TintaSiyasi.id -- Refleksi atas Nasihat Sayyid Abdul Qadir al-Jailani dalam Fathur Rabbani.
"Jadilah berakal dan berkana‘ahlah dengan dunia yang sedikit, maka Dia akan memberimu akhirat yang banyak."
(Sayyid Abdul Qadir al-Jailani, Fathur Rabbani).
Kebijaksanaan Ruhani dari Sang Wali
Nasihat ini terdengar sederhana, tetapi sesungguhnya mengandung mutiara hikmah yang dalam. Syekh Abdul Qadir al-Jailani, sang pembaharu hati dan pembimbing jiwa tidak sekadar berbicara tentang meninggalkan dunia, tetapi menuntun manusia agar mengatur hubungannya dengan dunia secara cerdas dan proporsional.
“Berakal” dalam pandangan Al-Jailani bukan sekadar memiliki intelektual tinggi, melainkan kemampuan untuk membedakan mana yang fana dan mana yang kekal, mana yang membawa kita kepada Allah dan mana yang menjauhkan. Orang yang berakal bukan yang paling pandai berhitung dunia, tetapi yang paling paham nilai sebuah amal di sisi Allah.
Makna Berakal dalam Cahaya Iman
Akal sejati adalah yang tunduk kepada wahyu.
Ia bukan sekadar alat berpikir, tetapi cermin bagi hati untuk melihat kebenaran. Dalam diri manusia ada dua kekuatan, yaitu nafsu yang menarik ke bawah, dan akal yang mengajak naik menuju cahaya. Maka, ketika seseorang menggunakan akalnya untuk merenungi hakikat hidup, ia akan menyadari bahwa dunia hanyalah jembatan, bukan tujuan.
Al-Jailani mengajarkan agar kita tidak tertipu oleh kilau dunia. Dunia ini sementara, sedangkan akhirat kekal. Orang berakal adalah yang menggunakan waktu, harta, dan kesempatan hidup untuk menanam amal yang akan ia tuai di negeri abadi.
kana‘ah: Kekayaan yang Tidak Pernah Habis
Kana‘ah berarti merasa cukup dengan apa yang Allah karuniakan, tanpa menggerutu, tanpa iri, dan tanpa rakus terhadap dunia. Kana‘ah bukan berarti malas berusaha, tetapi bersyukur dalam keterbatasan dan tenang dalam kekurangan.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Bukanlah kekayaan itu karena banyak harta, tetapi kekayaan yang sejati adalah kaya hati.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Kana‘ah adalah benteng hati. Orang yang berkana‘ah tidak mudah terguncang oleh pasang surut rezeki, tidak cemburu pada kemewahan orang lain, dan tidak terikat pada hal-hal fana. Ia menikmati dunia dengan bijak, tetapi hatinya tetap terpaut pada Allah.
Maka Al-Jailani menegaskan: “Berkana‘ahlah dengan dunia yang sedikit.” Sebab siapa yang mampu merasa cukup, Allah akan memberinya ketenangan yang tidak bisa dibeli dengan kekayaan apa pun.
Dunia yang Sedikit, Akhirat yang Banyak
Ketika hati sudah bersih dari ketamakan dunia, maka Allah bukakan baginya limpahan akhirat yang tak terhingga.
Sebagaimana firman-Nya:
“Barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al-Isra’: 19).
Dunia adalah ladang untuk menanam amal akhirat, tetapi banyak orang salah pandang — mereka menyangka dunia ini tujuan, bukan jalan. Padahal dunia hanyalah tempat singgah, sementara akhirat adalah kampung halaman sejati.
Orang yang berakal dan berkana‘ah tidak akan menolak dunia, tetapi menjadikannya sarana untuk menjemput ridha Allah. Ia bekerja dengan ikhlas, bersedekah tanpa pamrih, dan menggunakan waktu hidupnya untuk kebaikan. Maka Allah jadikan hidupnya penuh keberkahan dan akhiratnya penuh kemuliaan.
Hikmah bagi Jiwa Zaman Kini
Di tengah budaya konsumtif dan pencarian popularitas, nasihat Al-Jailani terasa seperti embun di padang gersang. Banyak manusia hari ini kehilangan ketenangan bukan karena kekurangan, tetapi karena tidak pernah merasa cukup.
Kita mengejar harta, jabatan, dan pujian tanpa jeda, lalu kehilangan makna hidup. Padahal, kana‘ah tidak menjadikan seseorang miskin, justru membuatnya kaya tanpa batas karena kekayaannya berada di dalam hati, bukan di rekening.
Syekh Al-Jailani mengajak kita untuk kembali menata niat: Gunakan akal untuk mengenal Allah dan gunakan dunia secukupnya sebagai bekal perjalanan menuju akhirat.
Penutup: Jalan Ketenangan Para Arif
Berakal tanpa kana‘ah akan membuat seseorang sombong.
Kana‘ah tanpa akal akan membuat seseorang pasif.
Namun, ketika keduanya berpadu, lahirlah insan yang seimbang: Bijak dalam berpikir, sederhana dalam hidup, dan kaya dalam batin.
Mereka inilah yang disebut para arif billah, yaitu orang yang hidupnya ringan karena hatinya terpaut kepada Allah, bukan kepada dunia.
“Jadilah berakal dan berqana‘ahlah dengan dunia yang sedikit, maka Allah akan memberimu akhirat yang banyak.”
(Fathur Rabbani, Sayyid Abdul Qadir al-Jailani).
Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo