Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Hakikat Keberkahan dan Kemuliaan dalam Pandangan Ulama Tasawuf

Minggu, 02 November 2025 | 17:40 WIB Last Updated 2025-11-02T10:40:23Z

TintaSiyasi.id -- Pendahuluan: Ketika Dunia Menyempit dalam Ukuran Lahiriah
Dalam arus deras kehidupan modern, ukuran keberhasilan manusia seringkali ditentukan oleh ukuran materi: banyaknya harta, luasnya jabatan, megahnya rumah, atau banyaknya pengikut di media sosial. Namun, para ulama tasawuf memandang semua itu hanyalah hiasan semu yang bisa menipu hati manusia.

Mereka menilai bahwa hakikat keberkahan (al-barakah) dan kemuliaan (al-‘izzah) bukan diukur dari besarnya tampilan duniawi, tetapi dari kedekatan hati kepada Allah dan keluasan manfaat dari kehidupan yang dijalani.

Bagi kaum sufi, keberkahan adalah rahmat yang tersembunyi dalam kesederhanaan, sedangkan kemuliaan adalah pancaran nur ilahi dari hati yang bersih. Dunia bisa saja memuji seseorang, namun jika Allah tidak memandangnya dengan rahmat, maka segala kemuliaannya sirna. Sebaliknya, dunia bisa merendahkan seorang wali, namun jika Allah memuliakannya, maka seluruh langit pun mengagungkannya.

Makna Keberkahan: Ketika Sedikit Menjadi Cukup, dan Cukup Menjadi Berlimpah

Kata barakah berasal dari akar kata baraka–yabruku, yang berarti tetap, bertahan, dan menetapnya kebaikan dalam sesuatu.
Menurut Imam al-Ghazali, keberkahan adalah ziyādatu al-khair wa dawāmuhu — bertambahnya kebaikan dan terus-menerusnya manfaat dari sesuatu.

Sementara Imam al-Qusyairi menafsirkan keberkahan sebagai nūr ilāhī yajri fī asrāril a‘māl — “cahaya ketuhanan yang mengalir di dalam rahasia amal perbuatan.”
Keberkahan bukan sekadar sesuatu yang banyak, tetapi sesuatu yang menghadirkan manfaat dan ketenangan batin.
Maka tidak heran jika para sufi berkata:
“Berkah bukan pada jumlah, tapi pada kehadiran Allah di dalamnya.”

Seorang pedagang mungkin memiliki keuntungan besar, namun tanpa keberkahan, ia hidup dalam gelisah dan tidak puas. 

Sebaliknya, seorang fakir mungkin hanya makan sederhana, namun karena ada keberkahan di dalamnya, hatinya dipenuhi rasa syukur dan ketenangan.

Keberkahan juga bukan hanya dalam rezeki, tetapi juga dalam waktu, ilmu, keluarga, dan umur.

• Waktu yang berkah adalah ketika seseorang dapat menghasilkan kebaikan besar dari waktu yang singkat.
• Ilmu yang berkah adalah ilmu yang diamalkan dan menuntun orang lain menuju Allah.
• Keluarga yang berkah adalah rumah tangga yang menjadi tempat tumbuhnya iman, kasih sayang, dan keteladanan.
• Umur yang berkah adalah hidup yang penuh makna walau singkat, sebagaimana umur para salihin yang sedikit tapi meninggalkan jejak abadi.

Makna Kemuliaan: Cermin Kedekatan dengan Allah

Kemuliaan (al-‘izzah atau karāmah) dalam pandangan tasawuf tidak selalu tampak dalam keajaiban, penghormatan, atau pengaruh sosial.
Menurut Imam al-Junaid al-Baghdadi,
“Kemuliaan seorang hamba bukan karena banyaknya amal, tetapi karena keikhlasannya yang murni kepada Allah.”
Sedangkan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyatakan:
“Kemuliaan hakiki adalah ketika engkau menjadi hamba yang tidak melihat selain Allah dalam setiap urusanmu.”

Kemuliaan hakiki bukanlah kemuliaan yang ditentukan oleh manusia, melainkan oleh pandangan Allah terhadap hati seseorang.
Manusia mungkin memuliakan seseorang karena pangkat, gelar, atau pengaruh, tetapi Allah hanya memuliakan mereka yang tunduk kepada-Nya, beradab dalam ibadah, dan istiqamah dalam ketaatan.

Seorang wali bisa tampak sederhana dalam pakaian dan harta, namun di sisi Allah, ia lebih mulia daripada raja dunia. Sebaliknya, banyak yang bergelimang kemegahan, tetapi di sisi Allah tiada nilai, karena hatinya jauh dari keikhlasan.

Keterkaitan Keberkahan dan Kemuliaan: Cahaya yang Menyinari Kehidupan

Keberkahan dan kemuliaan dalam pandangan tasawuf memiliki hubungan yang sangat erat.
Keberkahan adalah akar, sedangkan kemuliaan adalah buah.
Ketika kehidupan seseorang diliputi keberkahan — baik dalam amal, ilmu, waktu, maupun rezeki — maka kemuliaan akan tumbuh secara alami.

