"Pentingnya pendidikan anak berbasis takwa dan
cinta agar generasi muda tumbuh kuat secara akidah, bukan menjadi remaja yang
kehilangan arah dan krisis jati diri," ujarnya dalam kajian YouTube
Ngaji Shubuh bertema Agar Remaja Tak Krisis Identitas yang digelar
Ahad (5/10/2025).
Menurut Dini, generasi yang lemah muncul karena orang
tua tidak mendidik anak dengan kesadaran bahwa tugas tersebut adalah amanah
besar dari Allah. Ia menukil firman Allah dalam Al-Qur'an surah An-Nisa ayat 9:
Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
“Artinya, dalam mendidik anak harus hadir rasa takut
meninggalkan generasi yang lemah. Takut bukan karena dunia, tetapi takut karena
tidak bisa mempertanggungjawabkan amanah ini di hadapan Allah," tegasnya
Dini menjelaskan, solusi utama agar anak tumbuh kuat
dan tidak krisis identitas adalah bertakwa kepada Allah dan berkata benar,
sebagaimana sambungan ayat tersebut. “Dua hal tersebutlah yang menjadi kunci
pendampingan anak agar tumbuh menjadi generasi tangguh, berprinsip, dan
beridentitas Islam,” lugasnya.
“Bertakwa itu gabungan antara cinta dan takut kepada
Allah. Jadi ketika orang tua berbuat termasuk dalam mendidik anak harus karena
Allah, bukan karena gengsi, bukan karena ingin terlihat hebat di mata orang
lain," pesannya
Ia mengingatkan, amal tanpa niat karena Allah hanya
menghasilkan kelelahan, bukan pahala. “Hadis tentang tiga golongan pertama yang
dihisab, yaitu orang yang berjihad, menuntut ilmu, dan bersedekah tetapi
niatnya bukan karena Allah, sehingga justru dilemparkan ke neraka,” sebutnya.
“Ini pengingat besar buat kita, kalau mendidik anak
tidak karena Allah, bisa jadi semua lelah itu bukan pahala, tetapi justru jadi
dosa," tekannya.
Tahapan Mendidik Anak Sesuai Tuntunan
Islam
Dalam kesempatan tersebut, Dini menegaskan bahwa
pendidikan anak tidak bisa diseragamkan, melainkan harus disesuaikan dengan
tahapan perkembangan, sebagaimana diwariskan oleh Imam Ali bin Abi Thalib ra.
Ia menyitat hadis, “Didiklah anakmu tujuh tahun
pertama sebagai raja, tujuh tahun kedua sebagai tawanan, dan tujuh tahun ketiga
sebagai sahabat.”
Penjelasan tersebut, menurut Dini, menggambarkan
betapa pentingnya memahami psikologi dan kebutuhan anak di tiap fase hidupnya.
"Usia 0–7 tahun jadikan raja. Tahapan ini adalah
masa anak belajar dari kasih sayang. Orang tua wajib menanamkan akidah, rasa
aman, dan cinta kepada Allah melalui contoh dan tutur kata penuh syukur,"
paparnya.
“Ketika ibu menyusui sambil berkata, ‘Alhamdulillah
Allah kasih rezeki, atau Masyaallah bajunya bagus ya, Allah yang beri.’ Anak
sedang disirami akidah,” lanjut Dini.
Pada fase tersebut, Dini menyebut bahwa anak harus
merasa dicintai bukan hanya oleh orang tua, tetapi juga oleh Rabbnya. “Dengan
begitu, kelak ketika dia besar, ia akan melihat aturan Allah sebagai wujud
cinta, bukan larangan,” tuturnya.
"Usia 7–14 tahun, jadikan tawanan (beri aturan).
Di masa ini, aturan mulai dikenalkan. Namun, karena anak sudah paham makna
cinta, ia akan melihat aturan bukan sebagai beban, melainkan bentuk perhatian.
Sayangnya, banyak orang tua melewati masa 0–7 tahun tanpa membangun komunikasi
cinta. Akibatnya, ketika masa aturan tiba, anak justru merasa dikekang,"
sesalnya.
Ia mencontohkan, ada orang tua yang memaksa anak puasa
di usia 4 tahun tanpa fondasi cinta yang cukup. “Akibatnya, syariat terasa
berat, bukan indah,” ulasnya.
"Usia 14 tahun ke atas jadikan sahabat. Di usia
ini, anak sudah bisa diajak berpikir dan berdialog. Orang tua bukan lagi
penguasa, tetapi teman berbagi dan tempat curhat. Kalau dua tahapan sebelumnya
gagal. Biasanya di fase ini anak mulai memberontak. Bukan karena mereka jahat, tetapi
karena komunikasi cinta dulu tidak sempat tumbuh," jelasnya
Dini juga mengingatkan agar orang tua tidak mudah
melabeli anak remaja sebagai generasi rusak, rebahan, atau santuy. “Persepsi
negatif akan membentuk realitas negatif pula, sebagaimana hadis qudsi, ‘Aku
sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku.’,” nukilnya.
“Maka, kalau kita berprasangka bahwa remaja itu pasti
pembangkang, tukang onar, maka itu yang Allah berikan. Tetapi kalau kita yakin
mereka mudah menerima kebenaran dan punya potensi hebat, Allah akan bantu
mewujudkannya," yakinnya.
Dini menegaskan bahwa mendidik anak tidak cukup dengan
aturan, tetapi juga harus dibingkai dengan takwa, cinta, dan komunikasi lembut.
“Anak yang sejak kecil merasakan cinta dari orang
tuanya akan mudah mencintai Allah. Tetapi kalau sejak kecil yang dirasakan
hanya teriakan dan ancaman, maka ia akan tumbuh dengan persepsi bahwa syariat
itu menakutkan,” pungkasnya.[] Nabila Zidane