TintaSiyasi.id -- Pendahuluan
Perkembangan sains dan teknologi merupakan tanda kemajuan peradaban manusia. Dengan ilmu pengetahuan, manusia mampu menaklukkan jarak, memahami alam, dan menciptakan alat yang memudahkan kehidupan. Namun, di balik kemajuan itu muncul pertanyaan mendasar: ke arah mana sains dan teknologi membawa manusia? Apakah menuju kebahagiaan atau justru kehancuran moral dan spiritual?
Islam, sebagai agama yang sempurna (dīn kāmil wa syāmil), memandang sains dan teknologi bukan sekadar hasil rasionalitas manusia, tetapi juga bagian dari manifestasi kebesaran dan sunnatullah Allah SWT di alam semesta.
Oleh karena itu, Islam tidak pernah memusuhi ilmu pengetahuan — justru mendorong umatnya untuk berpikir, meneliti, dan menggali rahasia ciptaan Tuhan. Namun, Islam juga memberikan rambu-rambu agar sains dan teknologi tidak terlepas dari nilai-nilai tauhid.
1. Hakikat Sains dan Teknologi dalam Perspektif Islam
Secara umum, sains (ilmu) dalam pandangan Islam adalah hasil dari usaha akal manusia untuk memahami ciptaan Allah berdasarkan metode yang benar, dengan tujuan mendekatkan diri kepada-Nya.
Sementara teknologi merupakan penerapan sains untuk kemaslahatan hidup manusia.
Dengan demikian, Islam memandang bahwa ilmu dan teknologi adalah bagian dari ibadah dan amanah, bukan sekadar alat kekuasaan atau komersialisme.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 31)
Ayat ini menjadi dasar teologis bahwa pengetahuan adalah anugerah ilahi yang menjadikan manusia makhluk berilmu dan berperan sebagai khalifah di bumi.
Sains dan teknologi dalam Islam harus berfungsi untuk menyingkap tanda-tanda kebesaran Allah (āyātullāh), bukan untuk menyaingi kekuasaan-Nya.
Maka, setiap penemuan sains dan inovasi teknologi sejatinya merupakan jalan menuju pengenalan terhadap Sang Pencipta.
2. Islam: Agama yang Mengagungkan Ilmu
Tidak ada agama yang memberikan penghargaan setinggi Islam terhadap ilmu. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah membaca dan belajar:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan...”
(QS. Al-‘Alaq [96]: 1)
Perintah “Iqra’” menjadi simbol revolusi spiritual dan intelektual umat manusia. Islam datang bukan untuk membungkam akal, melainkan membangkitkan kesadaran ilmiah yang berlandaskan tauhid.
Banyak ayat Al-Qur’an yang mendorong umat Islam untuk meneliti dan berpikir, seperti:
“Katakanlah: Berjalanlah di muka bumi, lalu perhatikan bagaimana Allah memulai penciptaan...”
(QS. Al-‘Ankabūt [29]: 20)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”
(QS. Āli ‘Imrān [3]: 190)
Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa aktivitas ilmiah merupakan bentuk tafakkur dan tadabbur terhadap ayat-ayat kauniyah (alam semesta).
Seorang ilmuwan sejati dalam pandangan Islam adalah ‘ālim rabbānī — orang yang menjadikan pengetahuannya sebagai jalan menuju ketundukan kepada Allah SWT.
3. Integrasi Ilmu, Iman, dan Akhlak
Islam menolak dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia. Dalam pandangan tauhid, semua ilmu bersumber dari Allah, dan semua pengetahuan seharusnya mengantarkan manusia kepada kebenaran Ilahi.
Sayangnya, modernitas Barat telah menciptakan jurang antara ilmu dan iman. Sains dijadikan otonom tanpa nilai moral, sehingga melahirkan kemajuan material tetapi kekosongan spiritual.
Dari sinilah muncul krisis peradaban: ilmu tanpa akhlak, teknologi tanpa tanggung jawab, dan kemajuan tanpa arah.
Islam menawarkan jalan tengah yang indah: integrasi antara zikir dan pikir, akal dan wahyu, ilmu dan iman.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Tidak ada iri hati kecuali pada dua hal: seseorang yang diberi Allah ilmu, lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.”
(HR. Bukhari)
Artinya, ilmu harus diamalkan dan diarahkan untuk kemaslahatan, bukan kesombongan.
4. Sejarah Keemasan Sains dalam Peradaban Islam
Sejarah membuktikan bahwa ketika umat Islam memadukan iman dan ilmu, maka lahirlah peradaban yang gemilang.
Pada masa Daulah Abbasiyah, terutama di era Baitul Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad, muncul para ilmuwan besar seperti:
Al-Khawarizmi – Bapak aljabar dan sistem angka desimal.
Ibnu Sina (Avicenna) – Pelopor kedokteran modern.
Al-Biruni – Ahli astronomi dan geografi.
