TintaSiyasi.id -- Cendekiawan Muslim, Ustaz Ismail Yusanto (UIY), menyampaikan bahwa pandangan ideologis dan kritik terhadap paradogma sekuler, kebijakam publik seperti program Makanan Bergizi Gratis (MBG) penting disampaikan.
“Pandangan ideologis dan kritik terhadap paradigma sekuler, kebijakan publik seperti MBG (Makanan Bergizi Gratis) penting disampaikan," ujarnya dalam diskusi bertajuk MBG, Sarat Masalah? Di kanal YouTube UIY Official, Ahad (5/10/2025).
UIY mengatakan pentingnya menyampaikan pandangan dan kritik itu, sebab program semacam ini lahir dari paradigma kapitalis yang keliru dalam memandang peran negara.
Ia menjelaskan, dalam pandangan Islam, salah satu tugas paling mendasar dari negara adalah ri’ayah su’unil ummah, yaitu mengatur urusan rakyatnya secara menyeluruh. Prinsip ini mencakup dua aspek besar, yakni kebutuhan personal dan kebutuhan komunal.
“Kebutuhan personal itu mencakup sandang, pangan, papan, yaitu kebutuhan asasi yang sifatnya daruri. Sementara kebutuhan komunal mencakup pendidikan, kesehatan, transportasi, dan infrastruktur,” jelasnya.
Ismail menegaskan, dari ketiga kebutuhan pokok itu, pangan memiliki dampak paling luas karena berpengaruh langsung terhadap kesehatan, kecerdasan, bahkan kualitas generasi penerus bangsa. Ia menyoroti bahwa Indonesia tengah menghadapi persoalan serius terkait gizi anak.
“Stunting di Indonesia ini cukup memprihatinkan, karena berada di urutan 10 di wilayah Asia Tenggara. Padahal generasi Z dan generasi Alfa inilah yang akan menentukan masa depan negara ini. Bayangkan jika sejak kecil mereka sudah menghadapi problem gizi dan kesehatan,” ujarnya.
Namun, menurutnya, problem anak bangsa tidak berhenti pada isu gizi. Ada persoalan yang lebih dalam, yaitu kemiskinan dan ketimpangan akses terhadap layanan dasar.
“Kalau merujuk data Bappenas, ada sekitar 24 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan, dengan pendapatan sekitar Rp20.000 per orang per hari. Tapi jika memakai standar Bank Dunia sebesar Rp35.000 per orang per hari, maka jumlahnya melonjak drastis menjadi lebih dari 170 juta orang,” ungkapnya.
Ismail menilai data tersebut menunjukkan adanya persoalan serius yang saling terkait antara kemiskinan, gizi buruk, dan akses terhadap pendidikan serta kesehatan.
“Kemiskinan membuat rakyat kehilangan kemampuan untuk mendapatkan akses kesehatan dan pendidikan yang layak. Akibatnya muncul persoalan baru, yaitu keterbatasan akses pendidikan dan rendahnya kualitasnya, terutama di daerah 3T (tertinggal, terpencil, dan perbatasan),” jelasnya.
Lebih jauh, ia juga menyoroti dimensi lain dari krisis kesehatan, yakni kesehatan mental yang kini makin banyak dialami anak-anak akibat paparan media sosial dan gadget.
“Paparan media sosial yang luar biasa hari ini memberikan dampak signifikan pada kesehatan mental anak-anak. Ini problem besar yang tak bisa diabaikan,” ujarnya.
Dari keseluruhan persoalan tersebut, Ismail menegaskan bahwa akar masalahnya terletak pada paradigma sekuler kapitalistik yang menempatkan negara hanya sebagai regulator, bukan penanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat.
“Islam memandang negara harus hadir aktif dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Bukan sekadar memberi subsidi atau program karitatif, tetapi menjamin langsung pemenuhan kebutuhan asasi dan komunal umat,” tandasnya.
Karena itu, menurutnya, penyelesaian persoalan gizi, kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan harus dikembalikan kepada sistem yang mampu menjalankan fungsi ri’ayah su’unil ummah secara utuh, yakni sistem Islam.
“Persoalan gizi buruk ini bukan sekadar soal makan. Ini soal paradigma. Jika paradigma yang dipakai adalah kapitalistik, maka hasilnya pasti setengah hati. Tetapi jika kita kembalikan kepada paradigma Islam, maka negara akan sungguh-sungguh menjaga, melindungi, dan memenuhi kebutuhan rakyatnya,” pungkasnya.[] Nabila Zidane