TintaSiyasi.id -- Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi menyatakan pernyataan Presiden Prabowo soal solusi dua negara terbukti menjadi legitimasi penjajah Yahudi. Menurut Farid, solusi dua negara sama saja dengan mempertahankan eksistensi entitas penjajah Zion*s Yahudi. Sedangkan mempertahankan eksistensi mereka sama artinya dengan mempertahankan penjajahan. Selama entitas Zion*s itu ada, Palestina tidak akan pernah merdeka secara hakiki, dan penderitaan rakyatnya akan terus berlanjut. Padahal, Islam memerintahkan umatnya untuk mengusir penjajah, bukan memihak mereka.
Narasi hidup berdampingan hanyalah ilusi yang memutarbalikkan umat, karena hakikatnya penjajah tidak boleh diberi tempat di tanah yang rampas mereka. Apalagi, demiliterisasi Palestina yang disyaratkan untuk solusi dua negara justru mencakup perjuangan perlawanan terhadap penjajah. Sementara Israel tidak pernah menuntut hal yang sama, bahkan terus dipersenjatai dan diperkuat oleh Amerika Serikat dan Barat.(media-umat.com, 29/9/2025)
Sementara itu, menurut Ulama KH Rokhmat S. Labib, MEI, dalam dialog Maulid Nabi 1447 yang digelar secara online pada Sabtu (27/9/2025) mengatakan bahwa solusi dua negara adalah solusi yang memberikan izin kepada merangkul/penjajah diakui sebagai sebuah negara. Solusi ini disampaikan kepala negeri Muslim, akhirnya umat ini tidak menjadi umat yang mulia. Ketika umat Islam tidak punya Daulah tidak memiliki kemuliaan.
Solusi dua negara adalah bentuk keputusasaan terhadap keteguhan rakyat Gaza dan mujahidin. Mengakui kemerdekaan Palestina dalam bingkai dua negara sama dengan mengakui hak entitas Zion*s atas pencaplokan wilayah Muslim.
Solusi ilusi ini semakin menjauh dari konektivitas penuh Gaza. Solusi syar'i atas genosida Gaza adalah pengerahan kekuatan umat Islam melalui jihad fisabilillah.
Kaum Muslim harus menuntut institusi penjaga Gaza, dan seluruh kaum Muslim di dunia harus tegak di bawah naungan Khilafah Islamiyah.
Fakta Aktual yang Menjadi Latar Belakang
Berikut beberapa fakta yang harus dijadikan pijakan dalam analisis.
Pertama, kondisi Gaza semakin memburuk. Zion*s terus meningkatkan serangan untuk mengisolasi wilayah Gaza, mengusir penduduknya, dan melanjutkan perlawanan yang tersisa.
Kedua, tidak ada satu pun negara yang secara konsisten berdiri di sisi Gaza. Banyak negara Muslim dan non-Muslim mengambil posisi aman atau kompromi, bahkan menyuarakan dua negara sebagai “Solusi moderat.”
Ketiga, 158 perusahaan terlibat pemukiman ilegal Israel. Menurut PBB, 158 perusahaan, termasuk 68 perusahaan baru, beroperasi di wilayah pemukiman ilegal Israel (termasuk di Tepi Barat).
Banyak pemimpin Muslim mendukung solusi dua negara, dan internal negara-negara Muslim semakin terbelah atas taktik dan strategi Palestina.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa bukan hanya konflik militer yang dihadapi Gaza, tetapi juga legitimasi politik yang diperebutkan melalui diplomasi, pengakuan negara, dan peta batas wilayah. Inilah medan pertempuran ideologi dan politik yang disuguhkan sebagai “Solusi.”
Analisis atas Solusi Dua Negara
Pertama, solusi dua negara sama dengan keputusasaan atas keteguhan Gaza.
Mengusulkan dua negara setelah puluhan tahun menderita artinya mengakui bahwa rakyat Gaza sendiri tidak mampu memerdekakan tanahnya. Padahal, sejarah menunjukkan betapa besarnya perlawanan rakyat Palestina melalui intifada, perlawanan bersenjata, dan berbagai upaya diplomasi yang tidak diunggulkan.
