Tintasiyasi.id.com -- Presiden Prabowo baru-baru ini menegaskan bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah menjangkau hampir 30 juta jiwa penerima manfaat hingga September 2025. Dalam pidatonya, ia mengakui adanya kasus keracunan, namun menyebut bahwa penyimpangan atau kesalahan yang terjadi hanyalah 0,00017 persen dari total distribusi (CNBCIndonesia.com, 29/9/2025).
Sekilas, angka itu terlihat sangat kecil. Tetapi di balik klaim statistik yang menenangkan, fakta lapangan berbicara sebaliknya, ribuan orang sudah menjadi korban keracunan MBG. Data resmi dari Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat 6.517 orang keracunan sejak Januari hingga September 2025.
Bahkan, Wakil Kepala BGN sampai meneteskan air mata dalam konferensi pers, mengakui lemahnya pengawasan dan menyebut bahwa sekitar 80 persen pelaksanaan MBG tidak sesuai SOP.
Kita pun menyaksikan rentetan tragedi yang sudah viral dimedia, seperti 20 siswa SD di Jakarta Timur keracunan, puluhan orang di Kalimantan Barat sakit setelah menyantap hiu goreng yang diduga mengandung merkuri, ratusan siswa di Bogor jatuh sakit akibat menu MBG yang terkontaminasi E. coli dan Salmonella.
Laporan demi laporan muncul dari berbagai daerah, menegaskan bahwa ini bukan sekadar “angka kecil”, melainkan nyawa manusia yang terancam dan tidak layak dianggap remeh.
Menurut Ahli Fikih Islam K.H. Muhammad Shiddiq Al-Jawi, Presiden Prabowo keliru karena menerapkan data statistika secara tidak semestinya. Data statistika 0,00017 persen itu mungkin layak diterapkan untuk error yang masih dapat ditoleransi dalam produksi barang, seperti produksi sepatu misalnya.
Tetapi sungguh sangat gila dan tidak manusiawi kalau data statistik 0,00017persen itu digunakan untuk angka toleransi yang terkait dengan keselamatan dan nyawa manusia. Bahkan dalam produksi sepatu saja, ada jenis error yang harus zero tolerance (angkanya harus nol persen), apalagi ini MBG yang menyangkut keselamatan dan nyawa manusia (Tintasiyasi.id, 4/10/2025).
Negara boleh berbangga dengan target besar, tetapi jangan pernah menutupi kenyataan pahit di lapangan. Klaim persentase 0,00017% memang terdengar ilmiah, namun sesungguhnya menutupi esensi utama, yaitu satu saja anak keracunan karena program pemerintah adalah tragedi besar. Apalagi ribuan.
Tidak ada istilah “kesalahan kecil” jika yang dipertaruhkan adalah perut anak bangsa. Tidak ada istilah “persentase aman” jika akibatnya adalah hilangnya nyawa.
Dalam logika kebijakan publik, keselamatan rakyat harus ditempatkan di atas segala statistik. Jika dalam industri saja dikenal prinsip zero defect untuk produk yang bisa membahayakan konsumen, maka apalagi dalam program pangan nasional. Rakyat bukan barang percobaan.
Tambal Sulam Ala Kapitalisme
Di balik semua ini, ada hal yang lebih mendasar. MBG pada hakikatnya adalah kebijakan tambal sulam yang tidak menyentuh akar masalah.
Kenapa? Karena sumber problem gizi dan kemiskinan bukan semata soal kurangnya jatah makanan gratis, melainkan soal ketidakmampuan negara kapitalis dalam menyiapkan lapangan pekerjaan dan menjamin kesejahteraan rakyat.
Coba Bayangkan
Jika setiap bapak punya pekerjaan layak dengan gaji cukup, tanpa disuruh pun mereka akan memberikan makanan terbaik dan bergizi untuk anak-anaknya.
Jika negara serius mengelola kekayaan alam untuk rakyat, masyarakat tidak akan menggantungkan gizi anak pada sekotak nasi subsidi yang kualitasnya bahkan sering diragukan.
Jika sistem distribusi ekonomi adil, rakyat akan memiliki daya beli yang kuat, bukan sekadar menunggu “jatah gratis” dari pemerintah.
