TintaSiyasi.id -- Ketua Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Dr. Riyan, M.Ag. mengungkapkan empat telaah kritis terhadap rencana redenominasi pemerintah yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
“Saat ini rupiah termasuk daftar world
top 10 weakest currency bersama mata uang sejumlah negara di Afrika. Dengan
memangkas beberapa digit nol, nilai rupiah di mata dunia bisa lebih berharga.
Begitu pandangan pemerintah. Apa yang bis akita kritisi?” ujarnya dalam kanal YouTube
Khilafah News bertajuk Jika Purbaya Ubah Rp100.000 Jadi Rp1000 Dampaknya
Ini, Selasa (18/11/2025).
“Pertama, redenominasi rupiah adalah
penyederhanaan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula dengan
penyederhanaan penulisan alat pembayaran atau uang,” ulasnya.
Dr. Riyan menyebut bahwa penyederhanaan
hanya dilakukan dengan menghilangkan sejumlah angka nol di uang. “Redenominasi
tidak mengubah nilai dari uang tersebut. Misalnya uang Rp100.000 akan diganti
dengan uang Rp100 dihilangkan nol tiga yang ada di belakang. Namun nilai uang
itu setara,” ungkapnya.
Kedua, ada
perbedaan antara sanering yang dilakukan Indonesia pada tahun 1959 yang dikenal
dengan istilah Gunting Safrudin.
”Gunting Syafrudin yang merujuk pada
Menteri Keuangan saat itu Safrudin Prawiranegara dan dengan redenominasi
dilihat dari bentuk perubahan nilai uangnya, kondisi ekonomi yang menjadi
dampaknya, serta proses penerapannya,” sebutnya mengutip pendapat Dr. Darmawan,
M.A.B. dalam buku Manajemen Keuangan
Internasional.
“Ketiga, mengambil pendapat ekonom
Universitas Andalas, Safruddin Karimi, dalam cnnindonesia.com, Senin (10/11/2025),
mengatakan bahwa redenominasi hanya mengubah angka yang tercetak di uang
kertas, label harga, sistem akuntansi, dan papan pajak,” urainya.
Ditegaskan lagi, Dr. Riyan menyatakan
bahwa redenominasi tidak mengubah daya beli, pendapatan riil, serta tidak
menciptakan lapangan kerja dan tidak memperkuat struktur dari industri. “Redenominasi
hanya menukar tampilan bukan substansi,” tambahnya.
“Bahkan redominasi bisa memicu
inflasi akibat penyesuaian nilai uang tidak sejalan dengan harga barang.
Sebagai contoh, harga barang awalnya Rp14.400 per buah. Ketika redenominasi
berlaku, harganya menjadi Rp1,4 per buah. Namun pedagang malah membulatkan ke
atas menjadi Rp1,5 dengan alasan Rp0,4 tidak tersedia,” jelasnya mencontohkan.
“Keempat, kalau hanya menukar tampilan
tetapi tetap dalam kerangka sistem ekonomi kapitalistik liberal yang
melegalisasi bunga, yang menyuburkan korupsi, yang menimbulkan kesenjangan,
yang tergantung utang ribawi, yang mengandalkan pajak dan sektor tidak riil
seperti pasar saham, sumber daya alam dikuasai ke segelintir oligat swasta,
nilai tukar rupiah yang rapuh,” imbuhnya.
“Kenapa tidak pakai sistem ekonomi
Islam yang berbasiskan syariat kaffah dan teruji secara historis empiris yang
dengan tegas melarang ribawi menumbuhkan sektor riil berkelanjutan, tidak
bertumbuh kepada pajak, sumber daya alam dikelola negara untuk kesejahteraan
rakyat, dan mata uang dinar emas dan dirham perak yang stabil dan lebih-lebih
lagi membawa berkah dunia akhirat. Paham sampai di sini?” pungkasnya.[] Sri
Nova Sagita
