Tintasiyasi.ID-- Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali disorot. Tak hanya dinilai para aktivis bakal membungkam suara kritis rakyat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutnya berpotensi mengurangi efektivitas kerja KPK dalam memberantas korupsi.
KPK juga menyoroti proses penyusunan regulasi ini belum melibatkan pemangku kepentingan secara utuh, termasuk lembaga yang secara khusus menangani tindak pidana korupsi. Senada, peneliti Transparency International Indonesia (TII), Sahel Al Habsyi, pun menyoroti minimnya ruang partisipasi publik dalam penyusunan RUU KUHAP. Ia menilai beberapa ketentuan dalam draf justru mengancam independensi KPK, karena menempatkan kewenangannya di bawah koordinasi atau persetujuan lembaga lain (kpk.go.id, 22/7/2025).
Bila dugaan pelemahan KPK benar, keberadaan RUU KUHAP akan menambah deretan upaya pembusukan terhadap lembaga antikorupsi ini. Beberapa bentuk pelemahan yang teridentifikasi antara lain: revisi UU KPK tahun 2019 di mana beberapa pasal dalam UU hasil revisi dianggap menghambat kinerja KPK, kriminalisasi dan intimidasi terhadap pejabat KPK dalam kasus Ketua KPK Antasari Azhar dan Abraham Samad, serta Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di mana 75 pegawai KPK yang dinilai berintegritas dinyatakan tidak lulus dan terancam diberhentikan.
Selain itu, alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) berpotensi mengurangi independensi dan efektivitas KPK dalam memberantas korupsi. Demikian pula munculnya hambatan dalam penanganan perkara korupsi, seperti pembocoran informasi dan upaya menghentikan penyidikan, juga bentuk pelemahan KPK. Berbagai upaya tersebut dapat memperburuk pemberantasan korupsi dan berdampak negatif pada kepercayaan publik terhadap KPK. Tak dipungkiri, terus berulangnya kasus korupsi menjadi indikasi ketidakberesan sistem (aturan hidup) yang diterapkan di negeri ini yaitu sekularisme kapitalistik. Ketika hidup dijauhkan dari pengaturan agama dan hanya mengejar kebahagiaan materiil.
Beberapa Aspek Potensial Pelemahan KPK atas RUU KUHAP
Dikutip dari surabayapost.id, 18/7/2025, KPK menyatakan bahwa beberapa ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) berpotensi mengurangi efektivitas kerja KPK dalam memberantas korupsi. KPK mengidentifikasi 17 isu krusial dalam RUU HAP yang dinilai tidak sinkron dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Beberapa isu krusial yang disoroti KPK antara lain terkait pembatasan penyadapan, penghapusan kewenangan KPK dalam mengangkat penyelidik secara mandiri, serta pembatasan pencegahan ke luar negeri (cekal) hanya kepada tersangka. KPK juga menyoroti ketentuan yang berpotensi membatasi kewenangan KPK dalam menangani perkara korupsi.
Berikut adalah 17 isu krusial dalam RUU HAP yang disoroti KPK:
1. Keberlakuan UU KPK yang mengatur kewenangan penyelidik dan penyidik serta hukum acara yang bersifat khusus berpotensi dimaknai bertentangan dengan RUU HAP.
2. Keberlanjutan penanganan perkara KPK hanya dapat diselesaikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
3. Keberadaan penyelidik KPK tidak diakomodir dalam RUU HAP.
4. Penyelidikan hanya mencari dan menemukan peristiwa tindak pidana sedangkan penyelidikan KPK sudah menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti.
5. Keterangan saksi yang diakui sebagai alat bukti hanya yang diperoleh di tahap penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
6. Penetapan tersangka ditentukan setelah Penyidik mengumpulkan dan memperoleh dua alat bukti.
7. Penghentian penyidikan wajib melibatkan Penyidik Polri.
8. Penyerahan berkas perkara ke penuntut umum melalui Penyidik Polri.
9. Penggeledahan terhadap tersangka dan didampingi Penyidik dari daerah hukum tempat penggeledahan tersebut.
10. Penyitaan dengan permohonan izin Ketua Pengadilan Negeri.
11. Penyadapan termasuk upaya paksa, hanya dilakukan pada tahap penyidikan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri.
