dalam bingkai takwa. Masyarakat dibangun sebagai penjaga moral, bukan sekadar penonton kerusakan. Konflik keluarga diselesaikan dengan nasihat, mediasi, dan dukungan sosial — bukan dengan perceraian cepat ala hukum sekuler.

Sementara itu, negara Khilafah Islamiyah memiliki peran sentral dalam menjaga ketahanan keluarga. Negara wajib menjamin kesejahteraan rakyat melalui pengelolaan kekayaan alam, zakat, dan baitul mal. Kebutuhan dasar — pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan — dijamin oleh negara, sehingga tekanan ekonomi tak meruntuhkan rumah tangga. Negara juga menanamkan nilai takwa dalam pendidikan dan media, menjaga masyarakat dari budaya permisif, serta menegakkan hukum syariat yang adil bagi suami, istri, dan anak.

Dalam naungan Khilafah, suami menjadi pemimpin penuh kasih dan tanggung jawab, istri menjadi penumbuh ketenangan, dan anak-anak tumbuh dalam suasana iman. Dari keluarga seperti inilah lahir masyarakat yang kuat dan peradaban yang beradab.

Maka, ketika kita bicara tentang ketahanan keluarga, sejatinya kita sedang bicara tentang sistem yang menaungi kehidupan. Selama sekularisme menjadi asas, rumah tangga akan terus diguncang badai. Namun bila Islam diterapkan secara kaffah, cinta kembali bermakna ibadah, rumah kembali jadi surga, dan generasi pun tumbuh dalam keteguhan.

Karena sejatinya, keluarga sakinah tidak lahir dari seminar atau slogan, tapi dari sistem yang menumbuhkan iman dan menegakkan keadilan. Hanya dengan Islam, cinta akan kembali kokoh — dan rumah kembali menjadi surga. 

Wallahu'alam

Oleh: Tuty Prihatini, S.Hut.
Aktivis Muslimah Banua

Opini

×
Berita Terbaru Update