Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Menjadi Musyrif atau Guru yang Menginspirasi dan Mencerahkan: Menumbuhkan Generasi Pengemban Dakwah yang Militan

Minggu, 02 November 2025 | 17:20 WIB Last Updated 2025-11-02T10:20:39Z


TintaSiyasi.id -- 1. Makna Menjadi Musyrif atau Guru dalam Cahaya Dakwah

Menjadi musyrif (pembina halaqah) atau guru bukan sekadar peran akademik atau formalitas dalam dunia pendidikan Islam. Ia adalah amanah ruhani, sebuah panggilan untuk menyalakan cahaya hidayah di hati manusia. Dalam pandangan Islam, guru bukan hanya penyampai ilmu, tetapi penuntun jalan menuju Allah, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya, serta penghuni langit dan bumi, bahkan semut di lubangnya dan ikan di laut, mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.”
(HR. Tirmidzi)

Musyrif sejati adalah pelanjut tugas para nabi — mendidik, membimbing, dan menanamkan iman serta akhlak dalam jiwa umat. Ia tidak hanya mengajarkan “apa yang harus diketahui”, tapi juga menghidupkan “mengapa” dan “untuk siapa” seseorang berjuang dan beramal.

2. Menginspirasi dengan Keteladanan

Inspirasi tidak lahir dari kata-kata indah semata, melainkan dari keteladanan nyata.
Seorang musyrif yang ikhlas, sabar, dan istiqamah akan membekas dalam hati para mutarabbi (binaan). Mereka belajar bukan hanya dari materi halaqah, tetapi dari cara pembinanya berwudhu, berdoa, berbicara, bersabar, dan menghadapi ujian.

Sebagaimana kata ulama salaf:

“Lisanul hal afshahu min lisanil maqāl.”
(Bahasa perilaku lebih fasih daripada bahasa ucapan.)

Keteladanan yang konsisten adalah energi dakwah yang paling kuat. Ia menghidupkan ruh semangat dalam diri murid untuk menjadi pengemban dakwah yang militan — bukan karena paksaan, tetapi karena cinta dan keyakinan.

3. Menumbuhkan Militansi Dakwah dengan Kasih dan Kesadaran

Militansi dalam dakwah bukan berarti keras atau fanatik buta. Militansi berarti teguh dalam prinsip, lembut dalam pendekatan, dan luas dalam pandangan.
Musyrif yang bijak tahu bahwa setiap anggota halaqah memiliki kadar iman dan semangat yang berbeda. Maka, pendekatan yang digunakan pun penuh kasih dan hikmah, sesuai firman Allah:

“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik.”
(QS. An-Nahl: 125)

Menumbuhkan semangat dakwah memerlukan tiga fondasi utama:

1. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya – agar dakwah lahir dari kerinduan, bukan keterpaksaan.

2. Ilmu dan pemahaman yang benar – agar militansi terarah dan berlandaskan dalil.

3. Kebersamaan dalam ukhuwah – agar setiap mutarabbi merasa bagian dari perjuangan yang besar.

4. Mencerahkan Jiwa, Membangkitkan Umat

Guru dan musyrif sejati tidak puas hanya melihat muridnya pandai. Ia ingin melihat mereka menjadi cahaya bagi orang lain.
Ia sadar bahwa halaqah bukan sekadar forum kajian, melainkan pabrik ruhani yang melahirkan kader da’i, mujahid ilmu, dan pembina umat.

Mereka dibina agar tidak hanya hafal ayat, tapi juga menghidupkan ayat dalam tindakan.
Tidak hanya memahami hadis, tapi meneladani akhlak Rasulullah ﷺ dalam keseharian.
Tidak hanya fasih berbicara tentang Islam, tapi siap memperjuangkannya dengan sabar dan istiqamah.

5. Ruh Dakwah: Keikhlasan dan Doa

Setiap langkah dalam membina umat harus berakar dari keikhlasan. Sebab dakwah tanpa ikhlas akan layu sebelum berkembang.
Musyrif yang ikhlas akan tetap tersenyum meski tidak dipuji, tetap melayani meski tidak dihargai, dan tetap mendoakan meski dilupakan.

Doa menjadi senjata utama.
Setiap malam, seorang pembina yang sadar akan amanahnya menyebut nama-nama binaannya dalam sujudnya, memohon agar Allah menetapkan hati mereka dalam iman, dan menjadikan mereka penegak kalimat Allah di muka bumi.

6. Penutup: Menjadi Lentera yang Tidak Padam

Menjadi musyrif atau guru yang menginspirasi berarti menjadi lentera dalam gelapnya zaman, bukan hanya untuk menerangi orang lain, tetapi juga menjaga agar cahayanya tetap menyala di dalam diri.
Sebab, dakwah bukan perjalanan singkat. Ia adalah perjalanan panjang menuju ridha Allah, di mana setiap langkah, setiap kata, dan setiap air mata menjadi saksi amal shalih yang tidak sia-sia.

“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh, dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
(QS. Fushshilat: 33)

Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo )

Opini

×
Berita Terbaru Update