TintaSiyasi.id -- Per 29 Oktober 2025, berita dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut bahwa proyek kereta cepat Whoosh (jalur Jakarta–Bandung) tengah diselidiki dugaan penggelembungan anggaran, cost-overrun, dan skema pembiayaan utang yang sangat besar.
Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh menelan biaya sekitar US$7,26 miliar atau setara Rp119,79 triliun, termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,21 miliar atau Rp19,96 triliun. Sekitar 75 persen pembiayaan berasal dari pinjaman luar negeri China Development Bank (CDB), sedangkan sisanya berasal dari ekuitas para pemegang saham. (cna.id, 29/10/2025)
Dilansir dari tempo.co (28/10/2025), mantan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD melalui akun X @mohmahfudmd pada 18 Oktober 2025, mengatakan bahwa ia diminta untuk melapor kasus ini ke KPK. Ia mengatakan bahwa masalah rasuah pada kereta cepat itu adalah dugaan adanya mark-up.
Dalam pernyataannya, Mahfud menyebut biaya pembangunan per kilometer kereta cepat di Indonesia mencapai US$52 juta, jauh lebih tinggi dibandingkan di China yang hanya US$17–18 juta per kilometer. Artinya, biaya pembangunan naik tiga kali lipat. Pertanyaannya, siapa yang menaikkan dan uangnya ke mana?
Begitulah saat hawa nafsu sudah mengalahkan logika. Keputusan diambil tanpa mempertimbangkan beban masa depan. Berikut beberapa kritikan yang perlu disampaikan:
Pertama, ambisi “cepat” yang lupa logika. Bayangkan kamu mau ke Bandung dari Jakarta dan cuma butuh 45 menit naik kereta, wow banget kan? Itu janji Whoosh. Tapi di balik kecepatan fisik itu, ada kecepatan utang, kecepatan pembengkakan biaya, dan sayangnya, kecepatan kebingungan pejabat pemerintah menyikapi beban rakyat.
Yang bikin geregetan, ketika ditanya “Untuk rakyat”, pejabat menjawab, “Transportasi massal bukan soal laba, tapi layanan publik.” Iya, bagus. Tapi kalau layanan publiknya bikin APBN gemetaran, rakyat yang kecil justru kena imbasnya.
Kedua, siapa yang “rakyat” sebenarnya? Kalau yang naik tiap hari itu pekerja jarak menengah–pendek di Jabodetabek (Bekasi-Depok-Tangerang–Bogor) yang butuh kereta lokal murah ke ibu kota, maka ini proyek jauh banget dari konteks itu.
Kereta cepat Jakarta–Bandung itu lebih cocok untuk perjalanan gaya “weekend getaway” atau orang kantoran yang bisa bayar tiket ratusan ribu.
Harga tiket mulai dari Rp150 ribu hingga Rp600 ribu sekali jalan. Rakyat kecil? Baru baca angkanya aja langsung mundur teratur dan ternyata, okupansi masih stagnan sekitar 60% atau kurang dari target awal. Artinya, jumlah kendaraan pribadi ke Jakarta dan Bandung tak berkurang signifikan. Maka klaim solusi kemacetan jadi melayang tanpa jangkar.
Ketiga, utang dan beban generasi ke depan.
Setiap rel yang dibentangkan dengan pinjaman luar negeri, setiap stasiun yang dibuka dengan bunga tinggi, adalah jeratan masa depan. Anak-cucu kita belum lihat kereta cepatnya, tapi sudah mendengar cicilan bunga dan subsidi tak kelihatan.
Proyek Whoosh ini disebut sebagai financial time bomb oleh beberapa pengamat, beban bunga tahunan sangat besar, sedangkan pendapatan tiket jauh di bawah harapan. Rakyat pun mulai mencium aroma, “Kenapa untungnya swasta, kerugian kita?” Ketika Menteri Keuangan menyebut “jangan yang rugi dilempar ke negara” itu tamparan keras.
Cara Islam Membangun proyek Infrastruktur
Berikut beberapa jalan ideologis berdasarkan syariat Islam dan prinsip khilafah yang bisa jadi rujukan:
Pertama, prinsip keadilan fiskal dalam sistem Islam.
Dalam sistem Islam, negara mengelola sumber daya alam (SDA) untuk kemaslahatan rakyat bukan utang luar negeri mendominasi. Zakat, baitul mal, kharaj, dan ijarah negara dikelola adil. Bila investasi infrastruktur dilakukan, harus benar-benar melayani umat, seperti pengangkutan harian, menghubungkan kawasa produktif, bukan proyek mercusuar untuk pencitraan.
Kedua, prioritaskan kebutuhan rakyat, bukan ego kekuasaan.
Khilafah menempatkan rakyat sebagai pusat. Proyek infrastruktur harus terbukti manfaatnya untuk mayoritas, misalnya sistem kereta murah jarak pendek, feeder dari pinggir kota ke zona ekonomi, bukan kereta cepat jarak jauh yang elite. Jika targetnya pekerja jarak dekat, maka skema pendanaan pun harus sesuai, swasta berkontribusi, rakyat tak terbebani, utang minimal.
Ketiga, utang hanya sebagai pilihan terakhir dan harus transparan. Dalam sistem Islam, tawakal bukan berarti utang seenaknya. Negara wajib amanah. Jika utang dipakai, pastikan tenor jelas, tanpa bunga (no riba), manfaat jelas untuk umat. Bila utang memunculkan kesengsaraan generasi mendatang itu bukan amal, itu bunuh diri kedaulatan.
Keempat, menegakkan syura partisipasi dan akuntabilitas audit terbuka. Respons masyarakat terhadap Whoosh yang kosong di waktu normal adalah alarm, masyarakat harus dilibatkan. Khilafah menegakkan syura, partisipasi, dan akuntabilitas. Audit terbuka, manfaat jelas, stakeholder rakyat bukan cuma elit. Bila proyek besar hanya buat prestige pemimpin, maka itu sudah menyimpang dari sistem Islam
Kelima, pembangunan bertahap yang realistis. Daripada proyek besar besar-besaran yang menghasilkan utang jumbo, lebih baik pembangunan bertahap yang sesuai dengan kebutuhan. Misalnya jalur kereta cepat jarak menengah, integrasi transportasi lokal murah, prioritas mendorong produktivitas rakyat. Ketika dasar kuat, barulah proyek besar dilakukan bukan sebaliknya.
Proyek Whoosh memang punya label “kemajuan”. Tapi kemajuan yang hanya berdiri di atas pinjaman luar negeri, tanpa fondasi rakyat merasakan langsung, justru jadi kemunduran terselubung.
Ketika kereta itu melesat, kecepatan beban kita pun ikut melambat (melambat napas dan harapan). Kita jangan takut maju. Tapi kita harus maju dengan fondasi kuat yang membuat rakyat bahagia, beban ringan, utang terkontrol, dan sistem adil. Bukan kemajuan memakai utang yang justru membebani generasi. []
Nabila Zidane
Jurnalis