TintaSiyasi.id -- Pendahuluan
Pendidikan adalah fondasi peradaban. Ia bukan sekadar proses mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga sarana membentuk karakter, moral, dan arah kehidupan umat manusia. Dalam pandangan Islam, pendidikan tidak dapat dipisahkan dari politik, sebab politik adalah seni mengatur kehidupan manusia agar berjalan sesuai nilai-nilai ilahiah.
Maka, politik pendidikan Islam bukanlah sekadar wacana birokratis, melainkan strategi peradaban: bagaimana Islam mengatur sistem pendidikan agar melahirkan generasi yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.
Sayangnya, dalam dunia modern, pendidikan sering kali terlepas dari ruh keislaman. Ia menjadi alat industri dan pasar kerja, bukan lagi sarana penyucian jiwa dan pembangunan moral bangsa. Di sinilah pentingnya membangun kembali paradigma politik pendidikan Islam — agar ilmu tidak kehilangan arah, dan manusia tidak kehilangan makna.
1. Hakikat Politik Pendidikan Islam
Secara konseptual, politik pendidikan Islam berarti pengaturan dan pengelolaan pendidikan berdasarkan nilai-nilai Islam untuk mencapai tujuan kemaslahatan umat. Kata siyāsah dalam bahasa Arab berarti mengatur dengan kebijaksanaan. Dalam konteks ini, pendidikan bukan sekadar urusan kelas dan kurikulum, tetapi bagian dari kebijakan besar membentuk manusia paripurna (insān kāmil).
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...”
(QS. At-Tahrim [66]: 6)
Ayat ini menegaskan bahwa tanggung jawab mendidik bukan hanya urusan keluarga, tetapi juga urusan sosial dan politik. Sebab tanpa sistem yang adil, pendidikan tidak akan tumbuh dalam suasana yang kondusif.
Politik pendidikan Islam, karenanya, adalah politik yang memihak pada kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan umat. Ia bukan perebutan kekuasaan, melainkan perjuangan menegakkan nilai-nilai Ilahi dalam kebijakan pendidikan.
2. Landasan Filosofis: Tauhid sebagai Poros Pendidikan
Inti dari politik pendidikan Islam adalah tauhid — pengakuan bahwa Allah adalah sumber segala ilmu dan tujuan segala amal. Setiap kebijakan pendidikan harus berpijak pada pandangan hidup tauhidi, yaitu menyatukan antara iman dan ilmu, antara dunia dan akhirat.
Filsafat pendidikan sekuler memisahkan ilmu dari moral; hasilnya adalah kemajuan teknologi tanpa arah spiritual. Sebaliknya, politik pendidikan Islam mengajarkan bahwa ilmu tanpa iman hanyalah kesombongan, dan iman tanpa ilmu adalah kelemahan.
Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Ghazali:
“Ilmu yang tidak mendekatkan seseorang kepada Allah adalah ilmu yang tidak bermanfaat.”
Maka, setiap kebijakan pendidikan Islam harus mengarah pada pembentukan manusia yang mengenal Tuhannya, menghargai sesamanya, dan menjaga amanah bumi.
3. Tujuan Politik Pendidikan Islam
Tujuan utama politik pendidikan Islam adalah mewujudkan masyarakat berperadaban (ummah madaniyyah) yang berpijak pada ilmu, iman, dan amal saleh. Secara rinci, politik pendidikan Islam bertujuan untuk:
1. Menegakkan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan dalam sistem pendidikan.
2. Membentuk karakter bangsa yang beriman, cerdas, dan berakhlak mulia.
3. Membangun integrasi ilmu dan agama, agar tidak terjadi dikotomi antara “ilmu umum” dan “ilmu agama.”
4. Mewujudkan kemandirian umat, agar tidak tergantung pada sistem pendidikan Barat yang materialistik.
5. Menyiapkan generasi pemimpin berilmu dan beradab, bukan hanya pandai secara teknis tetapi juga berjiwa amanah.
4. Ruang Lingkup Politik Pendidikan Islam
Ruang lingkup politik pendidikan Islam mencakup semua dimensi yang berkaitan dengan perencanaan, kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan. Di antaranya:
a. Kebijakan Pemerintah
Negara memiliki peran strategis dalam menentukan arah pendidikan nasional. Dalam politik pendidikan Islam, negara wajib menjamin bahwa kurikulum, pendanaan, dan kebijakan pendidikan berlandaskan nilai moral, spiritual, dan keadilan sosial.
