Tintasiyasi.id.com -- Belakangan dunia maya dihebohkan dengan viralnya “Tepuk Sakinah”, sebuah yel-yel yang digagas dalam program Bimbingan Perkawinan (Bimwin) Kementerian Agama.
Tujuannya baik, yaitu untuk mencairkan suasana, mempermudah calon pengantin mengingat lima pilar keluarga sakinah, serta memberi kesan bahwa pernikahan adalah perjalanan penuh cinta dan kasih.
Namun, di tangan netizen, “Tepuk Sakinah” berubah menjadi hiburan massal. Ada yang menirukan, ada yang membuat parodi, bahkan ada yang meyakini bahwa hafal yel-yel ini bisa menjamin keluarga terhindar dari perceraian.
Padahal, andai hidup semudah tepuk tangan tiga kali, mungkin bumi ini sudah penuh keluarga bahagia seperti di iklan susu.
Niat Baik, Tapi Tak Cukup
Kreativitas tidak salah, niatnya pun tulus. Namun jika tujuannya untuk menekan angka perceraian, maka “Tepuk Sakinah” jelas tidak cukup. Rumah tangga bukan sekadar hafalan lima kata indah, melainkan ladang perjuangan yang diwarnai ujian, tanggung jawab, dan sabar tingkat dewa. Yang dinikahi bukan malaikat, tapi manusia yang berdaging, berdosa, dan berperasaan.
Maka, rumah tangga sakinah tidak lahir dari yel-yel dan tepuk tangan, tapi dari kesadaran ideologis dan sistem hidup yang menumbuhkan ketakwaan.
Sebagian besar perceraian di Indonesia disebabkan oleh tekanan ekonomi, bukan semata karena perbedaan prinsip. Ketika harga kebutuhan melambung, gaji stagnan, dan tanggung jawab nafkah tak seimbang, maka cinta pun seringkali kalah oleh kenyataan.
Ironisnya, negara seakan menutup mata terhadap akar persoalan ini. Yang sibuk malah calon pengantin disuruh hafal “Tepuk Sakinah”. Padahal problem perceraian banyak bersumber dari sistem kapitalis yang menindas rakyat dan menciptakan kesenjangan ekonomi.
Islam memandang bahwa tanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyat bukan semata urusan individu, melainkan tanggung jawab negara.
Rasulullah Saw bersabda,
“Imam (khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, negara wajib memastikan rakyatnya hidup layak, kebutuhan pokok terpenuhi, pekerjaan tersedia, dan harga-harga stabil.
Menekan perceraian berarti juga memperbaiki sistem ekonomi agar keluarga tidak tercekik oleh tekanan hidup.
Cinta Tanpa Iman Mudah Tumbang
Banyak pasangan menikah karena cinta, tapi tidak memahami makna mitsaaqan ghalizha janji berat yang Allah sebut dalam Al-Qur'an surah An-Nisa ayat 21.
Akad nikah bukan perjanjian romantis, melainkan kontrak spiritual di bawah pengawasan Allah Swt.
Rasulullah Saw bersabda,
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.”
(HR. Tirmidzi)
Namun bagaimana bisa “baik” jika standar kebaikan diukur dari perasaan, bukan dari wahyu?
Cinta tanpa iman seperti kapal tanpa arah, mudah karam diterpa badai masalah. Pondasi sakinah bukan pada rasa, tapi pada ketaatan kepada Allah.
Bimbingan yang Ideologis, Bukan Seremonial
Program Bimwin sebenarnya memiliki peran penting. Namun ia akan kehilangan makna jika hanya berhenti pada tips komunikasi dan manajemen konflik.
Yang lebih mendesak adalah menanamkan pandangan hidup Islam kepada calon pengantin bahwa menikah adalah ibadah, sabar adalah jihad, dan ridha Allah adalah tujuan utama.
Tanpa fondasi akidah yang kuat, bimbingan hanya menjadi kursus penghafalan, bukan pembentukan kesadaran. Akibatnya, begitu badai datang, tepukannya hilang, tapi masalah tetap datang bertubi-tubi.
Negara Harus Hadir, Bukan Sekadar Menyuruh Hafalan
Dalam Islam, negara memiliki tanggung jawab besar menjaga keutuhan keluarga.
Negara wajib:
Pertama, menjamin nafkah dan kesejahteraan rakyat melalui penerapan sistem ekonomi Islam,
Kedua, mendidik generasi dengan sistem pendidikan Islam yang berasaskan akidah Islam,
Ketiga, melarang pornografi, zina, dan budaya liberal,
Keempat, menyediakan qadhi hisbah untuk menyelesaikan sengketa rumah tangga secara adil dan cepat.
Negara Islam tidak berhenti pada simbol, tapi membangun struktur kehidupan sakinah. Khilafah di masa lalu membuktikan hal itu, rakyat terjamin, perempuan dimuliakan, dan keluarga hidup dalam ketenangan sosial.
Inilah bukti bahwa sakinah bukan slogan, tapi hasil nyata dari sistem yang berjalan di bawah aturan Allah.
Solusi Sejati: Kembali ke Aturan Allah
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menjelaskan,
“Kehidupan manusia akan rusak ketika aturan Allah dipisahkan dari urusan mereka. Dan tidak akan kembali baik kecuali ketika Islam diterapkan secara menyeluruh.”
(Nizham al-Islam, hal. 10)
Beliau menegaskan bahwa kerusakan dalam keluarga, ekonomi, dan moral semuanya bersumber dari penerapan sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Karena itu, solusi sejati bukan di level individu semata, tapi pada penegakan syariat secara kaffah.
Syaikh Abdul Qadim Zallum juga menambahkan dalam Nizam al-‘Uqubat,
“Masyarakat tidak akan stabil kecuali jika negara menegakkan hukum Allah atas seluruh urusan umat, termasuk dalam rumah tangga dan interaksi sosial.”
Dengan sistem Islam, negara akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi sakinah, bukan sekadar menasehati warganya untuk “tepuk tangan dengan semangat”.
Tepuk Sakinah boleh tetap ada sebagai hiburan, ice breaking, atau media belajar ringan.
Tapi menekan angka perceraian bukan urusan tepuk tangan, melainkan urusan iman dan sistem kehidupan.
Selama kita masih hidup di bawah sistem kapitalis sekuler, keluarga akan terus dihantam badai ekonomi, moral, hingga identitas.
Hanya Islam kaffah yang mampu melindungi dari semua itu. Islam tidak hanya mengatur akad nikah, tapi seluruh aspek kehidupan.
Jika aturan Allah kembali ditegakkan melalui sistem Khilafah Islamiah, maka “sakinah” tidak lagi sekadar nyanyian, tapi kenyataan.
Sakinah bukan sekadar di rumah, tapi di seluruh negeri. Bukan sekadar dalam tepuk tangan, tapi dalam kehidupan nyata yang diatur oleh wahyu.[]
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)