Keteguhan ini tentu saja dengan risiko nyawa dan penderitaan dan itu adalah bentuk jihad politik dan militer. Jika akhirnya dukungan internasional menawarkan “Dua negara” sebagai kompromi, maka keteguhan itu dianggap “Gagal” atau “Tak realistis,” padahal yang gagal bukan rakyat Gaza, melainkan sistem kekuatan dunia yang menolak syariat Allah dalam penyelesaian konflik.
Kedua, mengakui Palestina dalam dua negara sama dengan mengakui penjajahan.
Jika kita mengakui negara Palestina dengan batas wilayah yang terbatas dalam solusi dua negara, kita juga menerima bahwa entitas Zion*s telah mencaplok 70–80% wilayah Muslim Palestina huruf kecil dari “Status quo” pendudukan.
Dengan menerima dua negara, kita mengakui bahwa Israel punya “Hak” untuk eksis dalam bentuk negara dengan wilayah yang diperoleh melalui pemaksaan dan pembersihan etnis.
Padahal syariat Islam tidak melegitimasi pencaplokan tanah kaum muslim. Jika pihak Zion*s datang dan mengambil wilayah umat Islam, maka syariat memerintahkan pengampunan bukan pengakuan terhadap status pencaplokan itu.
Menerima dua negara sebagai “Jalan Tengah” sama saja memberi ruang legitimasi kepada penjajah.
Ketiga, solusi dua negara sama dengan ilusi kemerdekaan.
Solusi dua negara, yang terlalu sering dikemukakan, telah menjadi ilusi diplomatis yang jauh dari kenyataan di Gaza. Ia menggambarkan kompromi atas penderitaan, bukan pengampunan.
Banyak pemimpin dunia dan kaum Muslim yang menyuarakannya, termasuk Indonesia. Padahal, suara semacam itu tanpa kekuatan nyata hanyalah suara kosong yang hanya menghasilkan api perlawanan rakyat Palestina, karena menjadikan kompromi sebagai titik akhir aspirasi.
Dengan kata lain, solusi dua negara justru meredam semangat penyediaan sejati dan mengalihkan fokus rakyat Palestina dari jihad fisik ke negosiasi tanpa kekuatan.
Oleh karena itu, Palestina membutuhkan jihad fisabilillah sebagai solusi utama. Syariat jelas memerintahkan jihad ketika kaum Muslim ditindas, tanah mereka dijajah, dan kaum Mukminin dilecehkan.
Rasulullah Saw pernah bersabda bahwa jihad adalah kewajiban bagi setiap Muslim ketika musuh menyerang wilayah Islam.
Gaza tidak membutuhkan solusi diplomatik semata, tapi membutuhkan kekuatan nyata. Ketika kaum Muslim bersatu, memobilisasi kekuatan fisik untuk memerdekakan Gaza, maka penyediaan itu bisa terjadi bahkan secara cepat jika Allah menghendaki. Dalam kondisi izzah (kehormatan) umat dan keimanan tegak, satu serangan bersama bisa mengejutkan penjajah.
Maka tegaknya Khilafah Islamiyah adalah kebutuhan yang mendesak. Karena Gaza tak bisa berdiri sendiri dalam pengorbanan. Umat Islam di seluruh dunia harus bersatu dalam naungan Khilafah Islamiyah. Dengan khilafah yang tegak, seluruh wilayah umat Islam mulai dari Andalusia hingga ujung Nusantara terikat dalam satu sistem. Dukungan ke Gaza bukan sebatas diplomasi, tapi komitmen kolektif, termasuk pengiriman pasukan, dana, logistik, dan persenjataan.
Khilafah mampu menyatukan kekuatan umat Islam, mengoptimalkan sumber daya, dan memperkuat solidaritas antar umat Islam di beragam negeri. Ia menjadi institusi global yang menjaga wilayah Islam dari penjajahan, termasuk Gaza.[]
Nabila Zidane (Jurnalis)