b. Lembaga Pendidikan
Pesantren, madrasah, dan sekolah Islam menjadi laboratorium nilai, tempat pembentukan akhlak dan kecerdasan. Namun, lembaga-lembaga ini harus dikelola dengan profesional, transparan, dan berorientasi pada kualitas.
c. Guru dan Dosen
Pendidik bukan sekadar pengajar, tetapi murabbi — pembimbing ruhani dan akhlak. Dalam pandangan Islam, guru adalah pewaris para nabi. Maka, kebijakan negara harus memuliakan profesi guru dengan penghargaan dan kesejahteraan yang layak.
d. Peserta Didik dan Masyarakat
Masyarakat berperan besar dalam menghidupkan budaya pendidikan. Dalam politik pendidikan Islam, setiap individu memiliki tanggung jawab sosial untuk menuntut dan menegakkan ilmu.
5. Prinsip-Prinsip Politik Pendidikan Islam
Politik pendidikan Islam berpijak pada sejumlah prinsip universal, yaitu:
1. Tauhid – Semua kebijakan diarahkan untuk mengokohkan iman kepada Allah.
2. Keadilan (‘Adālah) – Setiap warga memiliki hak yang sama atas pendidikan berkualitas.
3. Maslahah – Semua kebijakan pendidikan harus membawa manfaat bagi umat.
4. Akhlaqiyyah – Ilmu tidak boleh dipisahkan dari moralitas.
5. Rahmatan lil ‘Ālamīn – Pendidikan Islam harus membawa rahmat, bukan kekerasan atau eksklusivisme.
6. Politik Pendidikan Islam di Era Modern
Tantangan besar politik pendidikan Islam hari ini adalah sekularisasi, globalisasi, dan komersialisasi pendidikan.
Sekularisasi membuat pendidikan kehilangan nilai-nilai ketuhanan; globalisasi menjadikan budaya luar mengikis identitas bangsa; dan komersialisasi menjadikan pendidikan barang dagangan.
Maka, langkah strategis yang harus dilakukan antara lain:
Merevitalisasi kurikulum Islam agar selaras dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan ruh tauhid.
Memperkuat peran pesantren dan lembaga Islam sebagai pusat ilmu dan moralitas.
Mengintegrasikan ilmu pengetahuan modern dengan nilai-nilai Qur’ani.
Mendorong pemerintah dan masyarakat untuk menjadikan pendidikan sebagai investasi moral, bukan sekadar ekonomi.
7. Refleksi Spiritualitas: Ilmu sebagai Cahaya Peradaban
Islam menempatkan ilmu dalam posisi sangat tinggi. Wahyu pertama yang turun adalah “Iqra’!” — bacalah.
Ini menunjukkan bahwa politik pendidikan Islam bukanlah alat kekuasaan, melainkan cahaya bagi kemanusiaan.
Ketika ilmu diatur oleh politik yang berlandaskan iman, maka lahirlah generasi seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Kindi, dan Al-Khawarizmi — ulama dan ilmuwan yang menyeimbangkan zikir dan pikir, logika dan etika, dunia dan akhirat.
Namun, ketika ilmu kehilangan arah politik yang benar, maka pendidikan menjadi industri, guru menjadi buruh, dan murid menjadi angka statistik.
Karena itu, politik pendidikan Islam adalah panggilan untuk mengembalikan kesakralan ilmu dan kemuliaan guru.
Penutup: Menuju Peradaban Ilmu dan Iman
Politik pendidikan Islam adalah panggilan peradaban. Ia bukan milik partai atau ideologi, tetapi milik seluruh umat manusia yang mendambakan keadilan dan cahaya.
Melalui pendidikan yang berlandaskan tauhid, manusia akan menemukan makna sejati hidup: menjadi khalifah Allah di muka bumi dengan ilmu dan akhlak.
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujādilah [58]: 11)
Maka, membangun politik pendidikan Islam berarti menyatukan kembali ilmu dengan iman, akal dengan nurani, dunia dengan akhirat.
Di situlah lahir manusia unggul — bukan hanya cerdas pikirannya, tetapi juga jernih hatinya.
Dan dari merekalah akan tumbuh peradaban yang bercahaya, peradaban ilmu dan iman.
Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis buku-buku best Motivation dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo