Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Doa, Tindakan, dan Solusi: Menanggapi Intersep Flotila untuk Gaza

Minggu, 05 Oktober 2025 | 08:01 WIB Last Updated 2025-10-05T01:01:55Z

TintaSiyasi.id -- Rombongan kapal bantuan kemanusiaan untuk Jalur Gaza, Global Sumud Flotilla (GSF), nyaris seluruhnya dicegat oleh Israel. Sekitar 40–44 kapal dengan lebih dari 450–500 aktivis didetensi dan dialihkan ke pelabuhan Ashdod, hanya satu kapal yang sempat dilaporkan masih bergerak lebih lama. Intersepsi ini terjadi puluhan mil dari garis pantai Gaza (sekitar 70–75 mil laut menurut laporan). Tinggal satu kapal GSF yang terlacak masih berlayar menuju wilayah kantong tersebut.(cnnindonesia.com, 3/10/2025)

Kejadian ini bukan hanya insiden maritime biasa. Ini adalah cermin bahwa ketika kekuatan berorientasi kepentingan punya senjata, retorika hukum internasional mudah diabaikan.

Hukum yang seharusnya melindungi akses bantuan bagi rakyat yang kelaparan berubah menjadi sekadar alat legitimasi bagi yang berkuasa. Amnesty, media internasional, dan organisasi kemanusiaan menyuarakan kegeraman bahwa rute-rute kemanusiaan harus dilindungi, bukan dijadikan sasaran. 

Tapi selain kemarahan dan dukungan doa, kita perlu jawaban konkret karena kesedihan tanpa strategi hanya berhenti di ranah emosi. Setiap kali kita menyaksikan kebiadaban Isra3l laknatullah terhadap rakyat Gaza, hati kita bergetar. Armada kemanusiaan dicegat di perairan internasional, bantuan diperlakukan seolah ancaman, dan hukum internasional dilucuti maknanya. Dunia bungkam, sementara umat berteriak dengan doa dan solidaritas. Namun, di balik rasa perih ini, muncul pertanyaan mendasar, apa solusi hakiki agar tragedi semacam ini tidak terulang lagi?

Islam tidak pernah membiarkan umatnya terkatung-katung. Allah Swt berfirman, “Dan mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang semuanya berdoa, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya.’” (TQS. An-Nisa: 75).

Ayat ini jelas, perjuangan membela kaum tertindas adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Jihad dalam arti luas adalah seluruh daya upaya untuk menegakkan kebenaran dan membebaskan manusia dari kezaliman. Ia mencakup perjuangan dengan lisan (dakwah), pena (intelektual), harta (ekonomi), hingga kekuatan (politik dan militer) dengan syarat berada di bawah otoritas yang sah, bukan gerakan liar tanpa legitimasi.

Rasulullah Saw menegaskan, “Imam adalah perisai, di belakangnya kaum Muslimin berperang dan dengannya mereka berlindung” (HR. Bukhari dan Muslim).

Di sinilah relevansi konsep khilafah. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa akar kelemahan umat hari ini bukan semata karena ketiadaan semangat, melainkan karena hilangnya institusi politik yang menyatukan kekuatan umat.

Dalam kitab Nizham al-Islam, beliau menulis bahwa tanpa khilafah, umat tercerai-berai, tak punya perisai untuk melawan musuh, dan mudah dipermainkan kepentingan asing. Maka jihad dalam arti militer sekalipun tidak boleh dilakukan oleh individu atau kelompok, melainkan kewajiban negara, yaitu Khilafah Islamiah yang memiliki legitimasi syar’i, perangkat hukum, dan strategi jelas.

Apa yang terjadi hari ini menunjukkan kebobrokan sistem internasional. Lihatlah, lebih dari 40 kapal flotila dari Indonesia, Malaysia, dan berbagai negara dicegat oleh Israel di perairan internasional, padahal mereka membawa bantuan kemanusiaan untuk rakyat yang kelaparan. Apakah ada sanksi tegas dari PBB?

