Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Perlindungan Perempuan, Cahaya Palsu di Lorong Kapitalisme

Minggu, 05 Oktober 2025 | 07:55 WIB Last Updated 2025-10-05T00:56:01Z

TintaSiyasi.id -- Kasus kekerasan terhadap perempuan di Kalimantan Selatan terus meningkat dari tahun ke tahun. Data DPPPAKB Kalsel mencatat hingga 10 April 2025 sudah ada 204 korban kekerasan perempuan dan anak, dengan rincian kekerasan psikis (85 korban), seksual (63 korban), dan fisik (48 korban) (Antara Kalsel, 10/04/2025). Ombudsman bahkan menegaskan, dalam tiga tahun terakhir sudah lebih dari 300 kasus kekerasan seksual tercatat di sistem Simfoni PPA (Ombudsman, 12/06/2024).

Di level kota, Banjarmasin menempati posisi tertinggi, ada 330 kasus kekerasan perempuan dan anak di Kalsel, dengan Banjarmasin menyumbang 89 kasus — mayoritas berupa kekerasan psikis dan seksual (suaraindonesia.com, 1/08/2025).

Upaya yang Masih Semu

Pemerintah berusaha mencari jalan keluar, namun langkah yang ditempuh cenderung teknis, reaktif, dan berorientasi angka. Berbagai kampanye publik, seminar, lomba, hingga gerakan “stop kekerasan” digulirkan. Polwan Polresta Banjarmasin bahkan menjuarai kampanye anti-kekerasan pada September 2025 (Antara Kalsel, 26/09/2025). Ironisnya, semua ini hanya menyentuh permukaan. Paradigma kebebasan dalam kapitalisme tetap membuka ruang terjadinya kekerasan.

Regulasi sekuler dijadikan andalan, tetapi hukum kapitalisme kerap lemah, berbelit birokrasi, bahkan memojokkan korban. Banyak kasus berakhir mediasi tanpa efek jera. Perlindungan perempuan pun diarahkan pada target global seperti SDGs dan CEDAW, tetapi laporan indah itu tak sesuai dengan realitas di masyarakat.

Pemberdayaan ekonomi pun sering dijadikan solusi. Perempuan didorong mandiri finansial agar bisa melindungi diri, padahal banyak justru terjerat eksploitasi di sektor upah rendah. Mereka tidak semakin aman, justru semakin rentan. Hasilnya, kekerasan tidak mereda, karena akar masalahnya tidak disentuh.

Sistem kapitalisme dengan paradigma kebebasannya justru memproduksi dan mengabadikan kekerasan. Selama fondasi ini dibiarkan, segala program hanya akan menghasilkan angka-angka di atas kertas, bukan perlindungan nyata.

Paradigma Islam

Islam datang dengan pendekatan berbeda. Perempuan dimuliakan sebagai makhluk ciptaan Allah yang kehormatannya wajib dijaga. Al-Qur’an menegaskan:
"Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik..." (TQS. An-Nahl: 97).

Dalam Islam, negara hadir sebagai pelindung sejati. Masyarakat dididik menghormati perempuan, sementara keluarga diposisikan sebagai benteng utama. Sejarah mencatat, ketika seorang perempuan Ammuriyah dilecehkan, Khalifah al-Mu‘taṣim mengerahkan puluhan ribu pasukan untuk membebaskannya. Kehormatan satu perempuan saja cukup untuk menggerakkan seluruh kekuatan negara.

Solusi Islam

Khilafah menjadikan perlindungan perempuan sebagai kewajiban negara, bukan program sementara. Syariat menutup peluang kekerasan dengan sanksi tegas yang memberi efek jera. Zina, pelecehan, pemerkosaan, dan kekerasan fisik dipandang sebagai pelanggaran serius, bukan urusan privat yang bisa “dimediasi”.

Dalam bidang sosial, masyarakat dididik dengan akhlak Islam. Anak laki-laki ditanamkan bahwa perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga, bukan objek eksploitasi. Anak perempuan pun tumbuh dengan kesadaran kemuliaan dirinya.
Dalam bidang ekonomi, nafkah perempuan dijamin oleh ayah, suami, atau wali. Negara juga memastikan jaminan kebutuhan dasar, sehingga perempuan tidak terpaksa bekerja di sektor eksploitatif. Jika memilih bekerja, itu hak mereka, bukan beban.
Dalam bidang politik, perempuan diberi ruang sesuai syariat: terlibat dalam amar makruf nahi mungkar, memberi nasihat kepada penguasa, dan berperan dalam dunia ilmu dan pendidikan. Sejarah membuktikan, banyak ulama perempuan menjadi guru bagi ulama besar laki-laki.

Maka, solusi hakiki bagi persoalan kekerasan terhadap perempuan bukanlah kampanye sesaat, regulasi tambal sulam, atau indikator global yang semu. Solusi hakiki adalah kembali kepada Islam secara kaffah dalam naungan khilafah. Hanya dengan syariat yang diterapkan menyeluruh, perempuan benar-benar akan merasakan perlindungan, kemuliaan, dan kesejahteraan yang dijanjikan oleh Allah SWT.

Wallahu a‘lam. []


Oleh: Tuty Prihartini, S.Hut.
Aktivis Muslimah Banua

Opini

×
Berita Terbaru Update