Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Korban Jadi Pelaku: Cermin Kelam Sistem Pendidikan Sekuler

Minggu, 16 November 2025 | 07:34 WIB Last Updated 2025-11-16T00:34:25Z

TintaSiyasi.id -- Kasus remaja korban bullying kembali memukul nurani bangsa. Dilansir dari beritasatu.com (10/11/2025), seorang santri nekat membakar asrama karena tak sanggup lagi menahan hinaan dan kekerasan teman sebaya. Di Jakarta, seorang siswa SMA diduga melakukan ledakan di lingkungan sekolah setelah bertahun-tahun menjadi sasaran ejekan dan pengucilan. (kumparan.com, 10/11/2025)

Dua peristiwa ini hanya contoh paling mencolok dari fenomena yang terjadi di berbagai daerah, menunjukkan bahwa bullying telah berubah dari tindakan individual menjadi gejala sistemik yang menggerogoti dunia pendidikan dan kesehatan mental remaja. 

Ketika ejekan dianggap lucu, pelecehan dianggap wajar, dan rasa sakit dianggap lelucon, maka tindakan ekstrem bukan lagi mustahil, ia menjadi jalan pintas bagi mereka yang tidak tahu lagi harus berlindung kepada siapa. Inilah realitas pahit negeri yang sedang menerapkan sistem pendidikan sekuler.

Bullying hari ini bukan lagi sekadar “kenakalan remaja”, tetapi sebuah budaya yang tumbuh subur di tengah masyarakat yang kehilangan sensitivitas moral. Media sosial memperbesar skala kerusakan itu. Remaja yang rentan menjadikan platform digital sebagai rujukan ekspresi, tempat mencari identitas, sekaligus tempat meniru kekerasan yang mereka saksikan. Konten merundung, menghina, mem-bully, bahkan mempermalukan orang lain dijadikan “hiburan publik” yang mendulang like. 

Budaya digital ini membentuk generasi yang mudah tersulut, mudah tersinggung, tapi juga mudah merendahkan orang lain tanpa rasa bersalah. Ketika adab tidak lagi diajarkan, maka kekacauan perilaku menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan.

Masalahnya bukan hanya pada pelaku, tetapi pada sistem yang membiarkan fenomena ini tumbuh. Pendidikan sekuler kapitalistik mengajarkan kompetisi tanpa empati, pencapaian tanpa moralitas, kecerdasan tanpa kepribadian. Nilai akademik didahulukan, sementara pembinaan karakter hanya menjadi jargon rapat tahunan. Sekolah kehilangan fungsi sebagai ruang pembinaan, ia berubah menjadi mesin produksi angka, ranking, dan ijazah. 

Guru dibebani administrasi, siswa dibebani tekanan sosial, dan negara hanya hadir sebagai pembuat regulasi teknis tanpa ruh. Ketika semua sibuk mengejar target, tidak ada yang benar-benar menjaga hati dan keselamatan jiwa anak-anak.

Cara Islam Memandang Persoalan Bullying

Islam memandang secara lebih mendasar. Kerusakan remaja adalah cermin dari rusaknya sistem yang mendidik mereka. Karena itu, tujuan pendidikan dalam Islam bukan hanya mencetak manusia cerdas, tetapi membentuk kepribadian Islam, yaitu perpaduan pola pikir (aqliyah islamiyyah) dan pola sikap (nafsiyah islamiyyah) yang dibangun kokoh di atas akidah.

Tanpa fondasi tersebut, ilmu justru bisa menjadi alat kezaliman. Remaja yang cerdas secara akademik, tetapi miskin nilai, dengan mudah menjadikan kekerasan sebagai pelampiasan. Dan itulah yang kita saksikan hari ini.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz I, menegaskan bahwa karakter manusia dibentuk oleh mafahim (pemahaman), maqayis (standar penilaian), dan qana’at (keyakinan). 

