Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Perumpamaan Orang Munafik dalam QS. Al-Baqarah 17–20

Selasa, 18 November 2025 | 04:54 WIB Last Updated 2025-11-17T21:54:17Z
Cermin Kejujuran Iman dan Peringatan Bagi Hati yang Gelap

TintaSiyasi.id -- Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang paling kuat dalam membongkar hakikat penyakit hati adalah QS. Al-Baqarah ayat 17 sampai 20. Empat ayat ini menghadirkan dua perumpamaan yang indah sekaligus mengguncang, menggambarkan keadaan batin orang-orang munafik—mereka yang menampakkan keimanan namun di dalam hatinya menyimpan keburukan, keraguan, dan tipu daya.

Perumpamaan ini bukan sekadar untuk menggambarkan kelompok tertentu di masa Rasulullah ﷺ, tetapi menjadi cermin bagi setiap hamba sepanjang zaman. Sebab, benih-benih kemunafikan dapat tumbuh pada jiwa siapa pun yang tidak menjaga keikhlasan, kejujuran, dan istiqamah.

I. Perumpamaan Pertama: Api yang Menyinari Lalu Padam (Ayat 17–18)

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, lalu ketika api itu telah menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, sehingga mereka tidak dapat melihat…” (Al-Baqarah 2:17–18)

1. Cahaya Hidayah yang Pernah Mereka Rasakan

Ulama besar seperti Ibn Katsir menjelaskan bahwa api yang dinyalakan melambangkan hidayah. Orang munafik awalnya merasakan cahaya Islam—mereka mengetahui kebenaran, melihat keindahan syariat, bahkan mungkin tergerak melakukan amal kebaikan di hadapan manusia.

Namun cahaya itu tidak mengakar dalam hati. Ia hanya menyinari permukaan, bukan menerangi kedalaman jiwa.

Mereka seperti seseorang yang masuk ke ruangan yang gelap, lalu sekejap dinyalakan lampu. Ketika lampu mati, seluruh ruang kembali gelap gulita. Ia tidak tahu arah, tidak mengenali jalan, apalagi melihat kebenaran.

2. Allah Menghilangkan Cahaya Mereka

Perhatikan: Allah tidak mematikan api, tetapi menghilangkan cahayanya.
Api tetap menyala secara lahiriah—mereka masih tampak sebagai Muslim: shalat, sedekah, menghadiri majelis. Namun cahaya iman telah dicabut.

Yang tersisa hanyalah kegelapan:

gelap keraguan,

gelap penyimpangan,

gelap kepentingan pribadi,

gelap cinta dunia.

Inilah bahaya terbesar kemunafikan: dari luar tampak bercahaya, tetapi batinnya mati.

3. Tuli, Bisu, Buta

Allah menutup ayat ini dengan gambaran yang mengguncang:

Tuli >> kebenaran tidak lagi menyentuhnya

Bisu >> tidak mau berkata jujur tentang kebenaran

Buta >> tidak melihat hikmah dan petunjuk Allah

Mereka hidup, tetapi tidak benar-benar hidup; mereka bergerak, tetapi seakan tanpa arah.

Ini menjadi peringatan bagi setiap Muslim agar tidak membiarkan hati dipenuhi dosa yang menggelapkan cahaya iman.

II. Perumpamaan Kedua: Hujan, Kegelapan, Guruh, dan Kilat (Ayat 19–20)

“Atau seperti hujan lebat dari langit yang disertai kegelapan, petir, dan guruh…” (Al-Baqarah 2:19–20)

Perumpamaan ini lebih mendalam, menggambarkan kebingungan dan ketakutan orang munafik ketika berhadapan dengan wahyu.

1. Hujan = Wahyu yang Menumbuhkan Kehidupan

Hujan selalu membawa berkah, kehidupan, dan kesuburan. Tetapi bagi orang munafik, turunnya wahyu justru terasa sebagai ancaman, bukan rahmat.

Ayat-ayat Al-Qur’an yang sebenarnya membawa kehidupan menjadi:

gelap bagi mereka (karena hati yang gelap),

petir yang menakutkan (karena mengandung peringatan),

guruh yang menggelegar (karena mengoreksi dan menegur).