Apakah ada tindakan nyata dari negara-negara besar? Tidak. Karena hukum internasional hanyalah alat bagi negara kuat, bukan pelindung bagi yang tertindas. 

Sejarah membuktikan, hanya khilafah yang mampu menembus kepungan ini dengan wibawa politik dan kekuatan militer yang ditakuti lawan. Kita bisa berkaca pada peradaban Islam dahulu. Saat kaum Muslimin memiliki khilafah, tidak ada satu pun bangsa yang berani melecehkan kapal bantuan umat.

Khalifah Harun ar-Rasyid misalnya, dikenal sebagai penguasa yang ditakuti kaisar Romawi. Bahkan, di masa itu zakat sulit disalurkan karena umat makmur. Kontras dengan kondisi hari ini, di mana bantuan sekadar menuju Gaza pun dihalangi, dan negara-negara Muslim hanya bisa mengirim protes diplomatik tanpa gigi.

Maka jelaslah, solusi hakiki bukan sekadar diplomasi tanpa daya, bukan sekadar boikot simbolik, apalagi hanya berharap pada belas kasihan negara adidaya. Solusi hakiki adalah jihad yang diatur oleh institusi khilafah. 

Jihad ini bukan sekadar pertempuran fisik, melainkan strategi menyeluruh demi membebaskan umat dari dominasi ekonomi asing, memulihkan kemandirian pangan dan energi, membangun kekuatan militer yang profesional, sekaligus memimpin narasi dunia bahwa umat Islam menolak penindasan dalam bentuk apa pun.

Khilafah bukanlah mimpi utopis. Ia adalah sistem nyata yang pernah berdiri lebih dari 13 abad, melindungi Muslim dan non-Muslim, menjaga keamanan laut, dan menjamin distribusi kekayaan yang adil. 

Syekh Abu Rustah menekankan bahwa khilafah bukan sekadar simbol persatuan, melainkan institusi riil yang mampu mengeksekusi jihad secara terarah, melindungi yang tertindas, membebaskan tanah yang diduduki, dan menegakkan hukum Allah di muka bumi.

Sebagian orang mungkin bertanya, apakah khilafah akan otomatis menyelesaikan semua masalah? 

Jawabannya, khilafah adalah syarat niscaya, bukan jaminan instan. Tanpa institusi yang sah, umat akan terus berada dalam lingkaran kelemahan, seperti kapal flotila akan terus dihalangi, rakyat Gaza akan terus dikepung, dan air mata kita akan terus mengalir tanpa daya. Tetapi dengan khilafah, jihad menjadi agenda resmi negara, bukan gerakan sporadis. 

Dengan khilafah, dunia internasional akan berhadapan dengan otoritas politik yang jelas, bukan sekadar ormas atau LSM. Dengan khilafah, umat memiliki perisai yang melindungi, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.

Hari ini, kita berdoa untuk para aktivis flotila, kita dukung dengan doa dan dana. Tetapi esok, kita harus bergerak lebih jauh, yaitu mendidik umat tentang Islam kaffah, membangun kesadaran politik, dan menyiapkan generasi yang siap memikul amanah.

Jihad yang terarah dan khilafah yang kokoh adalah jalan panjang, tetapi inilah satu-satunya jalan keluar yang Allah ridai. Tanpa keduanya, umat Islam hanya akan terus menjadi sasaran kebiadaban global.

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” (TQS. An-Nisa: 141).

Maka tugas kita jelas, yaitu melanjutkan perjuangan intelektual, dakwah, dan aksi nyata, agar khilafah segera tegak dan jihad kembali menjadi agenda resmi umat, bukan sekadar pekikan tanpa kekuatan.

Allahumma a’izzal Islam wal muslimin, wa aqim lana khilafatan rashidatan ‘ala minhajin nubuwwah, tu’izz biha awliyaa’aka wa tuzhillu biha a’daaka. []


Nabila Zidane
Jurnalis

Opini

×
Berita Terbaru Update