TintaSiyasi.id -- Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) memperingatkan bahwa krisis kemanusiaan di Sudan tidak hanya didorong oleh dosa internal elite, tetapi juga diperparah oleh intervensi "setan dari luar".
“Krisis kemanusiaan di Sudan tidak
hanya didorong oleh dosa internal elite, tetapi juga diperparah oleh intervensi
"setan dari luar",” ulas HILMI dalam rilis Intellectual Opinion No.
027.
Dalam konteks Qur’ani, HILMI mengatakan
bahwa "setan" di sini dipahami sebagai struktur kekuasaan dan manusia
yang fungsinya menggoda, menjerumuskan, dan merusak, yang dalam kasus Sudan
adalah negara-negara kuat yang mengeksploitasi konflik demi minyak, emas, dan
posisi geopolitik.
“Kekuatan asing melihat Sudan sebagai
ajang pengaruh. Kedengkian antar-negara inilah yang menambah rumit konflik.
Analisis mutakhir menunjukkan bahwa Sudan telah menjadi ajang “perang proxy
mini”,” ulas HILMI kepada TintaSiyasi.ID, Senin (17/11/2025).
HILMI menyebutkan analisis tersebut, “Pertama,
RSF menerima dukungan signifikan (senjata dan logistik) dari UAE. Kedua,
SAF didukung oleh Mesir, sebagian negara Teluk, Turki, dan Iran.”
“Pola klasik "setan asing"
adalah, ‘Biarkan mereka saling melemahkan; kita ambil sumber dayanya.’,” ungkap
HILMI.
Lanjut disebutkan, HILMI menyoroti peran
negara dan korporasi yang mengutamakan bisnis sumber daya (minyak dan emas)
daripada nyawa manusia:
- Minyak: Cina, melalui CNPC, merupakan pemain
besar yang membangun infrastruktur minyak Sudan, mengubah Sudan menjadi
"ladang energi" bagi pasar global.
- Emas Darah: Laporan menunjukkan UAE menjadi hub
emas Sudan yang terkait dengan RSF, dengan lonjakan impor signifikan
setelah perang pecah. Emas ini masuk ke sistem keuangan global dan kembali
menjadi senjata yang memanjangkan perang. Pasar yang membeli emas konflik
ini disebut sebagai “setan struktural” karena memberikan respirator
finansial bagi kelompok bersenjata, bukan bagi rakyat.
Selain pihak yang aktif memasok,
kekuatan Barat seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa dikritik HILMI atas
“ketidakpedulian aktif”.
Meskipun AS telah menjatuhkan sanksi
terhadap jaringan bisnis RSF dan menyatakan RSF melakukan genosida, HILMI
menegaskan jika perang besar Sudan tidak mendapat tekanan internasional sekuat
konflik lain yang lebih dekat dengan kepentingan Barat.
“"Setan" di sini adalah
pihak yang memilih diam ketika kejahatan massal terjadi, karena kalkulasi
geopolitik dan ekonomi,” lugas HILMI.
HILMI menutup analisisnya dengan
peringatan keras bagi dunia Islam: Solidaritas harus disertai analisis
struktural dan upaya advokasi serius. Kritik terhadap "setan asing"
harus diimbangi dengan koreksi internal (muroja‘ah) atas kibr, tama‘,
dan hasad di kalangan elite Sudan sendiri, yang membuka pintu bagi
intervensi luar.[] Rere
