Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Proyek Prestise Bukan Prioritas: Kemajuan untuk Siapa, Beban untuk Siapa?

Senin, 03 November 2025 | 08:26 WIB Last Updated 2025-11-03T02:14:51Z
TintaSiyasi.id -- Kontroversi Anggaran dan Dugaan Mark-Up

Dugaan mark-up proyek Whoosh atau Kereta Cepat Jakarta—Bandung kini menjadi perhatian publik. Proyek yang digadang-gadang sebagai simbol modernisasi ini mengalami pembengkakan biaya hingga 7,27 miliar dolar AS dari investasi awal 6,07 miliar dolar AS. Sebanyak 75% dibiayai pinjaman China Development Bank dengan bunga 2—3,4% per tahun—sekitar Rp2 triliun bunga tiap tahun.

Menanggapi hal ini, Menkeu Purbaya YS menolak jika utang Whoosh ditanggung APBN karena Whoosh yang dikelola Danantara sudah mengambil dividen dari BUMN lebih dari Rp80 triliun. Mahfud MD juga menyoroti biaya per kilometer Whoosh versi Indonesia mencapai US$52 juta, padahal hitungan China hanya US$17–18 juta. Ia mengingatkan proyek ini berisiko mengancam kedaulatan negara karena utang yang terus meningkat. Sebab, pendapatan tiket paling tinggi baru sekitar Rp1,5 triliun per tahun. Artinya, proyek ini sulit menutupi bunga saja.

Sejak awal, proyek ini sarat kejanggalan. Kementerian PUPR mengungkap, pilar LRT yang dibangun oleh PT KCIC dilakukan tanpa izin sehingga membahayakan keselamatan pengguna jalan. Sistem drainase yang buruk turut menimbulkan genangan air dan kemacetan di Tol Jakarta–Cikampek. Kini, KPK resmi memulai penyelidikan atas dugaan korupsi proyek KCJB ini.

Antara Gengsi Politik dan Amanah Publik

Pertanyaan besar muncul: apakah ini kebutuhan mendesak atau sekadar ambisi politik semata?
Di tengah masih banyaknya sekolah yang rusak dan akses pendidikan yang sulit, seharusnya penentuan skala prioritas menjadi pertimbangan utama. Terlebih, rute Jakarta–Bandung sebenarnya telah memiliki sarana transportasi yang cukup lengkap—kereta, mobil, bus, hingga travel—dengan infrastruktur memadai. Namun, pemerintah tetap menggenjot pengerjaannya demi gengsi dan prestise di hadapan negara berkembang lainnya, meski biaya membengkak jauh dari estimasi awal.

Ironisnya, proyek berbiaya jumbo ini berpotensi merugi. Proyek rugi seharusnya ada benefit ke rakyat dalam perkembangan ekonomi dan sosial. Namun, nyatanya fasilitas ini hanya dinikmati segelintir orang. Tidak semua kalangan mampu, bahkan mau, membayar tiket Whoosh seharga Rp300.000. Kendati berupa fasilitas publik, nilai guna dan profitnya bukan dalam rangka kemanfaatan publik, melainkan hanya untuk keuntungan beberapa pihak saja.

Dalam hal pengusutan perkara ini juga harus adil, bukan tunduk pada kekuasaan, karena realitanya hukum kerap diperalat penguasa. Dalam sistem kapitalisme saat ini, proyek yang dipaksakan penguasa sulit ditolak sehingga berdampak pada banyak orang dan dalam jangka waktu yang lama.

Islam Mengatur Pengelolaan Infrastruktur dan Kepemilikan Publik

Dalam Islam, kereta adalah fasilitas publik. Whoosh menggunakan listrik yang di Indonesia umumnya berasal dari pembangkit batu bara—energi hasil pembakaran yang tergolong “api” dalam fikih dan tergolong kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah)—sehingga pengelolaannya seharusnya tidak diserahkan untuk kepentingan segelintir pihak saja.

Rasulullah ﷺ bersabda,
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Perserikatan ini bukan karena zatnya, melainkan karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak. Perserikatan itu bermakna perserikatan dalam pemanfaatan. Dalam arti, semua boleh memanfaatkannya. Atas dasar ini, seluruh infrastruktur yang menyertai pembangunan kereta cepat tersebut juga berstatus kepemilikan umum. Pengelolaannya pun harus dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat tanpa sedikit pun motif bisnis, privatisasi, maupun kapitalisasi. Haram pula hukumnya memungut biaya dari rakyat saat mereka menggunakannya, seperti biaya tol atau tarif perjalanan.

Islam juga melarang riba. Skema utang asing berbunga dan ketergantungan ekonomi jelas bertentangan dengan syariat. Pola pendanaan Cina yang mirip penjajahan ekonomi juga bertentangan dengan syariat Islam yang melarang kaum Muslim berada dalam kontrol negara-negara kafir. Dalam Islam, kepemilikan ditata dengan sistem ekonomi berasaskan iman dan takwa yang bertujuan menciptakan keberkahan bagi kaum Muslim. Pendanaan pembangunan berasal dari kas Baitul Mal yang halal, bukan utang riba.

Islam pun menetapkan bahwa para penguasa haruslah orang-orang yang memiliki iman dan takwa. Dengan demikian, mereka tidak akan pernah mau menerima suap, melakukan kolusi dan korupsi, apalagi mengintimidasi rakyat. Mereka melayani rakyat dengan setulus hati dan mengharap ridha Allah Swt. semata.

Syariat Islam yang mengatur segala bidang kehidupan, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam milik umum, harus segera diwujudkan. Syariat ini tidak mungkin terwujud dalam sistem kapitalisme yang busuk dan menyengsarakan. Syariat ini hanya bisa terlaksana dengan sempurna dalam institusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islamiyah. Inilah amal besar yang harus segera ditunaikan oleh kaum Muslim sebagai kewajiban dari Allah Ta’ala.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Oleh: Berliana Sukma Fadzilah
Mahasiswa

Opini

×
Berita Terbaru Update