Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Senja di Jantung Jakarta: Renungan Sejarah dan Spiritualitas Kota Perjuangan

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 12:06 WIB Last Updated 2025-10-18T20:47:43Z


TintaSiyasi.id -- Ketika mentari mulai merunduk di ufuk barat, langit Jakarta bertransformasi menjadi kanvas jingga keemasan. Di sela-sela gedung pencakar langit, senja seolah menumpahkan kenangan dan doa, mengingatkan kita bahwa di balik hiruk-pikuk kota metropolitan ini tersimpan napas panjang perjuangan, doa, dan darah para pejuang yang mengorbankan segalanya demi tanah air tercinta.

Jakarta bukan sekadar ibu kota Indonesia. Ia adalah saksi sejarah, tempat lahirnya tekad dan semangat kebangsaan, serta ruang spiritualitas kebangsaan yang mengajarkan bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan amanah yang harus dijaga dengan iman, moral, dan kerja keras.

Fatahillah dan Cahaya Pembebasan

Beberapa abad silam, kota ini dikenal dengan nama Sunda Kelapa. Di sinilah, pada tahun 1527, seorang pejuang bernama Fatahillah datang membawa semangat Islam dan kemerdekaan. Dengan keberanian yang berpadu dengan keteguhan iman, ia menaklukkan kekuatan Portugis dan menamai kota ini Jayakarta, yang berarti Kemenangan yang Sempurna.

Nama itu bukan sekadar simbol kemenangan militer, tetapi juga kemenangan spiritual. Jayakarta lahir dari jiwa yang yakin bahwa Allah adalah penolong orang-orang yang berjuang di jalan kebenaran. Sejak saat itu, Jakarta menjadi saksi bahwa iman dan perjuangan tak dapat dipisahkan. Sebuah kota yang dibangun di atas nilai jihad — bukan hanya perang fisik, tetapi juga perjuangan menegakkan keadilan dan kemanusiaan.

Denyut Modernitas dan Lupa Akar Sejarah

Kini, Jakarta telah menjelma menjadi kota megapolitan. Gedung-gedung menjulang tinggi menandakan kemajuan, jalanan dipenuhi lampu-lampu kota yang tak pernah padam, dan teknologi hadir di setiap sudut kehidupan. Namun, di balik modernitas itu, seringkali kita lupa akan akar sejarah dan nilai spiritual yang dulu menjadi pondasi kota ini.

Jakarta adalah simbol perjuangan, tapi juga pengingat bahwa kemajuan tanpa keadaban adalah kekosongan. Bahwa pembangunan yang hanya berorientasi pada materi akan kehilangan makna jika tidak diiringi oleh nilai iman, kejujuran, dan tanggung jawab moral.

Setiap langkah kaki di jalan Thamrin, setiap tatapan di bawah monumen Monas, seharusnya mengingatkan kita bahwa di bawah tanah ini terkubur doa-doa para syuhada dan ulama yang berjuang dengan cinta kepada Allah dan tanah air.

Spiritualitas di Tengah Hiruk Pikuk

Spiritualitas Jakarta tidak hanya hidup di masjid-masjid megah seperti Istiqlal, Sunda Kelapa, atau Al-Azhar. Ia juga berdenyut di dada para pedagang kecil yang jujur mencari nafkah, di hati para guru yang mendidik dengan keikhlasan, dan di tangan para pekerja yang berkeringat demi keluarga.

Dalam setiap azan magrib yang menggema di antara deru mesin dan bising kendaraan, ada pesan lembut dari langit: "Kembalilah kepada Allah, wahai manusia yang letih dengan urusan dunia."
Jakarta bukan hanya kota perjuangan fisik, tetapi juga arena perjuangan batin — tempat manusia diuji antara kesetiaan pada nilai-nilai Ilahi dan godaan materialisme yang kian menggila.

Jakarta, Kota yang Harus Didoakan

Jakarta harus kita doakan, bukan hanya dikritik. Sebab kota ini adalah cermin bangsa, di mana segala kebaikan dan keburukan negeri ini tampak begitu nyata. Jika Jakarta damai dan beradab, insya Allah Indonesia pun akan kokoh dan mulia.
Maka setiap kali senja menutup hari di jantung kota ini, marilah kita sejenak berhenti, menatap langit yang mulai temaram, dan berdoa dalam hati:

“Ya Allah, berkahilah kota ini sebagaimana Engkau memberkahi tanah-tanah para nabi. Jadikanlah ia tempat tumbuhnya kebaikan, kejujuran, dan kasih sayang. Bangunkan kembali semangat Fatahillah dalam diri kami — semangat berjuang dengan iman, beramal dengan ikhlas, dan membangun dengan cinta.”

Penutup: Merenungi Jayakarta dalam Diri

Ketika malam turun perlahan dan lampu-lampu kota mulai menyala, marilah kita bertanya pada diri sendiri: Apakah Jayakarta masih hidup dalam jiwa kita? Apakah kita masih memelihara semangat kemenangan yang lahir dari iman dan perjuangan itu?

Senja di Jakarta bukan sekadar waktu peralihan siang ke malam. Ia adalah cermin batin bangsa — mengingatkan kita bahwa setiap cahaya yang padam harus diganti dengan nyala keyakinan baru.
Selama masih ada orang-orang yang berdoa, berjuang, dan berbuat baik di kota ini, maka Jayakarta — Kemenangan yang Sempurna — takkan pernah benar-benar hilang.

Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo. Jakarta 16 Oktober 2025, Arya Duta Hotel Menteng Jakarta Pusat)

Opini

×
Berita Terbaru Update