Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pentingnya Pendidikan Anak Berbasis Takwa dan Cinta

Jumat, 17 Oktober 2025 | 03:18 WIB Last Updated 2025-10-16T20:18:37Z

TintaSiyasi.id -- Founder Komunitas Ibu Hebat Ir. Dini Sumaryanti menyoroti pentingnya pendidikan anak berbasis takwa dan cinta agar generasi muda tumbuh kuat secara akidah.

 

"Pentingnya pendidikan anak berbasis takwa dan cinta agar generasi muda tumbuh kuat secara akidah, bukan menjadi remaja yang kehilangan arah dan krisis jati diri," ujarnya dalam kajian YouTube Ngaji Shubuh bertema Agar Remaja Tak Krisis Identitas yang digelar Ahad (5/10/2025).

 

Menurut Dini, generasi yang lemah muncul karena orang tua tidak mendidik anak dengan kesadaran bahwa tugas tersebut adalah amanah besar dari Allah. Ia menukil firman Allah dalam Al-Qur'an surah An-Nisa ayat 9:

 

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.

 

“Artinya, dalam mendidik anak harus hadir rasa takut meninggalkan generasi yang lemah. Takut bukan karena dunia, tetapi takut karena tidak bisa mempertanggungjawabkan amanah ini di hadapan Allah," tegasnya

 

Dini menjelaskan, solusi utama agar anak tumbuh kuat dan tidak krisis identitas adalah bertakwa kepada Allah dan berkata benar, sebagaimana sambungan ayat tersebut. “Dua hal tersebutlah yang menjadi kunci pendampingan anak agar tumbuh menjadi generasi tangguh, berprinsip, dan beridentitas Islam,” lugasnya.

 

“Bertakwa itu gabungan antara cinta dan takut kepada Allah. Jadi ketika orang tua berbuat termasuk dalam mendidik anak harus karena Allah, bukan karena gengsi, bukan karena ingin terlihat hebat di mata orang lain," pesannya

 

Ia mengingatkan, amal tanpa niat karena Allah hanya menghasilkan kelelahan, bukan pahala. “Hadis tentang tiga golongan pertama yang dihisab, yaitu orang yang berjihad, menuntut ilmu, dan bersedekah tetapi niatnya bukan karena Allah, sehingga justru dilemparkan ke neraka,” sebutnya.

 

“Ini pengingat besar buat kita, kalau mendidik anak tidak karena Allah, bisa jadi semua lelah itu bukan pahala, tetapi justru jadi dosa," tekannya.

 

Tahapan Mendidik Anak Sesuai Tuntunan Islam

 

Dalam kesempatan tersebut, Dini menegaskan bahwa pendidikan anak tidak bisa diseragamkan, melainkan harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan, sebagaimana diwariskan oleh Imam Ali bin Abi Thalib ra.

 

Ia menyitat hadis, “Didiklah anakmu tujuh tahun pertama sebagai raja, tujuh tahun kedua sebagai tawanan, dan tujuh tahun ketiga sebagai sahabat.”

 

Penjelasan tersebut, menurut Dini, menggambarkan betapa pentingnya memahami psikologi dan kebutuhan anak di tiap fase hidupnya.

 

"Usia 0–7 tahun jadikan raja. Tahapan ini adalah masa anak belajar dari kasih sayang. Orang tua wajib menanamkan akidah, rasa aman, dan cinta kepada Allah melalui contoh dan tutur kata penuh syukur," paparnya.

 

“Ketika ibu menyusui sambil berkata, ‘Alhamdulillah Allah kasih rezeki, atau Masyaallah bajunya bagus ya, Allah yang beri.’ Anak sedang disirami akidah,” lanjut Dini.

 

Pada fase tersebut, Dini menyebut bahwa anak harus merasa dicintai bukan hanya oleh orang tua, tetapi juga oleh Rabbnya. “Dengan begitu, kelak ketika dia besar, ia akan melihat aturan Allah sebagai wujud cinta, bukan larangan,” tuturnya.

 

"Usia 7–14 tahun, jadikan tawanan (beri aturan). Di masa ini, aturan mulai dikenalkan. Namun, karena anak sudah paham makna cinta, ia akan melihat aturan bukan sebagai beban, melainkan bentuk perhatian. Sayangnya, banyak orang tua melewati masa 0–7 tahun tanpa membangun komunikasi cinta. Akibatnya, ketika masa aturan tiba, anak justru merasa dikekang," sesalnya.

 

Ia mencontohkan, ada orang tua yang memaksa anak puasa di usia 4 tahun tanpa fondasi cinta yang cukup. “Akibatnya, syariat terasa berat, bukan indah,” ulasnya.

 

"Usia 14 tahun ke atas jadikan sahabat. Di usia ini, anak sudah bisa diajak berpikir dan berdialog. Orang tua bukan lagi penguasa, tetapi teman berbagi dan tempat curhat. Kalau dua tahapan sebelumnya gagal. Biasanya di fase ini anak mulai memberontak. Bukan karena mereka jahat, tetapi karena komunikasi cinta dulu tidak sempat tumbuh," jelasnya

 

Dini juga mengingatkan agar orang tua tidak mudah melabeli anak remaja sebagai generasi rusak, rebahan, atau santuy. “Persepsi negatif akan membentuk realitas negatif pula, sebagaimana hadis qudsi, ‘Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku.’,” nukilnya.

 

“Maka, kalau kita berprasangka bahwa remaja itu pasti pembangkang, tukang onar, maka itu yang Allah berikan. Tetapi kalau kita yakin mereka mudah menerima kebenaran dan punya potensi hebat, Allah akan bantu mewujudkannya," yakinnya.

 

Dini menegaskan bahwa mendidik anak tidak cukup dengan aturan, tetapi juga harus dibingkai dengan takwa, cinta, dan komunikasi lembut.

 

“Anak yang sejak kecil merasakan cinta dari orang tuanya akan mudah mencintai Allah. Tetapi kalau sejak kecil yang dirasakan hanya teriakan dan ancaman, maka ia akan tumbuh dengan persepsi bahwa syariat itu menakutkan,” pungkasnya.[] Nabila Zidane

Opini

×
Berita Terbaru Update