Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tragedi Al-Khoziny: Jangan Berlindung di Balik Kata Takdir atas Sebuah Kelalaian

Senin, 13 Oktober 2025 | 18:53 WIB Last Updated 2025-10-13T11:53:42Z

Tintasiyasi.id.com -- Ada kalimat yang kerap meluncur setiap kali bencana menelan korban, “Ini sudah takdir Allah.” Ucapan yang terdengar menenangkan, tapi bisa menjadi racun jika digunakan untuk menghapus kesalahan dan tanggung jawab manusia. 

Begitu pula pasca ambruknya Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, yang merenggut puluhan nyawa santri penghafal Al-Qur’an. Bangunan yang seharusnya menjadi tempat menumbuhkan iman justru menjadi kuburan bagi para penuntut ilmu.

Dan ketika publik bertanya, siapa yang harus bertanggung jawab, sebagian pengurus hanya menjawab lirih,
“Kita ikhlas, ini kehendak Allah.”

Ya, semua memang atas izin Allah Ta'ala. Tapi takdir tidak pernah membenarkan kelalaian.
Islam tidak mengenal konsep “pasrah membuta” tanpa ikhtiar dan tanpa itqan.

Rasulullah Saw bersabda,

“Sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang di antara kalian melakukan suatu pekerjaan, maka ia melakukannya dengan itqan (profesional dan sungguh-sungguh).”
(HR. al-Baihaqi)

Bangunan pesantren yang roboh bukan ujian murni dari langit, tetapi akibat dari kelalaian manusia di bumi. Kolom yang rapuh, struktur yang tak seimbang, dan izin yang belum tuntas semuanya adalah sebab duniawi yang bisa dicegah.

Allah Swt berfirman,

“Dan janganlah kamu campurkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 42)

Menyebut semua sebagai takdir tanpa introspeksi berarti menyembunyikan kebenaran.
Padahal yang Allah minta bukan sekadar sabar, tapi juga tanggung jawab atas amanah yang diemban.

Antara Musibah dan Kelalaian

Islam sangat jelas membedakan antara musibah dan kelalaian.
Allah berfirman,

“Dan tidak patut bagi seorang mukmin membunuh mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)... dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, hendaklah ia membayar diyat.”
(QS. An-Nisa: 92)

Artinya, meski tanpa niat jahat, tetap ada tanggung jawab atas kelalaian. Apalagi jika yang wafat adalah puluhan santri yang sedang sujud menghadap Rabb-nya.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizhamul ‘Uqubat menegaskan,

“Apabila seseorang menyebabkan kerugian atau kematian akibat kelalaiannya dalam urusan yang seharusnya dapat dicegah, maka ia wajib menanggung akibatnya, baik berupa diyat maupun hukuman ta’zir yang setimpal.”

Jadi, dalam hukum Islam, tidak ada tragedi tanpa pelaku dan tidak ada kelalaian yang bisa dibersihkan hanya dengan ucapan “ikhlas”.

Sistem yang Gagal Menjadi Pelindung

Kalau kita mau jujur, tragedi ini bukan hanya soal pondok. Ini potret gagalnya sistem negara dalam memastikan keamanan bangunan publik.

Bayangkan, bangunan bertingkat bisa beroperasi tanpa audit struktur, tanpa izin layak, bahkan tanpa pengawasan konstruksi yang benar.
Itu bukan sekadar kelalaian personal, tapi itu dosa sistemik.

Rasulullah Saw bersabda,

“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam Islam, pemimpin bukan hanya pembagi bantuan pasca-bencana, tapi penjaga nyawa sebelum bencana.
Negara wajib memastikan keamanan pondok, sekolah, dan rumah ibadah. Jika lalai, dosa itu tidak berhenti di semen dan baja, tapi ia menempel di tangan penguasa.

Takdir dalam Pandangan Islam
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah jilid 1 menulis,

“Takdir bukanlah alasan untuk meninggalkan usaha atau menghindari tanggung jawab. Karena Allah memerintahkan manusia untuk berbuat, berusaha, dan menegakkan hukum atas perbuat
annya.”

Artinya, Allah memang menentukan hasil akhir, tetapi manusia bertanggung jawab atas sebab-sebabnya.
Kalau dinding roboh karena struktur salah, itu bukan takdir yang tak bisa dihindari, tapi itu sebab yang kita ciptakan sendiri.

Rasulullah Saw bahkan menegur sahabat yang berkata “Aku bertawakal kepada Allah” tanpa mengikat untanya,

“Ikatlah terlebih dahulu, baru bertawakal.”
(HR. Tirmidzi)

Tawakal bukan pengganti ikhtiar.
Iman bukan pembenaran bagi keteledoran.

Yang wafat dalam tragedi Al-Khoziny insyaAllah syahid, tapi bagi yang hidup, tanggung jawab belum selesai. Karena ikhlas sejati bukan diam di hadapan dosa, tapi berani menegakkan kebenaran.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Muqaddimah ad-Dustur menulis,

“Negara Islam menjamin keamanan setiap bangunan dan fasilitas umum, sebab keselamatan manusia adalah hak yang wajib dijaga. Barang siapa menelantarkannya, maka ia telah berbuat dosa besar.”

Dalam sistem khilafah, pembangunan tak mungkin lepas dari standar syar’i, audit struktural, dan tanggung jawab sosial. Bukan sekadar proyek, tapi amanah yang akan dimintai hisab oleh Allah.

Sedangkan dalam sistem kapitalis-sekuler, izin bisa dibeli, pengawasan bisa ditunda, dan dosa bisa dilarikan dengan kata “takdir.”

Inilah penyakit yang harus diobati, bukan hanya dengan doa, tapi dengan perubahan sistem dari kapitalis-sekuler menuju sistem Islam kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah. 

Wafatnya para santri Al-Khoziny adalah luka bagi seluruh umat.
Mereka meninggal dalam ibadah, tapi tragedi ini seharusnya membuat kita menunduk dan bertanya,
Apakah kita sudah menjaga amanah Allah sebaik mungkin?

Takdir adalah ketetapan Allah, tapi ikhtiar adalah kewajiban manusia dan ketika manusia lalai, maka menyebut nama Allah untuk menutupi kesalahan bukan tanda iman, tapi tanda ketakutan mengakui dosa.

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan itu) kepada hakim, padahal kamu mengetahui bahwa kamu berbuat dosa.”
(QS. Al-Baqarah: 188). []

Oleh: Nabila Zidane 
(Jurnalis)

Opini

×
Berita Terbaru Update