12. Larangan bepergian ke luar wilayah Indonesia termasuk upaya paksa dan hanya terhadap tersangka.
13. Pokok perkara tindak pidana korupsi tidak dapat disidangkan selama proses praperadilan.
14. Kewenangan KPK dalam perkara koneksitas tidak diakomodir.
15. Perlindungan saksi hanya dilakukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
16. Penuntutan di luar daerah hukum dengan pengangkatan sementara Jaksa Agung.
17. Penuntut umum hanya dari kejaksaan atau lembaga sesuai UU.
Demikian 17 isu krusial yang disoroti oleh KPK yang diduga bakal melemahkan pemberantasan korupsi. Semestinya pemerintah dan Panja dapat mempertimbangkan isu-isu krusial tersebut dalam menyusun RUU HAP.
Dampak Pelemahan KPK Melalui KUHAP terhadap Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Pelemahan KPK melalui RUU KUHAP dapat berdampak serius terhadap efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia. Berikut beberapa dampak utama yang mungkin terjadi:
Pertama, menghambat proses penyelidikan dan penyidikan. RUU KUHAP berpotensi membatasi kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Padahal, tindakan-tindakan ini merupakan alat vital bagi KPK dalam mengungkap kasus korupsi yang kerap melibatkan jaringan kuat dan tersembunyi. Akibatnya, proses penyidikan menjadi lebih lambat, bukti-bukti penting sulit diperoleh, dan pelaku korupsi lebih mudah menghilangkan barang bukti.
Kedua, menurunnya independensi KPK. Jika RUU KUHAP menyisipkan ketentuan yang harus melibatkan instansi lain (misalnya izin dari pengadilan untuk penyadapan), maka independensi KPK bisa terganggu. Dampaknya; KPK menjadi tidak leluasa dan harus melalui prosedur birokratis, potensi kebocoran informasi meningkat, serta tekanan politik terhadap KPK makin besar.
Ketiga, penurunan kepercayaan publik. KPK selama ini dinilai sebagai lembaga yang paling dipercaya publik dalam memberantas korupsi. Jika kinerjanya dibatasi oleh KUHAP yang baru, kepercayaan itu bisa luntur. Dampak selanjutnya: masyarakat menjadi apatis terhadap upaya pemberantasan korupsi, dukungan publik terhadap KPK melemah, serta terjadi normalisasi praktik korupsi.
Keempat, meningkatnya impunitas pelaku korupsi. Jika prosedur hukum diperumit, maka pelaku korupsi kelas kakap berpeluang lolos dari jerat hukum. Sehingga kasus korupsi besar jarang terungkap atau tidak tuntas, tindakan koruptif semakin menjadi-jadi, serta efek jera terhadap pelaku korupsi melemah.
Kelima, mengancam pemberantasan korupsi sistemis. Korupsi di Indonesia bersifat sistemis dan terstruktur. Pelemahan KPK berarti memperlemah satu-satunya lembaga yang relatif independen dan agresif dalam menembus jaringan korupsi sistemis. Hal ini mengakibatkan agenda reformasi birokrasi dan penegakan hukum terganggu, kinerja institusi penegak hukum lainnya makin tidak optimal, hingga upaya pembersihan institusi publik dari praktik korupsi terhambat.
Dengan demikian, jika RUU KUHAP memang mengandung pasal-pasal yang berpotensi melemahkan KPK, maka itu bisa menjadi ancaman serius terhadap sistem pemberantasan korupsi di Indonesia. Alih-alih menghilangkan korupsi, pemberlakuan undang-undang seperti itu bisa menjadi "karpet merah" bagi para koruptor.
