Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Salah Kelola Tambang, Negara Rugi 300 T, Kok Bisa?

Rabu, 22 Oktober 2025 | 04:21 WIB Last Updated 2025-10-21T21:21:16Z

TintaSiyasi.id -- Pernyataan Presiden Prabowo Subianto saat menyerahkan aset Barang Rampasan Negara (BRN) dari enam smelter ilegal kepada PT Timah Tbk pada awal Oktober 2025 benar-benar membuka mata publik. Ia mengungkapkan bahwa kerugian negara akibat tambang ilegal tersebut mencapai Rp 300 triliun.

Menurut Tempo.co (8 Oktober 2025), angka fantastis itu berasal dari kasus tambang ilegal di Bangka Belitung yang melibatkan enam perusahaan besar, dan kini asetnya diserahkan ke negara melalui PT Timah Tbk sebagai bentuk pemulihan. Angka tersebut bukan sekadar statistik, tetapi cermin kegagalan tata kelola sumber daya alam yang telah berlangsung bertahun-tahun.

Tambang Ilegal dan Kebijakan Baru Pemerintah

Fakta menunjukkan bahwa tambang bermasalah atau ilegal di Indonesia jumlahnya mencapai ribuan. Pemerintah sendiri mengakui masih banyak kegiatan tambang tanpa izin resmi. Menteri ESDM, dalam keterangannya di laman resmi esdm.go.id (4 Oktober 2025), menyebut bahwa Presiden telah memerintahkan penertiban total kegiatan pertambangan ilegal.

Namun di sisi lain, pemerintah juga mengesahkan kebijakan baru: pengelolaan 45 ribu sumur minyak akan diserahkan kepada koperasi dan UMKM.
Kebijakan ini tampak populis, bahkan seolah menjadi solusi alternatif dari monopoli korporasi besar. Namun, benarkah koperasi dan UMKM memiliki kapasitas teknis, finansial, dan tanggung jawab ekologis untuk mengelola sumber daya alam sekompleks minyak dan mineral?

Akar Masalah: Pembiaran dan Kapitalisasi SDA

Sebenarnya, kerugian negara hingga ratusan triliun itu bukan sekadar karena praktik tambang ilegal, tetapi akibat dari sistem yang membiarkan kekayaan alam dikuasai segelintir pihak terutama perusahaan swasta. Tambang ilegal, izin palsu, kolusi pejabat dan pengusaha, hingga lemahnya pengawasan adalah rantai panjang dari sistem kapitalisme yang menempatkan sumber daya alam sebagai komoditas ekonomi, bukan amanah publik.

Ketika tambang dikelola dengan logika kapital, maka yang menjadi ukuran adalah profit, bukan keberlanjutan. Akibatnya, kerusakan lingkungan diabaikan, eksploitasi tenaga kerja dibiarkan, dan daerah penghasil justru tetap miskin. Hal yang ironis, mengingat tambang seharusnya menjadi jalan menuju kemakmuran bersama.

Koperasi dan UMKM di Tengah Kompleksitas Tambang

Secara konsep, koperasi dan UMKM adalah instrumen ekonomi rakyat. Tapi dalam konteks pertambangan, keduanya menghadapi tantangan besar. Tambang bukan sekadar menggali tanah dan menjual hasilnya; ia memerlukan investasi miliaran rupiah, teknologi canggih, analisis dampak lingkungan, serta sistem keselamatan yang ketat. Belum lagi terkait pemanfaatan hasil tambang dan distribusi hasil kepada seluruh rakyat.

Maka ketika koperasi atau UMKM diberi mandat mengelola tambang, risiko paling besar adalah mereka akan menggandeng pihak ketiga—biasanya investor atau perusahaan swasta besar—yang pada akhirnya mengambil alih kendali. Maka, koperasi hanya menjadi “tameng administratif”, sementara praktik eksploitatif tetap berlangsung seperti sebelumnya. Selain itu, kekurangan kemampuan teknis bisa menyebabkan pengabaian terhadap kelayakan dasar lingkungan.

Pandangan Islam: Tambang adalah Kepemilikan Umum

Dalam pandangan Islam, tambang dan sumber daya alam yang jumlahnya besar termasuk dalam kategori milkiyyah ‘ammah — kepemilikan umum. Rasulullah SAW bersabda:

 “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Hadis ini menegaskan bahwa segala sumber daya vital yang menjadi kebutuhan banyak orang tidak boleh dikuasai oleh individu atau kelompok tertentu untuk keuntungan pribadi. Maka, ketika pengelolaan tambang diserahkan kepada swasta atau bahkan koperasi tanpa pengawasan langsung negara, sejatinya negara telah melepaskan tanggung jawab pengurusan hajat hidup rakyat.

Islam menempatkan negara sebagai pengurus (ra‘in) yang bertanggung jawab penuh atas pemanfaatan dan distribusi kekayaan alam. Negara bukan hanya “pengatur izin,” melainkan pelaksana utama dalam mengelola tambang besar.

Sistem Islam dan Jaminan Keadilan SDA

Sistem politik dan ekonomi Islam memiliki prinsip bahwa pengelolaan sumber daya alam harus berpijak pada kemaslahatan umat. Keuntungan dari tambang dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan publik — pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan kesejahteraan sosial — bukan mengalir ke segelintir elit.

Negara dalam sistem ini tidak boleh sekadar menjadi regulator. Ia wajib hadir secara aktif sebagai pelindung hak rakyat dan pengelola amanah Allah atas bumi.

Penutup: Ganti Sistem, Bukan Tambal Sulam Regulasi

Kebijakan yang disebut “untuk rakyat” akan kehilangan makna bila negara terus melepas tanggung jawabnya. Islam menawarkan konsep pengelolaan yang jelas: tambang adalah amanah publik, dikelola negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat, dengan berlandaskan prinsip syariat Islam yang mampu menjamin keadilan, transparansi, dan tanggung jawab lingkungan.

Kerugian besar bukan semata akibat salah urus tambang, melainkan akibat sistem yang salah urus. Maka, yang harus diperbaiki bukan sekadar kebijakan, tapi paradigma pengelolaan itu sendiri — agar kekayaan bumi Indonesia kembali menjadi berkah, bukan sumber petaka. []


Oleh: Prayudisti SP
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update