Hati yang jujur menikmati wahyu seperti tanah subur yang gembira menyambut air hujan.

Tapi hati munafik seperti tanah keras yang menolak air.

2. Menyumbat Telinga Karena Takut Mati

Allah menggambarkan bagaimana mereka menutup telinga dari suara petir. Ini seperti:

menghindari ayat ancaman,

alergi terhadap perintah yang berat,

enggan mendengar nasihat yang menyentuh hati,

lari dari majelis yang mengajak pada taat.

Mereka ingin masuk Islam tanpa beban, tanpa komitmen, tanpa perubahan. Mereka ingin keberkahan Islam, tetapi menolak tuntutannya.

3. Berjalan Saat Terang, Berhenti Saat Gelap

Kalimat agung dalam ayat ini adalah:

“Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan; bila gelap menimpa, mereka berhenti.”

Inilah sifat kemunafikan praktis:

Bila Islam menguntungkan >> mereka ikut

Bila ada resiko >> mereka mundur

Bila suasana aman >> mereka tampak religius

Bila ada tekanan >> mereka lepas identitas

Iman mereka seperti lampu kedap-kedip: menyala dan mati, tidak stabil, tidak kokoh, tidak bisa diandalkan.

III. Pesan Besar dari Dua Perumpamaan Ini

Ayat-ayat ini bukan sekadar kritik kepada kaum munafik Madinah, tetapi peringatan sepanjang zaman bagi umat Islam.

1. Iman Harus Jujur dan Tulus

Iman bukan sekadar ritual atau penampilan, melainkan cahaya yang menembus hati. Bila hati tidak bersih, cahaya itu akan padam.

2. Hidayah Bisa Datang dan Bisa Pergi

Yang paling menakutkan bukanlah tidak mendapat hidayah, tetapi pernah mendapat lalu dicabut karena tidak dijaga.

Betapa banyak orang yang awalnya rajin, lalu futur; awalnya dekat Allah, kemudian menjauh; awalnya kuat, lalu rapuh.

3. Jangan Menjadi Hamba Musiman

Hamba yang hanya taat ketika dunia memberikan kenyamanan adalah hamba yang rapuh.
Allah menginginkan keteguhan dan komitmen, bukan kepura-puraan.

4. Wahyu Akan Menjadi Cahaya atau Malapetaka

Tergantung keadaan hati:

Bagi hati yang bersih>>wahyu adalah cahaya

Bagi hati yang kotor>>wahyu menjadi gelap, ancaman, dan beban

IV. Bagaimana Agar Tidak Terjerumus dalam Nifaq?

1. Perbanyak Muhasabah

Setiap malam, tanyakan pada diri:
“Apakah aku hari ini lebih dekat kepada Allah atau lebih jauh?”

2. Rawat Keikhlasan

Amal yang tidak ikhlas adalah amal tanpa cahaya.
Rutin berdoa:

“Allahumma inni a'udzu bika min an usyrika bika wa ana a’lam…”

3. Jaga Ibadah Rahasia

Amalan yang paling menjaga kejujuran iman adalah amalan yang tidak dilihat manusia:
tahajud, sedekah diam-diam, dzikir dalam kesunyian.

4. Hadiri Majelis Ilmu

Majelis ilmu adalah hujan yang menyuburkan hati.
Orang munafik justru alergi kepada ilmu yang memperbaiki diri.

5. Bergaul dengan Orang Shalih

Hati yang dekat dengan hati shalih akan memantulkan cahaya iman.

Penutup: Cahaya Iman Harus Dijaga

Perumpamaan api dan hujan dalam ayat ini mengajarkan bahwa cahaya iman bukan hak milik permanen. Ia harus dijaga dengan ketulusan, amal, dan takwa. Bila tidak, ia dapat hilang tanpa kita sadari.

Semoga Allah menjauhkan kita dari segala bentuk kemunafikan lahir maupun batin, mengokohkan iman kita di atas kebenaran, dan menjadikan hati kita selalu bercahaya oleh petunjuk-Nya.

Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Oleh. Dr Nasrul Syarif M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo) 

Opini

×
Berita Terbaru Update