Ketiga unsur ini tidak tumbuh sendiri, tetapi mengikuti lingkungan yang menguasai kehidupan seseorang. Bila lingkungan sosial dipenuhi budaya merendahkan, standar moral yang rendah, dan interaksi yang menormalisasi kekerasan, maka generasi yang lahir pun akan membawa kerusakan itu dalam diri mereka. 

Dalam kacamata ini, bullying bukan kesalahan individu semata, tetapi produk dari sistem pendidikan dan struktur masyarakat yang rusak.

Dalam Nizham Al-Islam, Syekh Taqiyuddin menegaskan bahwa masyarakat tidak akan bisa baik kecuali jika aturan, pendidikan, dan atmosfer sosialnya tunduk pada akidah Islam. Individu beriman tidak mungkin tegak di tengah sistem yang membiarkan kezaliman.

Jika negara tidak melindungi generasi, tidak membina mereka dengan lingkungan yang sehat, dan membiarkan media merusak moral, maka kehancuran akhlak adalah konsekuensi logis dan fakta hari ini membuktikan hal tersebut.

Sistem pendidikan Islam memiliki pendekatan yang sangat berbeda. Ia dibangun dengan pembinaan intensif bukan sekadar penyampaian materi pelajaran. 

Pendidikan harus membentuk cara berpikir anak agar melihat realitas melalui kacamata wahyu, dan membentuk cara bersikap agar merespon kehidupan dengan ketaatan kepada Allah. Kurikulumnya berbasis akidah, bukan berbasis pasar. Guru berperan sebagai murabbi, bukan sekadar tenaga teknis. Sekolah menjadi rumah pembinaan jiwa, bukan hanya tempat mengejar nilai.

Sementara dalam sistem sekuler hari ini, pendidikan dikomersialisasi. Semuanya dinilai berdasarkan output materi. Sekolah dijalankan layaknya perusahaan, guru kelelahan, murid kehilangan arah, dan keluarga tidak mendapatkan dukungan moral dari negara. Akibatnya, remaja tumbuh dalam kekosongan makna dan dalam kekosongan itulah, bullying menemukan lahan subur untuk berkembang.

Dalam sistem khilafah, negara memegang tanggung jawab langsung untuk menjaga moral masyarakat. Negara wajib memastikan media tidak menyebarkan budaya merendahkan, memastikan sekolah membina adab, bukan sekadar mentransfer ilmu serta memastikan seluruh kurikulum mengarahkan peserta didik pada ketaatan kepada Allah. 

Negara juga menyediakan lingkungan sosial yang aman, menghapus faktor-faktor yang menimbulkan tekanan berlebih, dan menciptakan atmosfer masyarakat yang saling menghormati. Inilah yang membuat generasi Islam pada masa keemasan tumbuh kuat secara spiritual, cemerlang secara intelektual, dan mulia secara akhlak.

Bullying yang terus terjadi hari ini adalah bukti bahwa kita sedang hidup dalam sistem yang tidak mampu membina manusia. Seminar anti-bullying, kampanye moral sesaat, atau slogan-slogan motivatif tidak akan pernah cukup jika akar masalahnya tidak disentuh. Karena persoalan ini bukan sekadar sosial, tapi ini persoalan ideologis. 

Selama pendidikan sekuler kapitalistik tetap menjadi dasar, kita akan terus menyaksikan generasi yang terluka, kehilangan arah, dan mencari cara-cara ekstrem untuk menyampaikan rasa sakit mereka.

Sob, generasi adalah amanah terbesar dalam peradaban dan amanah itu tidak boleh dibiarkan hancur oleh budaya yang menjadikan kekerasan sebagai hiburan. 

Kita membutuhkan sistem pendidikan Islam yang memulihkan, yang membentuk kepribadian, menegakkan adab, dan menghadirkan negara sebagai pelindung sejati generasi. Karena masa depan tidak mungkin tegak di atas generasi yang terus dilukai dan sistem tersebut hanya bisa diterapkan kaffah oleh negara Khilafah Islamiyah. []


Nabila Zidane
Jurnalis

Opini

×
Berita Terbaru Update