Strategi Pemberantasan Korupsi Melalui KUHAP yang Menguatkan Peran KPK
Strategi pemberantasan korupsi melalui revisi KUHAP yang justru menguatkan peran KPK (bukan melemahkannya), harus dirancang dengan prinsip akuntabilitas, independensi, dan efektivitas penegakan hukum. Berikut sejumlah strategi yang dapat kami sampaikan dalam kerangka RUU KUHAP agar mendukung dan memperkuat pemberantasan korupsi:
Pertama, mempertegas kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum khusus. RUU KUHAP sebaiknya memberikan ketegasan bahwa KPK merupakan lembaga dengan kewenangan khusus dalam menangani tindak pidana korupsi, termasuk kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang tidak bisa diintervensi aparat lain. Penegasan ini penting agar tidak terjadi dualisme kewenangan antara KPK dan instansi lain seperti kejaksaan atau kepolisian.
Kedua, penguatan proses penyidikan dan penuntutan oleh KPK. RUU KUHAP dapat menyediakan jalur khusus untuk tindak pidana korupsi, seperti:
penyidikan tanpa harus menunggu surat perintah penyelidikan dari jaksa agung atau polisi. Selain itu, wewenang untuk menyadap, menggeledah, dan menyita tanpa syarat birokrasi yang rumit. Hingga tidak mewajibkan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) ke kejaksaan dalam kasus KPK, karena bisa mengganggu kerahasiaan dan efektivitas penyidikan.
Ketiga, mempertahankan dan memperkuat alat bukti elektronik dan intelijen. Jangan ada pembatasan penggunaan sadapan sebagai alat bukti yang sah dalam kasus korupsi. Sebaliknya, RUU KUHAP perlu memperjelas legalitas penyadapan sebagai upaya penegakan hukum dalam kasus high profile seperti korupsi. Lalu ada perluasan bentuk alat bukti modern, seperti rekaman elektronik, transaksi digital, serta data forensik.
Keempat, memperkuat perlindungan saksi dan pelapor. RUU KUHAP harus menjamin perlindungan maksimal bagi whistleblower dan justice collaborator, terutama dalam kasus korupsi kelas kakap. Serta memastikan bahwa pelapor korupsi tidak dapat dikriminalisasi dengan pasal-pasal karet (seperti pencemaran nama baik).
Kelima, pengaturan sidang khusus untuk kasus korupsi. Memberikan ruang bagi mekanisme peradilan cepat dan transparan untuk kasus korupsi. Selain itu, pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) diperkuat posisinya dalam KUHAP, termasuk prosedur acara pidana yang khusus dan fleksibel.
Keenam, harmonisasi dengan UU KPK dan UU Tipikor. KUHAP sebagai hukum acara harus selaras dan tidak bertentangan dengan UU KPK dan UU Tindak Pidana Korupsi. Pasal-pasal dalam KUHAP jangan sampai menjadi celah hukum untuk melemahkan fungsi-fungsi dasar KPK seperti penyidikan independen dan penindakan tanpa izin lembaga lain.
Ketujuh, pengawasan eksternal yang konstruktif. RUU KUHAP dapat mengatur sistem pengawasan yang bersifat korektif, bukan represif, terhadap lembaga seperti KPK. Pengawasan dilakukan oleh lembaga independen, bukan lembaga yang memiliki konflik kepentingan, seperti kepolisian atau kejaksaan.
Dengan demikian, RUU KUHAP seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki sistem hukum acara pidana Indonesia agar lebih mampu merespons terhadap kejahatan luar biasa seperti korupsi. Strategi di atas dapat dijadikan pijakan agar KUHAP yang baru tidak menjadi alat pembusukan KPK, melainkan menjadi pondasi hukum yang memperkuat integritas dan efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia. Dan perlu dipahami bahwa maraknya korupsi adalah problem sistemis yang butuh solusi secara sistemis pula. Patut diperhitungkan, upaya menuju pada pengubahan sistem. Dari sekularisme kapitalistik yang terbukti gagal mengatur kehidupan manusia, menuju sistem Islam yang berasal dari Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta.[]
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati