Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Nestapa Bilqis dan Runtuhnya Naluri Kemanusiaan dalam Sistem Sekuler-Liberal

Selasa, 18 November 2025 | 01:48 WIB Last Updated 2025-11-17T18:49:06Z
TintaSiyasi.id -- Seorang perempuan berinisial MA (42) menculik balita bernama Bilqis di Taman Pakui Sayang, Makassar, lalu menjualnya ke komunitas Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi seharga sekitar Rp 80 juta. Fakta bahwa seorang anak berusia empat tahun diperlakukan sebagai barang dagangan mengungkap sisi paling gelap dari perdagangan anak di Indonesian, praktik yang terus berulang dan semakin terorganisasi di berbagai wilayah negeri.(detik.com, 12/11/2025)

Kasus Bilqis bukan peristiwa tunggal. Sepanjang tahun 2025, berbagai media mengungkap jaringan perdagangan bayi dan anak dari Jawa Barat, Kalimantan, NTT, hingga Sulawesi. Modusnya beragam, seperti penculikan, penjualan langsung oleh orang tua, hingga “adopsi ilegal” yang disamarkan sebagai bantuan sosial. 

Di balik semua itu, terdapat benang merah yang sama, yaitu sistem hidup yang menempatkan uang sebagai standar tertinggi, hingga manusia kehilangan naluri alamiahnya untuk melindungi anak. Ketika seseorang mampu menukar tawa seorang balita dengan tumpukan lembar rupiah, kerusakan moral itu bukan lagi masalah individu, tetapi buah dari lingkungan sistemis yang salah arah.

Dalam sistem sekuler-liberal, nilai hidup direduksi menjadi angka dan keuntungan. Agama dipisahkan dari pengaturan kehidupan sehingga standar halal-haram diganti logika pasar, selama menghasilkan uang, selama tidak tertangkap, maka sebuah tindakan bisa dianggap “pilihan”. Kondisi ini mempercepat matinya rasa empati dan naluri kasih sayang, dua hal yang secara fitrah melekat pada manusia. 

Naluri gharizah nau' (insting menjaga keturunan) yang seharusnya membuat manusia rela mempertaruhkan nyawa demi melindungi anak, berubah menjadi sesuatu yang tumpul karena tekanan hidup, ketamakan, dan lemahnya kontrol moral.

Kerusakan itu tidak lepas dari logika hidup kapitalistik bahwa mencari uang dengan cara apa pun dianggap wajar. Masyarakat dibesarkan untuk mengejar materi, sementara pendidikan moral religius dipangkas menjadi formalitas. Media menormalisasi kerasnya hidup, negara sibuk mengurus kepentingan politis, dan berlapis masalah ekonomi membuat sebagian orang “melegalkan” segala cara.

Akibatnya, lahirlah individu-individu yang menjadikan anak sebagai komoditas. Penculikan, penjualan bayi, dan eksploitasi anak bukan lagi anomali, tetapi konsekuensi yang muncul dari sistem yang mengasuh manusia tanpa landasan ketakwaan.

Penegakan hukum dalam sistem sekuler-liberal juga lebih bersifat reaktif daripada preventif. Setelah kisah anak hilang viral, barulah aparat bergerak. Setelah pelaku tertangkap, barulah publik ribut. Namun tidak ada langkah mendasar yang menutup seluruh pintu terjadinya kejahatan. 

Tidak ada pengawasan ketat terhadap pergerakan anak, tidak ada mekanisme pendidikan masyarakat berbasis ketakwaan, tidak ada jaminan ekonomi yang memadai untuk mencegah orang tua terjerumus dalam tindakan nekat. Bahkan, birokrasi sering membuka celah bagi praktik adopsi ilegal, pemalsuan dokumen, atau penyalahgunaan lembaga sosial.

Solusi Islam

Islam menawarkan solusi yang berdiri di atas fondasi berbeda, penjagaan jiwa dan keturunan adalah kewajiban negara, bukan pilihan. Syariat menempatkan anak sebagai amanah besar dari Allah yang tidak boleh disia-siakan. 

Dalam pandangan Islam, hilangnya satu anak akibat kelalaian sistem adalah dosa yang akan dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya oleh pelaku, tetapi oleh pemimpin yang membiarkan celah tersebut terbuka.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa tugas negara adalah menutup semua jalan yang memungkinkan terjadinya kemudaratan, bukan hanya menghukum setelah kejahatan terjadi. 

Negara wajib membangun masyarakat bertakwa, menyediakan keamanan publik, menghilangkan tekanan ekonomi yang mendorong orang berbuat kriminal, serta menerapkan sanksi yang tegas dan menjerakan sesuai syariat.

Menurut beliau, selama sistem kapitalisme tetap menjadi fondasi kehidupan, kriminalitas tidak akan pernah hilang, ia hanya berpindah bentuk.

Dalam sistem Islam, perlindungan terhadap anak dilakukan melalui tiga lapis penjagaan:

Pertama, penjagaan individu.
Setiap Muslim dibina akidahnya sehingga sadar bahwa menyakiti atau bahkan menculik anak adalah dosa besar. Kesadaran ini bukan sekadar pengetahuan, tetapi karakter yang terbentuk sejak kecil melalui penerapan sistem pendidikan Islam dalam kurikulum sekolah.

Kedua, penjagaan masyarakat.
Masyarakat Islam menjalankan amar makruf nahi mungkar. Ketika ada anak yang dibawa orang asing, ketika muncul transaksi mencurigakan, atau ketika seseorang mencoba mengadopsi anak tanpa wali sah, masyarakat tidak diam. Kultur sosial ini menciptakan pengawasan alami yang sulit ditembus jaringan kriminal.

Ketiga, penjagaan negara.
Negara (khilafah) bertanggung jawab menyediakan aparat keamanan yang amanah, sistem registrasi anak yang ketat, pengawasan lalu lintas manusia, mekanisme adopsi yang hanya bisa dilakukan melalui jalur syar’i, serta sanksi hukuman yang menutup peluang berulangnya kejahatan. 

Negara juga wajib menyediakan jaminan ekonomi sehingga tidak ada keluarga yang terpaksa menjual anak demi bertahan hidup. Model pengawasan berlapis ini terbukti historis. 

Dalam peradaban Islam selama ratusan tahun, kejahatan terhadap anak sangat jarang terjadi, bukan karena hukumnya semata, tetapi karena sistem secara menyeluruh menjaga manusia agar tetap berada pada fitrahnya. Negara memastikan keamanan, masyarakat menjaga lingkungan sosial, dan individu dibina keimanannya.

Kasus Bilqis adalah peringatan keras bahwa sistem sekuler-liberal telah gagal menjaga naluri paling dasar dalam diri manusia, yaitu melindungi keturunan. 

Selama standar hidup tetap bertumpu pada logika keuntungan, perdagangan anak akan terus memakan korban. Tidak cukup hanya menangkap pelaku, tapi sistem yang membuka peluang kejahatan harus diganti. 

Islam menunjukkan bahwa keamanan anak dapat diwujudkan melalui sistem yang menegakkan akidah, moral, dan hukum Allah secara kaffah dibawah naungan Daulah Khilafah. Inilah satu-satunya jalan untuk memastikan tragedi seperti yang menimpa Bilqis tidak kembali terulang. []


Nabila Zidane
Jurnalis

Opini

×
Berita Terbaru Update