“Perjanjian Kerangka Kerja (The
Framework Agreement) tersebut disusun oleh utusan PBB Volker Perthes di bawah
pengawasan langsung Amerika dan Inggris. Jika kita telusuri kembali ke
Perjanjian Damai Juba pada 03 Oktober 2020, perjanjian itu juga merupakan hasil
perantara Amerika. Sebagaimana perjanjian atau kebijakan lain yang dimediasi
oleh Amerika atau negara kolonial mana pun, mereka tidak pernah tulus,” ujarnya
dalam sesi forum online yang disiarkan di platform Rumble.com
bertajuk Only the Khilafah Will Bring Glory to Sudan, Sabtu (20/09/2025).
Menurutnya, meskipun perjanjian
tersebut menjanjikan pemerintahan sipil dan pemilu setelah dua tahun transisi,
perjanjian tersebut justru membuka jalan bagi penjajahan ideologi Barat dan
nilai-nilai sekuler atas nama hak asasi manusia.
"Ketika perjanjian tersebut
menyatakan bahwa pemerintah Sudan harus mematuhi piagam hak asasi manusia
internasional, terutama terkait hak-hak perempuan, sebenarnya berarti mereka
harus mematuhi hukum, prinsip, dan keyakinan sekuler Barat. Seperti Deklarasi
Seattle dan Deklarasi Beijing," jelasnya.
Sistem Gagal
Menanggapi persepsi bahwa demokrasi
adalah jalan terbaik menuju keadilan dan kesejahteraan, Sarah memperingatkan
bahwa sistem tersebut telah gagal di tempatnya dan hal itu jelas terlihat oleh
masyarakat dunia.
"Semua orang dapat melihat apa
yang terjadi di Amerika, Inggris, atau Prancis, dan kemunduran yang
terus-menerus mereka alami. Di saat yang sama, mereka berusaha menyembunyikan
kegagalan ini dengan kebohongan yang terang-terangan dan manipulasi persepsi (gaslighting),"
ujarnya.
Ia juga mengkritik pernyataan
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam konferensi pers bersama Keir
Starmer, yang ia anggap absurd.
Katanya, “Trump benar-benar membuat
pernyataan konyol bahwa AS dan Inggris telah berbuat lebih banyak kebaikan di
planet ini daripada negara lain mana pun dalam sejarah manusia.” 
“Sekarang, meskipun benar bahwa
mereka akan tetap bersama selamanya, faktanya mereka telah meninggalkan jejak
kematian, kehancuran, dan kemiskinan. Tidak ada kebaikan yang datang dari
negara-negara adidaya ini dan kolonialisme mereka,” lugasnya.
Ia menolak klaim bahwa demokrasi
adalah jalan atau jalur menuju masa depan yang konon akan membawa kemakmuran,
keamanan, dan pembangunan.
“Namun yang sebenarnya terjadi justru
sebaliknya, rakyat terus menderita akibat pemerintahan yang korup,
ketidakstabilan, ketidakamanan, dan kemiskinan,” kritiknya.
Seterusnya, ia turut menyangkal klaim
demokrasi adalah sistem daripada rakyat untuk rakyat.
“Pada kenyataannya kekuasaan untuk
membuat perubahan dan membuat undang-undang hanya berada di tangan segelintir
elite kaya dan mereka melakukannya dengan mengorbankan kebutuhan rakyat,”
tegasnya.
Sarah juga mempertanyakan nilai-nilai
kemanusiaan yang dipromosikan oleh sistem kapitalis Barat, dengan mengatakan
bahwa AS sendiri telah gagal memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya.
“Negara ini menghadapi infrastruktur
yang memburuk, kemiskinan, kekurangan pangan, tunawisma, dan kesulitan
mendapatkan perawatan medis. Sistem pendidikannya berada dalam kondisi yang
sangat buruk. Anak-anak berusia lima tahun saja sudah berani mengancam akan
melukai guru mereka,” bebernya.
Imbuhnya, demokrasi hanya
menguntungkan negara-negara adidaya dan merupakan alat untuk mengalihkan
perhatian rakyat demi mempertahankan kendali atas masyarakat dunia.
“Kekuatan kolonial Barat berbisnis
menciptakan perpecahan, menciptakan faksi-faksi dan kekacauan di luar negeri
dan bahkan di dalam negeri, karena hal itu membuat rakyat teralihkan, hanya
berfokus pada bertahan hidup dan tidak menyadari adanya sistem alternatif yang
mungkin ada untuk mengurus urusan mereka,” jelasnya.
Ia mengakhiri dengan menekankan bahwa
penyatuan di bawah satu pemerintahan adalah cara untuk mengakhiri pendudukan
Barat atas tanah-tanah Muslim.
"Setelah negara (khilafah)
ditegakkan kembali di tanah-tanah kaum Muslim dan kita berada di bawah panji
Islam dengan kekuatan militer yang bersatu, maka kita akan mampu melindungi
tanah-tanah kita dari penjajahan, sebagaimana yang telah dilakukan pada masa
Nabi Muhammad SAW," pungkasnya.[] Aliya Ab Aziz
