Tintasiyasi.id.com -- Sejak 18 September 2025, Gaza kembali diselimuti kegelapan. Listrik, internet, dan telekomunikasi dipadamkan total oleh Israel, membuat lebih dari 800 ribu warga terisolasi tanpa akses informasi, bantuan, maupun koordinasi darurat.
Dalam kondisi itu, ribuan tank Israel dikerahkan mengepung warga sipil, sementara jalur Salah al-Din dibuka untuk mendorong evakuasi massal (Tempo, 19/09/2025).
Pemadaman ini bukan hanya strategi militer, tetapi juga cara untuk menutup mata dunia dari genosida yang sedang berlangsung di Gaza. Ketika komunikasi lumpuh, kejahatan perang mudah disembunyikan, dan penderitaan rakyat Palestina terkubur dalam senyap.
Gaza Dibungkam, Dunia Terbelenggu
Langkah Israel memutus komunikasi jelas merupakan senjata politik untuk melumpuhkan satu bangsa. Tanpa sinyal, tanpa media, dan tanpa suara, dunia hanya melihat kegelapan. Ini adalah upaya sistematis untuk mengosongkan Gaza dari penduduk aslinya, agar proyek “Israel Raya” dapat dilanjutkan tanpa saksi.
Ironisnya, di tengah penderitaan ini, para pemimpin dunia masih sibuk berdebat tentang resolusi, sementara darah anak-anak Palestina terus mengalir tanpa pertanggungjawaban.
Boikot Internasional: Masihkah Berdaya?
Di berbagai negara, gelombang boikot terhadap Israel memang menggema. Namun, meski terlihat masif, realitas di Gaza tetap sama: bom terus dijatuhkan, dan korban terus bertambah. Sebab, di balik layar, Israel memiliki jaminan dukungan dari Amerika Serikat dan sekutunya, para penguasa kapitalis yang menempatkan kepentingan ekonomi di atas nilai kemanusiaan.
Selama dunia dikendalikan oleh sistem kapitalisme global, boikot dan embargo hanyalah simbol moral tanpa kekuatan nyata. Ia bisa mengguncang citra Israel, tetapi tidak pernah menghentikan agresinya.
Zionis dan Agenda Global
Keberanian Israel menantang hukum internasional lahir dari ideologi zionisme yang bercita-cita menguasai tanah Palestina sebagai pusat kekuasaan global. Dukungan finansial, teknologi, dan politik dari Barat menjadi bahan bakar utama bagi proyek penjajahan ini.
Maka, tak heran setiap kali dunia bersuara, resolusi hanya menjadi kertas kosong tanpa sanksi tegas. Selama sistem dunia dikuasai kapitalisme sekuler, kebiadaban Israel akan selalu mendapat perlindungan.
Saatnya Umat Membaca Sejarah
Allah telah memperingatkan: “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” (QS. Al-Maidah: 82).
Sejarah membuktikan, dari masa Rasulullah ﷺ hingga kini, Yahudi selalu berupaya melemahkan umat Islam. Mereka bukan hanya lawan politik, tetapi musuh ideologis yang tak pernah berhenti berbuat makar. Maka solusi untuk menghentikan kezaliman Israel tidak cukup dengan diplomasi, apalagi sekadar boikot.
Tentara Islam, Harapan yang Tertunda
Umat Islam hari ini berjumlah lebih dari 1,8 miliar jiwa, namun Gaza tetap berdarah. Mengapa negeri-negeri muslim tak mengirim pasukan untuk melawan tirani zionis? Karena mereka tercerai-berai oleh batas negara bangsa dan kepemimpinan yang tunduk pada Barat.
Padahal, dahulu umat memiliki perisai: khilafah, sistem kepemimpinan yang mempersatukan kekuatan militer, politik, dan ekonomi Islam. Dengan khilafah, imperium besar pernah ditaklukkan, dan negeri tertindas dibebaskan.
Jalan Keluar: Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwah
Kini sudah saatnya umat berhenti berharap pada boikot, resolusi PBB, atau diplomasi kosong. Fakta membuktikan semua itu tak pernah menyelamatkan Gaza. Jalan keluar sejati adalah kebangkitan kembali kepemimpinan Islam yang kaffah, yang mampu menggerakkan kekuatan umat untuk menegakkan keadilan dan melindungi darah kaum tertindas.
Hanya dengan sistem Islam, umat memiliki arah, kekuatan, dan keberanian untuk benar-benar membebaskan Palestina. Wallahu a'lam bishshowab []
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)