TintaSiyasi.id -- Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) dalam rilis opini intelektualnya (No. 027) menyatakan bahwa konflik di Sudan yang melibatkan Sudanese Armed Forces (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF) sejak April 2023, yang telah mengakibatkan salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia—dengan hampir 25–30 juta orang membutuhkan bantuan dan lebih dari 12 juta orang terpaksa mengungsi—harus dibaca melalui lensa spiritual, yakni laboratorium besar dari tiga akar dosa utama umat.
“Sudan adalah laboratorium besar dari
tiga akar dosa utama: kesombongan (kibr), keserakahan (tama‘),
dan kedengkian (hasad). Akar-akar dosa ini diperparah oleh
"gangguan setan" dari dalam, yaitu elite yang korup,” sebut HILMI
kepada TintaSiyasi.ID, Senin (17/11/2025).
Akar dosa pertama, kesombongan elite. “Kesombongan politik dan identitas yang menghancurkan negara:
- Kesombongan kekuasaan: elite di Khartoum, termasuk rezim militer dan jaringan milisi, merasa paling berhak menentukan masa depan Sudan. Aspirasi kelompok perifer sering dianggap sekunder, menciptakan “kibr struktural”.
- Kesombongan identitas: dimensi identitas "Arab" versus "Afrika" sering dipolitisasi untuk membenarkan kekerasan dan marginalisasi, terutama di Darfur.
- Kesombongan militer: baik SAF maupun RSF
mengklaim sebagai penyelamat bangsa tetapi mengabaikan hukum humaniter.
“Kesombongan ini menyebabkan
negosiasi damai menjadi rapuh, kompromi dianggap kelemahan, dan kekerasan
menjadi "alat biasa" politik. Setan membisikkan kibr, ‘Kamulah
pemilik sah negara ini. Tanpa kalian, Sudan runtuh. Maka segala cara boleh.’ Yang
pada akhirnya membuat negara retak dari dalam,” tutur HILMI.
Akar dosa kedua, keserakahan
atas sumber daya alam (SDA) dan kekuasaan. “Konflik Sudan jarang murni
ideologis; di baliknya selalu ada peta sumber daya,” kata HILMI menekankan.
HILMI menguraikan peta sumber daya alam di Sudan sebagai berikut:
- Minyak: Perang Utara–Selatan, yang diakhiri oleh
Comprehensive Peace Agreement 2005, diwarnai oleh persoalan pembagian
minyak.
- Emas: dalam konflik terbaru, emas menjadi sumber
dana perang yang kotor. Laporan menyebutkan emas Sudan, yang diduga kuat
membantu pembiayaan operasi RSF, mengalir dalam jumlah besar ke Uni Emirat
Arab (UAE).
- Tanah dan Air: di Darfur, konflik juga berkaitan
dengan perebutan tanah subur dan akses air, yang berubah menjadi kekerasan
bersenjata ketika keserakahan kelompok dibiarkan tanpa hukum.
“Keserakahan elite militer dan milisi
(SAF maupun RSF) untuk mengontrol pelabuhan, jalur dagang, dan rente ekonomi
mengubah Sudan menjadi “pasar terbuka” bagi kapitalisme perang,” tandas HILMI.[]
Rere