Jabir Ibn Hayyan – Bapak kimia eksperimental.
Ibnu al-Haytsam (Alhazen) – Perintis ilmu optik modern.
Al-Farabi dan Ibnu Rushd – Filsuf yang menghubungkan logika dan wahyu.
Mereka bukan hanya ilmuwan rasional, tetapi juga ahli ibadah. Mereka meneliti bukan untuk prestise, melainkan untuk menyingkap rahasia ciptaan Allah.
Sains dalam Islam tidak pernah bebas nilai; setiap eksperimen adalah langkah spiritual — ibadah ‘aqliyyah (ibadah melalui akal).
Mereka melihat laboratorium bukan sekadar ruang penelitian, tetapi mihrab ilmu tempat mereka berdzikir melalui eksperimen dan penemuan.
5. Etika Pengembangan Sains dan Teknologi
Islam tidak menolak modernitas, tetapi memberikan rambu-rambu moral agar sains dan teknologi tidak keluar dari jalan kebenaran.
Prinsip etika pengembangan ilmu dalam Islam meliputi:
1. Tauhid (Keimanan kepada Allah) – Menyadari bahwa ilmu hanyalah amanah dari Allah.
2. Amanah dan Tanggung Jawab – Penelitian harus dilakukan untuk kemaslahatan, bukan kerusakan.
3. Keadilan dan Kemaslahatan – Teknologi harus membawa manfaat bagi umat, bukan menindas yang lemah.
4. Menjaga Lingkungan – Islam melarang penggunaan teknologi yang merusak bumi.
5. Kemanusiaan dan Akhlak – Inovasi tidak boleh mengorbankan nilai moral, seperti dalam rekayasa genetika atau senjata pemusnah massal.
Dengan demikian, kemajuan sains dan teknologi dalam Islam adalah kemajuan yang beradab, bermoral, dan berorientasi akhirat.
6. Tantangan Umat Islam di Era Modern
Kini umat Islam menghadapi tantangan besar: keterbelakangan ilmu dan ketergantungan teknologi. Banyak negara Islam masih menjadi konsumen, bukan produsen ilmu pengetahuan.
Padahal, potensi besar telah diwariskan oleh para ilmuwan Muslim klasik. Tantangan kita bukan kekurangan sumber daya, tetapi kehilangan ruh keilmuan yang berbasis tauhid.
Kita memerlukan revolusi intelektual — membangkitkan semangat iqra’ dalam arti luas: membaca kitab Allah dan kitab alam sekaligus.
Pesantren, madrasah, dan universitas Islam harus berperan sebagai pusat integrasi antara sains modern dan nilai spiritual.
Ilmu pengetahuan modern harus dijiwai dengan etika Qur’ani agar lahir ilmuwan Muslim yang bukan hanya ahli di laboratorium, tetapi juga tunduk di hadapan Tuhannya.
7. Refleksi: Ilmu sebagai Jalan Menuju Ma’rifatullah
Bagi seorang Muslim, belajar sains bukan sekadar mengejar kemajuan dunia, tetapi jalan menuju ma’rifatullah — pengenalan terhadap kebesaran Allah.
Setiap hukum fisika, setiap struktur kimia, setiap keindahan langit dan bumi, semuanya adalah “ayat-ayat Allah” yang menunggu untuk dibaca.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar.”
(QS. Fushshilat [41]: 53)
Sains dan teknologi sejatinya adalah cermin dari keagungan Sang Pencipta. Semakin dalam manusia menggali ilmu, semakin ia menyadari keterbatasannya dan tunduk kepada Allah SWT.
Penutup: Membangun Peradaban Ilmiah yang Spiritual
Islam memandang sains dan teknologi sebagai amanah besar untuk membangun kehidupan yang seimbang antara dunia dan akhirat.
Ilmu harus membawa manfaat, teknologi harus memuliakan manusia, dan keduanya harus berpijak pada nilai tauhid.
Ketika iman dan ilmu bersatu, lahirlah peradaban yang tercerahkan — peradaban yang menebar rahmat, bukan kerusakan; membangun, bukan menghancurkan.
Peradaban seperti inilah yang pernah berjaya di bawah panji Islam, dan insya Allah akan bangkit kembali ketika generasi Muslim memandang laboratorium dan masjid sebagai dua sisi dari satu tujuan: mencari ridha Allah SWT.
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”
(HR. Muslim)
Kesimpulan Reflektif
Sains dan teknologi dalam pandangan Islam bukan sekadar alat, melainkan ibadah dan amanah.
Kita membutuhkan ilmuwan yang bertakwa dan teknolog yang berakhlak, agar kemajuan tidak menjadi petaka, tetapi menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah.
Ketika sains tunduk kepada iman, dan teknologi berpihak pada kemanusiaan, maka di situlah lahir peradaban yang tercerahkan — peradaban ilmu dan iman.
Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
(Penulis Buku dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)