Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Bukan Bencana Alam, tetapi Bencana Tanda Tangan

Minggu, 30 November 2025 | 18:18 WIB Last Updated 2025-11-30T11:18:38Z
TintaSiyasi.id -- Di banyak tempat di Indonesia—termasuk Aceh dan Sumatera—ketika banjir bandang menerjang, longsor menghancurkan desa, dan sungai meluap dengan amarah liar, masyarakat sering menyebutnya bencana alam. Namun sesungguhnya, alam tidak sedang membinasakan manusia—manusia sedang memanen apa yang ia tanam.

Sebab hakikatnya, yang merusak bumi bukanlah hujan, bukan sungai, bukan gunung. Tetapi pena yang menandatangani izin tambang, izin pembabatan hutan, izin eksploitasi lahan konservasi, dan izin perambahan kawasan penyangga kehidupan.
Karena itu, masyarakat mulai menyebutnya dengan tepat:

 Ini bukan bencana alam — ini bencana tanda tangan.
Bencana yang dimulai di atas meja rapat, bukan di gunung.

Ketika Sebuah Tanda Tangan Lebih Tajam dari Gergaji

Satu tanda tangan:

Mengubah hutan menjadi lahan tambang,

Mengubah konservasi menjadi konsesi,

Mengubah pohon menjadi profit,

Mengubah sungai menjadi saluran limbah,

Mengubah ekosistem menjadi neraka bagi rakyat kecil.

Dan ironisnya:
kerusakan itu tidak dimulai dengan suara mesin, tetapi dengan bunyi pena yang lintasannya hanya beberapa sentimeter—namun dampaknya puluhan kilometer.

Inilah tragedi modern: alam yang dulu dilindungi kini dijual melalui meja birokrasi.

Ketika Air Mata Rakyat Mengering, Air Bah Mengalir

Setiap tahun, berita yang sama terulang:

Desa terendam

Rumah hanyut

Ibu kehilangan anak

Petani kehilangan sawah

Nelayan kehilangan sungai

Namun yang bertanggung jawab tidak ikut tenggelam, tidak kehilangan rumah, dan tidak ada yang memanggul jenazah di pundaknya. Karena mereka jauh di kursi empuk, ruang ber-AC—bukan di tanah yang kini penuh lumpur dan kehancuran.

Syariat Islam Bicara Tegas

Allah memperingatkan manusia:

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia."
(QS. Ar-Rum: 41)

Bukan musibah cuaca, tetapi musibah kebijakan.
Bukan takdir, tetapi alih fungsi lahan tanpa amanah.
Bukan ujian alam, tetapi pengkhianatan terhadap amanah khalifah fil ardh.

Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ menegaskan:

 “Pemimpin adalah penanggung jawab dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari-Muslim)

Maka, pemimpin yang menandatangani kehancuran ekologis, secara syar’i bertanggung jawab atas darah, harta, dan masa depan yang hilang.

Hutan: Warisan, Bukan Barang Dagangan

Dalam Islam, alam adalah amanah generasi, bukan objek eksploitasi individu atau kelompok. Ulama besar Imam Al-Ghazali pernah memberi peringatan:

“Siapa yang merusak lingkungan, berarti ia merusak kehidupan manusia.”

Hutan bukan sekadar pohon. Ia adalah:

Penahan bencana

Penyimpan air

Penjaga biodiversitas

Sumber oksigen

Pelindung generasi masa depan

Ketika ia dihancurkan, maka bangsa pun kehilangan bentengnya.

Saatnya Mengubah Narasi

Mulai hari ini kita harus berkata jujur:

 Bukan bencana alam
 Tetapi bencana akibat kebijakan

 Bukan karena hujan
 Tetapi karena hilangnya pepohonan

 Bukan karena sungai meluap
 Tetapi karena gunung yang digunduli

 Bukan karena takdir
 Tetapi karena tamak manusia yang berkuasa

Penutup: Alam Merekam, Allah Menghitung

Alam bukan balas dendam—ia hanya mengembalikan apa yang dirusak. Dan Allah tidak pernah lupa atas setiap tindakan, termasuk tanda tangan yang merusak ummat.

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya.”
(QS. Al-A’raf: 56)

Musibah ini seharusnya melahirkan kesadaran: Bahwa keseimbangan alam bukan urusan aktivis, pemerintah, atau ulama saja—tetapi urusan iman, amanah, dan perjalanan sejarah bangsa.

Karena generasi yang merusak alam mungkin menikmati hasilnya,
tapi generasi setelahnya akan menanggung murkanya.

Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Sekjen Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa)

Opini

×
Berita Terbaru Update