TintaSiyasi.id -- Setiap 10 November, bangsa ini ramai bicara tentang pahlawan. Tapi mari jujur: siapa yang masih benar-benar mewarisi semangat para pejuang itu? Upacara demi upacara digelar, tapi semangat kepahlawanan justru mati di tangan penguasa sendiri.
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًاۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah engkau mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya, mendapat rezeki.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 169).
Pahlawan sejati memang tak mati. Yang mati justru jiwa bangsa yang para pahlawan itu dulu selamatkan. Mereka hidup di sisi Allah. Tapi negeri yang mereka perjuangkan dan wariskan kini dikuasai oleh tangan-tangan serakah.
Korupsi makin merajalela. Penegak hukum malah jadi pedagang hukum. Rakyat kecil dijerat pasal-pasal karet. Sementara para perampok uang negara bebas melenggang dengan jas dan senyum di televisi. Kekuasaan berubah jadi panggung dagangan. Jabatan dibarter, hukum diperjualbelikan. Rakyat cuma penonton yang dipaksa tepuk tangan.
Semua musibah itu masih ditambah dengan oligarki yang mencengkeram makin kuat. Aset negara dijual ke korporasi asing. Sumber daya alam diserahkan ke segelintir konglomerat. Dari tambang sampai pangan. Dari BBM sampai air. Semuanya dikuasai jaringan bisnis yang berkelindan dengan elite politik. Dulu pahlawan mengusir penjajah. Kini penjajahan baru datang lewat kontrak, utang, dan perundang-undangan.
Kekuasaan dan Politik Dinasti
Musibah bagi rakyat dan negeri ini bagai tak berujung. Bekas presiden Jokowi terus cawe-cawe, tak ingin usai. Seolah kekuasaan ini milik turun-temurun. Penguasa sibuk membangun dinasti untuk melanggengkan kekuasaan politiknya.
Rakyat disuguhi sandiwara politik yang memalukan. Di satu sisi bicara demokrasi. Di sisi lain menekan oposisi, mengkriminalisasi ulama, dan membungkam suara rakyat dengan stigma.
Prabowo yang dulu diharapkan jadi simbol perlawanan, kini lebih dikenal sebagai presiden yang doyan omon-omon.
Janji-janji besar melayang di udara. Tapi rakyat makin sulit hidup. Para menteri dan anggota DPR lebih sibuk memikirkan pemilu dan proyek. Bukan penderitaan rakyat yang antre beras bantuan atau kehilangan pekerjaan.
Lalu, di tengah semua ini, kita bicara tentang “semangat kepahlawanan”?
Lucu. Ironis. Bahkan menyakitkan. Rasulullah SAW pernah bersabda:
"أفضل الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر"
“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Inilah makna sejati kepahlawanan hari ini. Bukan parade, bukan seremoni. Bukan cuma taburan bunga di taman makam pahlawan. Makna kepahlawanan adalah keberanian untuk menegakkan kebenaran di tengah kekuasaan yang menindas.
Yang dibutuhkan bangsa ini bukan lagi pahlawan yang berperang dengan senjata. Kita perlu orang-orang yang berjuang dengan keberanian moral. Yang tak takut dikriminalisasi karena bicara jujur. Yang tetap tegak melawan sistem busuk yang menjadikan rakyat hanya angka statistik.
Bangsa ini sedang kehilangan arah karena kehilangan figur teladan. Kekuasaan kini lebih mirip bisnis keluarga. Negara dijalankan seperti korporasi, bukan amanah. Sementara rakyat dibius dengan pencitraan dan jargon kosong.
Pahlawan dan Tirani
Hari Pahlawan seharusnya jadi momen untuk menggugat: Apakah kita rela membiarkan darah para syuhada jadi sia-sia? Apakah kemerdekaan yang mereka rebut dengan nyawa hanya akan berakhir di tangan elite yang menjual bangsa ini kepada asing dan aseng?
Jika benar kita ingin menghormati pahlawan, maka bangkitlah meneladani semangat mereka. Lawan kebohongan dan kezaliman dengan kebenaran. Tolak sistem rusak yang hanya melahirkan tirani baru. Dan tegakkan kembali cita-cita sejati: keadilan yang berpijak pada nilai-nilai Ilahi.
Karena sesungguhnya, pahlawan sejati tak mati. Yang mati adalah keberanian umat untuk meneladani mereka. Dan selama keberanian itu bisa kita hidupkan lagi, bangsa ini masih punya harapan. []
Jakarta, 10 November 2025
Oleh: Edy Mulyadi
Jurnalis Senior