TintaSiyasi.id -- Tahukah Anda apa yang lebih berat dari kekalahan? Yang lebih berat dari kekalahan adalah penyesalan yang terlambat datang.
Saya ingin bercerita dikit tentang Bani Kindah, suku bangsawan dari Yaman, yang memiliki segalanya : kekuasaan, kecerdasan tokohnya, dan nama besar dalam pergaulan. Mereka adalah Kindah al-Muluk (Kindah Para Raja).
Ketika panggilan kebenaran datang dari Madinah, mereka dihadapkan pada pilihan besar : Menggenggam erat mahkota lama yang fana, atau menukar mahkota itu dengan kemuliaan yang abadi?
Pemimpin seperti Afif bin Qais menolak dakwah Islam. Bukan karena ia bodoh, tapi karena terlalu bangga terhadap kemuliaan. Mereka tidak siap melepaskan status "Raja" untuk menjadi "Pengikut." Ini adalah tragedi ego yang membuat mereka kehilangan keutamaan beriman di awal fase dakwah kenabian.
Mematahkan Pola Lama
Keangkuhan ini mencapai titik nadirnya pada saat wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika Al-Asy’ats bin Qais memimpin pemberontakan melawan Khalifah, seolah mencoba mengklaim kembali kekuasaan lama mereka. Namun mereka jatuh. Mereka hadus mengaku kalah. Dari pengakuan inilah mereka justru mendapatkan keajaiban hidayah.
Bani Kindah menyadari bahwa harga diri sejati bukanlah pada tingginya gelar, melainkan pada totalitas "Nggelemi Kahanan". Penyesalan dan pengakuan yang membakar harga diri itu tidak membuat mereka mundur; ia justru menjadi energi yang tak terkalahkan.
Mereka berhenti berjuang untuk mahkota mereka dan mulai berjuang demi kebenaran dibawah Panji Islam. Di medan pertempuran Qadisiyah dan Yarmuk, Bani Kindah menjadi kekuatan militer yang tidak tertandingi. Bersyukur atas keimanan, dan bersabar atas segala konsekuensinya.
Mereka meninggalkan istana mereka di Yaman untuk menetap di Kufah, menukarkan tanah air lama dengan garis depan medan jihad. Mereka telah memilih kemuliaan menjadi prajurit di atas kesenangan menjadi raja.
Pelajaran untuk Kita Hari Ini
Kisah Kindah adalah cermin bagi jiwa kita. Setiap hari, kita dihadapkan pada pilihan Bani Kindah :
> Apakah Anda akan membiarkan Ego Anda (status, gengsi, kenyamanan) menunda takdir terbaik Anda?
> Atau, apakah Anda akan mengubah penyesalan atas peluang yang terlewat (seperti Afif) menjadi pengorbanan total hari ini?
Jangan biarkan penundaan politik (atau spiritual) masa lalu merampok peluang besar Anda saat ini. Gunakanlah energi penyesalan itu untuk mencapai keutamaan yang tersisa. Wallahu a'lam bishshawab. []
Trisyuono D.
(Aktivis Muslim)