Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Ketua HILMI Beberkan Empat Telaah Kritis Rencana Redenominasi Pemerintah

Jumat, 21 November 2025 | 04:55 WIB Last Updated 2025-11-20T21:55:14Z

TintaSiyasi.id -- Ketua Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Dr. Riyan, M.Ag. mengungkapkan empat telaah kritis terhadap rencana redenominasi pemerintah yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.

 

“Saat ini rupiah termasuk daftar world top 10 weakest currency bersama mata uang sejumlah negara di Afrika. Dengan memangkas beberapa digit nol, nilai rupiah di mata dunia bisa lebih berharga. Begitu pandangan pemerintah. Apa yang bis akita kritisi?” ujarnya dalam kanal YouTube Khilafah News bertajuk Jika Purbaya Ubah Rp100.000 Jadi Rp1000 Dampaknya Ini, Selasa (18/11/2025).

 

“Pertama, redenominasi rupiah adalah penyederhanaan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula dengan penyederhanaan penulisan alat pembayaran atau uang,” ulasnya.

 

Dr. Riyan menyebut bahwa penyederhanaan hanya dilakukan dengan menghilangkan sejumlah angka nol di uang. “Redenominasi tidak mengubah nilai dari uang tersebut. Misalnya uang Rp100.000 akan diganti dengan uang Rp100 dihilangkan nol tiga yang ada di belakang. Namun nilai uang itu setara,” ungkapnya.

 

Kedua, ada perbedaan antara sanering yang dilakukan Indonesia pada tahun 1959 yang dikenal dengan istilah Gunting Safrudin.

 

”Gunting Syafrudin yang merujuk pada Menteri Keuangan saat itu Safrudin Prawiranegara dan dengan redenominasi dilihat dari bentuk perubahan nilai uangnya, kondisi ekonomi yang menjadi dampaknya, serta proses penerapannya,” sebutnya mengutip pendapat Dr. Darmawan, M.A.B.  dalam buku Manajemen Keuangan Internasional.

 

“Ketiga, mengambil pendapat ekonom Universitas Andalas, Safruddin Karimi, dalam cnnindonesia.com, Senin (10/11/2025), mengatakan bahwa redenominasi hanya mengubah angka yang tercetak di uang kertas, label harga, sistem akuntansi, dan papan pajak,” urainya.

 

Ditegaskan lagi, Dr. Riyan menyatakan bahwa redenominasi tidak mengubah daya beli, pendapatan riil, serta tidak menciptakan lapangan kerja dan tidak memperkuat struktur dari industri. “Redenominasi hanya menukar tampilan bukan substansi,” tambahnya.

 

“Bahkan redominasi bisa memicu inflasi akibat penyesuaian nilai uang tidak sejalan dengan harga barang. Sebagai contoh, harga barang awalnya Rp14.400 per buah. Ketika redenominasi berlaku, harganya menjadi Rp1,4 per buah. Namun pedagang malah membulatkan ke atas menjadi Rp1,5 dengan alasan Rp0,4 tidak tersedia,” jelasnya mencontohkan.

 

“Keempat, kalau hanya menukar tampilan tetapi tetap dalam kerangka sistem ekonomi kapitalistik liberal yang melegalisasi bunga, yang menyuburkan korupsi, yang menimbulkan kesenjangan, yang tergantung utang ribawi, yang mengandalkan pajak dan sektor tidak riil seperti pasar saham, sumber daya alam dikuasai ke segelintir oligat swasta, nilai tukar rupiah yang rapuh,” imbuhnya.

 

“Kenapa tidak pakai sistem ekonomi Islam yang berbasiskan syariat kaffah dan teruji secara historis empiris yang dengan tegas melarang ribawi menumbuhkan sektor riil berkelanjutan, tidak bertumbuh kepada pajak, sumber daya alam dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat, dan mata uang dinar emas dan dirham perak yang stabil dan lebih-lebih lagi membawa berkah dunia akhirat. Paham sampai di sini?” pungkasnya.[] Sri Nova Sagita

Opini

×
Berita Terbaru Update