Program MBG hanya menambal luka, sementara tubuh bangsa terus digerogoti penyakit yang lebih parah, yakni ekonomi kapitalis yang menyerahkan hajat hidup rakyat pada pasar dan swasta.
Tugas Negara: Menjamin, Bukan Menggadaikan
Dalam Islam, tugas utama negara adalah menjamin keselamatan jiwa rakyatnya. Itu bukan hadiah, melainkan kewajiban.
Negara juga harus menyediakan lapangan pekerjaan yang layak, agar setiap ayah bisa memberi makan bergizi bagi keluarganya dengan martabat.
Namun sayangnya, logika kapitalisme justru menjadikan rakyat tergantung pada program populis. Alih-alih memperbaiki sistem ekonomi agar rakyat mandiri, negara memilih jalan pintas, seperti memberi makan gratis sambil mengabaikan kualitas dan keselamatan.
Dalam jangka panjang, ini berbahaya, rakyat kehilangan daya juang, negara kehilangan kepercayaan, sementara anak-anak menjadi korban nyata dari ketergesa-gesaan kebijakan.
Membedah Akar Masalah
Mari jujur. Kenapa kasus MBG bisa berulang? Jawabannya ada pada sistem,
Pertama, lemahnya regulasi dan pengawasan. Target besar dicapai tanpa kesiapan sistemik. Banyak penyedia makanan tidak memenuhi standar higienis. Bahkan menurut laporan BGN, 80% tidak sesuai SOP.
Kedua, orientasi politik, bukan solusi. Program MBG sering dijadikan “jualan politik” untuk membangun citra. Padahal nyawa rakyat bukan panggung pencitraan.
Ketiga, sistem ekonomi kapitalis yang rapuh. Negara tidak berdiri di atas pondasi kemandirian pangan. Sebagian menu bahkan bergantung pada impor, memperlihatkan betapa rapuhnya sistem pangan nasional.
Keempat, minimnya investasi pada sektor kerja rakyat. Jika sektor riil (pertanian, peternakan, perikanan) diberdayakan, rakyat bisa bekerja, berproduksi, dan memberi makan anak-anak mereka sendiri. Tapi sistem ekonomi kapitalis lebih sibuk menggenjot utang dan investasi asing daripada membangun kemandirian rakyat.
Solusi Islam: Negara Wajib Berpihak pada Rakyat
Kritik tanpa solusi hanya akan menjadi keluhan. Karena itu, mari kita tegaskan, solusi sejati tidak ada dalam kapitalisme.
Negara harus keluar dari jebakan tambal sulam dan mengambil langkah berani sesuai syariat Islam, diantaranya:
Pertama, negara wajib mengelola mandiri segala sumber kekayaan alam untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan rakyat.
Kedua, negara membuka lapangan pekerjaan luas dengan menghidupkan sektor riil, bukan sekadar menunggu investor asing.
Ketiga, negara menjamin ketersediaan pangan bergizi dengan sistem distribusi yang aman, higienis, dan terjangkau.
Keempat, Membangun kesadaran bahwa tugas memberi makan anak bukan sekadar pemerintah, melainkan setiap kepala keluarga yang difasilitasi oleh negara melalui sistem ekonomi yang adil.
Dengan begitu, rakyat tidak sekadar menunggu nasi kotak dari negara, tapi mampu menghadirkan makanan sehat di meja makan mereka setiap hari dengan harga diri, dengan keringat sendiri.
Dalam Islam, nyawa tidak pernah kecil. Biarlah angka 0,00017% menjadi catatan teknis di laporan resmi. Tapi di hati rakyat, angka itu adalah wajah anak-anak yang muntah, pingsan, bahkan kehilangan nyawa karena lalai dalam kebijakan.
Nyawa manusia tidak pernah kecil. Ia tidak bisa diperas menjadi statistik yang aman. Ia adalah amanah yang harus dijaga, tanggung jawab yang tidak bisa ditawar.
Oleh karena itu, jika negara benar-benar berpihak pada rakyat, maka program MBG tidak boleh berhenti di klaim angka, tapi harus bertransformasi menjadi sistem pangan yang aman, adil, dan bermartabat.
Karena sejatinya, tugas negara bukan hanya memberi makan.
Tugas negara dalam Islam adalah menjamin hidup rakyat dengan pekerjaan, dengan martabat, dan dengan keselamatan yang tak ternilai.[]
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)