TintaSiyasi.id -- Di banyak tempat di Indonesia—termasuk Aceh dan Sumatera—ketika banjir bandang menerjang, longsor menghancurkan desa, dan sungai meluap dengan amarah liar, masyarakat sering menyebutnya bencana alam. Namun sesungguhnya, alam tidak sedang membinasakan manusia—manusia sedang memanen apa yang ia tanam.
Sebab hakikatnya, yang merusak bumi bukanlah hujan, bukan sungai, bukan gunung. Tetapi pena yang menandatangani izin tambang, izin pembabatan hutan, izin eksploitasi lahan konservasi, dan izin perambahan kawasan penyangga kehidupan.
Karena itu, masyarakat mulai menyebutnya dengan tepat:
Ini bukan bencana alam — ini bencana tanda tangan.
Bencana yang dimulai di atas meja rapat, bukan di gunung.
Ketika Sebuah Tanda Tangan Lebih Tajam dari Gergaji
Satu tanda tangan:
Mengubah hutan menjadi lahan tambang,
Mengubah konservasi menjadi konsesi,
Mengubah pohon menjadi profit,
Mengubah sungai menjadi saluran limbah,
Mengubah ekosistem menjadi neraka bagi rakyat kecil.
Dan ironisnya:
kerusakan itu tidak dimulai dengan suara mesin, tetapi dengan bunyi pena yang lintasannya hanya beberapa sentimeter—namun dampaknya puluhan kilometer.
Inilah tragedi modern: alam yang dulu dilindungi kini dijual melalui meja birokrasi.
Ketika Air Mata Rakyat Mengering, Air Bah Mengalir
Setiap tahun, berita yang sama terulang:
Desa terendam
Rumah hanyut
Ibu kehilangan anak
Petani kehilangan sawah
Nelayan kehilangan sungai
Namun yang bertanggung jawab tidak ikut tenggelam, tidak kehilangan rumah, dan tidak ada yang memanggul jenazah di pundaknya. Karena mereka jauh di kursi empuk, ruang ber-AC—bukan di tanah yang kini penuh lumpur dan kehancuran.
Syariat Islam Bicara Tegas
Allah memperingatkan manusia:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia."
(QS. Ar-Rum: 41)
Bukan musibah cuaca, tetapi musibah kebijakan.
Bukan takdir, tetapi alih fungsi lahan tanpa amanah.
Bukan ujian alam, tetapi pengkhianatan terhadap amanah khalifah fil ardh.
Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ menegaskan:
“Pemimpin adalah penanggung jawab dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari-Muslim)
Maka, pemimpin yang menandatangani kehancuran ekologis, secara syar’i bertanggung jawab atas darah, harta, dan masa depan yang hilang.
Hutan: Warisan, Bukan Barang Dagangan
Dalam Islam, alam adalah amanah generasi, bukan objek eksploitasi individu atau kelompok. Ulama besar Imam Al-Ghazali pernah memberi peringatan:
“Siapa yang merusak lingkungan, berarti ia merusak kehidupan manusia.”
Hutan bukan sekadar pohon. Ia adalah:
Penahan bencana
Penyimpan air
Penjaga biodiversitas
Sumber oksigen
Pelindung generasi masa depan
Ketika ia dihancurkan, maka bangsa pun kehilangan bentengnya.
Saatnya Mengubah Narasi
Mulai hari ini kita harus berkata jujur:
Bukan bencana alam
Tetapi bencana akibat kebijakan
Bukan karena hujan
Tetapi karena hilangnya pepohonan
Bukan karena sungai meluap
Tetapi karena gunung yang digunduli
Bukan karena takdir
Tetapi karena tamak manusia yang berkuasa
Penutup: Alam Merekam, Allah Menghitung
Alam bukan balas dendam—ia hanya mengembalikan apa yang dirusak. Dan Allah tidak pernah lupa atas setiap tindakan, termasuk tanda tangan yang merusak ummat.
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya.”
(QS. Al-A’raf: 56)
Musibah ini seharusnya melahirkan kesadaran: Bahwa keseimbangan alam bukan urusan aktivis, pemerintah, atau ulama saja—tetapi urusan iman, amanah, dan perjalanan sejarah bangsa.
Karena generasi yang merusak alam mungkin menikmati hasilnya,
tapi generasi setelahnya akan menanggung murkanya.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Sekjen Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa)