Tintasiyasi.id.com -- Pemerintah kembali menggulirkan wacana redenominasi rupiah, yaitu penyederhanaan nominal uang dengan memangkas beberapa digit nol, seperti “Rp1.000 menjadi Rp1”. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut langkah ini sebagai upaya modernisasi sistem keuangan dan efisiensi transaksi, dengan target pembahasan RUU Redenominasi rampung sebelum 2027 (Reuters.com, 8/112025).
Bank Indonesia pun memberi tanggapan hati-hati bahwa redenominasi tidak akan mengubah daya beli, tetapi tetap memerlukan stabilitas ekonomi dan kepercayaan publik agar tidak menimbulkan kebingungan harga di masyarakat (cnbcindonesia.com, 10/11/2025)
Sepintas, kebijakan ini terdengar keren, rupiah jadi “ringkas”, angka nol tak lagi berjejer panjang. Namun jika diselami, redenominasi sejatinya tidak menyentuh akar masalah, tapi justru menunjukkan rapuhnya sistem moneter fiat yang nilainya terus menurun akibat inflasi dan ketergantungan pada instrumen riba.
Nilai Uang: Antara Angka dan Hakikat
Bagi masyarakat awam, perubahan nominal uang sering disalahpahami sebagai “pemangkasan nilai”. Padahal, secara teori, redenominasi tidak mengurangi daya beli. Tapi sejarah mengajarkan, setiap kali pemerintah bermain-main dengan angka uang, publik selalu menanggung risiko psikologis dan harga-barang ikut naik.
Kita masih ingat sanering 1965 bukan sekadar penyederhanaan, tapi pemotongan nilai yang memiskinkan rakyat. Kini, walaupun pemerintah menolak menyamakan redenominasi dengan sanering, ketakutan publik tetap beralasan. Sebab “nol berkurang” tak otomatis membuat nilai ekonomi stabil.
Masalah utama bukan di jumlah nolnya, tapi pada hakikat uang yang dipakai, yaitu uang kertas berbasis kepercayaan (fiat money). Nilainya ditentukan oleh kebijakan, bukan oleh nilai intrinsik. Ketika kepercayaan goyah, nilainya runtuh.
Dinar dan Dirham Sebagai Tolak Ukur Nilai Nyata
Islam sudah sejak 14 abad lalu menuntun manusia agar menjadikan emas (dinar) dan perak (dirham) sebagai alat ukur nilai yang adil dan stabil.
Rasulullah Saw menggunakan dinar emas seberat 4,25 gram dengan kadar 22 karat. Harga satu ekor kambing di masa beliau adalah sekitar 1 dinar sebuah angka yang terus menjadi tolak ukur luar biasa stabil sepanjang sejarah.
Sekarang, mari kita lihat dengan logika ekonomi modern: Harga 1 dinar (emas 4,25 gram) dengan harga emas November 2025 Rp2.307.000/gram, maka 1 Dinar sekitar 9,8 juta rupiah.
Dan berapa harga kambing saat ini? Di berbagai daerah Indonesia, seekor kambing sehat untuk aqiqah atau qurban per November 2025 berkisar Rp 3 – 4 juta. Artinya, selama lebih dari 1.400 tahun, nilai 1 dinar tetap mampu membeli satu atau bahkan dua kambing.
Itulah bukti paling konkret bahwa stabilitas dinar bukan mitos, melainkan kenyataan empiris. Sementara rupiah, yang baru berusia beberapa dekade, nilainya sudah terkikis puluhan kali lipat.
Jika di tahun 1980 Rp 100.000 bisa membeli satu gram emas, kini dibutuhkan lebih dari Rp 2,3 juta untuk membeli jumlah yang sama. Itu bukan salah rakyat, tapi cacat sistem. Nilai uang terus melemah, tapi angka di dompet makin banyak nolnya, paradoks uang kertas yang kehilangan makna.
Perspektif Ekonomi Islam
Dalam pandangan Islam, uang bukan alat spekulasi, melainkan alat ukur nilai barang dan jasa secara adil.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam menegaskan,
“Fungsi uang adalah standar harga dan alat tukar, bukan komoditas untuk diperjualbelikan.”
Artinya, ketika uang menjadi komoditas di pasar valas, ia kehilangan fungsinya sebagai alat keadilan. Inflasi yang terus menanjak bukan sekadar fenomena ekonomi, tetapi bukti bahwa sistem kapitalisme gagal menjaga amanah nilai.
Islam memandang kestabilan moneter sebagai bagian dari keadilan ekonomi. Dalam sistem khilafah, negara hanya mengedarkan uang berbasis emas dan perak yang nilainya bukan janji, melainkan benda nyata. Itulah sebabnya, selama lebih dari 13 abad, peradaban Islam tidak pernah mengalami inflasi sebesar negara-negara modern. Itu pula sebabnya harga kambing tetap “1 dinar” sepanjang masa.
Redenominasi: Menghapus Nol, Bukan Menyembuhkan Luka
Redenominasi rupiah hanya akan memperindah tampilan angka, bukan memperbaiki luka lama. Nol boleh berkurang, tapi daya beli tetap melemah.
Jika ekonomi masih dikuasai sistem riba, utang luar negeri menumpuk, dan uang kertas dicetak tanpa dukungan aset riil, maka perubahan nominal hanyalah kosmetik ekonomi.
Islam menawarkan solusi struktural yaitu,
Pertama, kembali ke standar emas-perak (bimetalik). Uang memiliki nilai intrinsik, bebas inflasi buatan, dan tidak bisa dimanipulasi kebijakan.
Kedua, hapus sistem riba dan uang utang. Karena sumber inflasi utama adalah bunga dan penciptaan uang berbasis kredit.
Ketiga, terapkan sistem ekonomi Islam yang menata keuangan sesuai syariah.
Negara mengelola kekayaan alam, distribusi, dan keuangan publik tanpa utang ribawi.
Refleksi untuk Umat
Wacana redenominasi boleh jadi tampak modern, tapi jika akar sistem masih sama, maka hasilnya tetap semu. Kita perlu bertanya lebih jujur, apakah uang kita punya nilai, atau sekadar angka yang kita yakini bersama?
Emas dan perak tidak butuh redenominasi. Ia tidak takut inflasi, tidak tunduk pada kurs dolar, dan tidak kehilangan makna karena perubahan kebijakan.
Sementara uang kertas, sekalipun dihapus tiga nol, tetap saja rapuh, karena nilainya hanya berdiri di atas kertas dan kepercayaan.
Hari ini, 1 dinar masih bisa membeli seekor kambing seperti 14 abad lalu.
Tapi 1 rupiah hari ini, bahkan tidak cukup membeli sebutir nasi dan di situlah letak perbedaan antara mata uang yang bernilai dan mata uang yang dinilai.
Oleh karena itu, redenominasi bukan jalan keluar, hanya gincu di wajah ekonomi yang lelah. Islam telah menunjukkan cara menjaga nilai uang tanpa harus menghapus nol, yaitu dengan menegakkan sistem ekonomi Islam, berlandaskan emas dan perak, serta bebas riba.
Satu dinar tak pernah kehilangan makna, karena ia disandarkan pada nilai yang Allah tetapkan, yaitu keadilan dan keseimbangan. Sementara rupiah, selama berdiri di atas sistem fiat yang rapuh, akan terus kehilangan daya, sedikit demi sedikit.
Maka sebelum menghapus nol di uang, mari hapus dulu nol dalam iman terhadap sistem buatan manusia. Karena hanya ketika ekonomi kembali kepada syariat, nilai uang dan hidup manusia akan kembali bermakna.[]
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)