Para ulama tasawuf menegaskan bahwa keberkahan adalah rahmat tersembunyi, sedangkan kemuliaan adalah manifestasi lahir dari rahmat itu.

Berkah melahirkan kehidupan yang bermanfaat bagi sesama, dan dari manfaat itulah Allah memuliakan seorang hamba.
Kita bisa melihat contoh nyata pada kehidupan para sufi:
• Imam Hasan al-Bashri: hidup sederhana, namun ucapannya menjadi mutiara hikmah sepanjang zaman.
• Imam al-Ghazali: waktu hidupnya tidak panjang, namun keberkahan ilmunya menjangkau abad demi abad.
• Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: harta dan waktu beliau mungkin terbatas, tetapi keberkahan dakwahnya menembus seluruh penjuru dunia.
Mereka adalah cermin bahwa kemuliaan sejati lahir dari keberkahan hidup yang berporos pada keikhlasan dan cinta kepada Allah.

Jalan Para Sufi Menuju Keberkahan dan Kemuliaan

Para ulama tasawuf mengajarkan jalan ruhani yang mengantarkan seorang hamba menuju keberkahan dan kemuliaan sejati. Beberapa prinsip utama di antaranya adalah:

1. Ikhlas dalam setiap amal
“Amal yang kecil dengan ikhlas lebih berharga daripada amal besar yang disertai riya.”
Keikhlasan adalah ruh dari setiap amal. Tanpa ikhlas, amal hanya menjadi jasad tanpa kehidupan.

2. Zuhud terhadap dunia
Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi menjadikan dunia di tangan, bukan di hati.
Seorang sufi memandang dunia sebagai kendaraan menuju Allah, bukan tujuan akhir perjalanan.

3. Syukur dalam kelapangan, sabar dalam kesempitan
Syukur menambah nikmat, sabar menjaga keberkahan. Dua sayap 
ini mengangkat derajat seorang mukmin menuju kemuliaan.

4. Ridha dan tawakal
Ketika hati ridha dengan ketentuan Allah, maka segala keadaan menjadi lapang. Itulah sumber keberkahan yang sejati.

5. Menjaga adab kepada Allah dan makhluk
Syaikh Abu Yazid al-Busthami berkata:
“Tidak ada kemuliaan bagi orang yang buruk adabnya.”

Adab adalah mahkota sufi — siapa yang menjaganya, Allah akan menjaganya dengan kemuliaan.

6. Dzikir dan muraqabah

Hati yang senantiasa berdzikir dan merasa diawasi Allah akan dipenuhi nur. Nur inilah yang menjadi sumber keberkahan dan kemuliaan hidup.

Refleksi Ruhani: Keberkahan adalah Kehadiran Allah

Bagi seorang penempuh jalan tasawuf, keberkahan sejati adalah merasakan kehadiran Allah dalam setiap detik kehidupan.
Ia sadar bahwa setiap rezeki datang dengan izin Allah, setiap ujian membawa pelajaran, dan setiap detik adalah kesempatan untuk mendekat kepada-Nya.

Ketika Allah hadir di hati seorang hamba, maka:
• Sedikit menjadi cukup,
• Sempit menjadi lapang,
• Lelah menjadi nikmat,
• Dan hidup menjadi ibadah.
Inilah makna terdalam dari keberkahan — bukan banyaknya pemberian, tetapi kehadiran Sang Pemberi.

Penutup: Keberkahan dan Kemuliaan — Cahaya dari Tauhid

Hakikat keberkahan dan kemuliaan sejatinya bermuara pada tauhid yang murni.

Ketika hati seseorang telah bersih dari ketergantungan kepada makhluk, dan hanya bergantung pada Allah, maka hidupnya akan diliputi keberkahan dan wajahnya bersinar dengan kemuliaan.

Sebagaimana doa para arif billah:

“Ya Allah, jadikan kami mulia di sisi-Mu walau hina di mata dunia,
dan berkahilah hidup kami walau sedikit amal kami.
Limpahkan cahaya-Mu dalam hati kami agar setiap langkah menjadi kebaikan.”

Kesimpulan Ruhani

Keberkahan adalah rasa cukup yang memuaskan jiwa, sedangkan kemuliaan adalah kerendahan hati yang meninggikan derajat.
Siapa yang mencari keberkahan, hendaklah ia memperbaiki hubungan dengan Allah.

Siapa yang ingin kemuliaan, hendaklah ia memperindah akhlaknya di hadapan manusia.

Sebab, keberkahan tanpa akhlak hanya akan sirna, dan kemuliaan tanpa ikhlas hanyalah fatamorgana.

Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana  UIT Lirboyo)

Opini

×
Berita Terbaru Update