TintaSiyasi.id -- Kasus tayangan Xpose Uncensored di Trans7 yang menyinggung pesantren Lirboyo menyisakan luka dan tanya. Bukan hanya karena tayangannya dianggap melecehkan ulama, tapi karena pola lama kembali terulang, yaitu simbol Islam dijadikan sensasi, lalu ketika umat marah, malah muncul stigma ekstremisme.
Ironis, tapi begitulah wajah media di bawah sistem kapitalisme sekuler di mana rating lebih penting dari rasa hormat, dan sensasi lebih laku daripada kebenaran.
Mari kita jujur. Media sekuler hari ini bukan lagi “penyampai informasi,” tapi alat produksi opini. Ia hidup dari atensi publik, bukan dari nilai moral.
Dalam sistem kapitalisme, konten tidak diukur dari benar-salah, tapi dari berapa banyak klik, view, dan sponsor yang datang.nMaka tidak aneh jika tayangan-tayangan yang bersinggungan dengan simbol Islam seringkali dikemas dengan cara menggoda kontroversi. Kenapa? Karena agama adalah topik sensasional.
Ia bisa memancing emosi, lalu emosi memancing trafik, dan trafik memancing uang. Begitulah siklusnya. Sayangnya, ketika umat tersinggung dan bersuara, media justru memakai reaksi itu sebagai “bahan bakar baru” untuk melanjutkan framing. Narasi berubah, bukan lagi soal pelecehan, tapi soal “radikalisme” atau “kelompok tertentu di balik amarah umat.”
Kali ini, tudingan mengarah pada HTI seolah semua keresahan umat Islam berakar dari mereka. Padahal umat marah bukan karena HTI, tapi karena cinta mereka kepada ulama dan pesantren dihina.
Sebelum menelan mentah-mentah tuduhan asal bicara tersebut mari kita lihat fakta berikut, secara struktur, Trans7 berada di bawah Trans Media, bagian dari CT Corp milik Chairul Tanjung, seorang pengusaha sekuler yang dikenal pragmatis dan moderat. Dengan jaringan bisnis yang luas, mulai dari bank, media, retail, hingga hiburan. CT Corp bergerak dalam sistem ekonomi kapitalis yang sangat bergantung pada pasar dan investor. Artinya, orientasi utama media ini bukan dakwah, tapi laba.
Dalam sistem kapitalisme, Islam hanya laku jika dibingkai sebagai “produk budaya”, bukan sistem hidup. Maka ketika Islam tampil dengan wajah ideologis, seperti membahas syariah, khilafah, atau ketegasan akidah, maka ia langsung dicap sebagai ancaman. Begitulah cara sistem ini menjaga dominasi narasinya.
Polanya selalu sama, setiap kali Islam diserang dan umat bersuara, pola yang digunakan media sekuler hampir identik,
Lempar isu provokatif yang menyerempet ajaran atau simbol Islam. Biarkan publik marah, agar engagement naik. Masukkan narasi pengalihan, seperti tuduh ada kelompok ekstrem di balik reaksi umat.
Cuci tangan, bilang “itu kelalaian tim produksi” dan “sudah minta maaf.” Kembalikan status quo, tanpa evaluasi nilai, hanya prosedur dan publik? Dipaksa untuk melupakan. Namun umat Islam, khususnya kalangan pesantren, tentu tak semudah itu menelan luka.
Islam dan Adab terhadap Ulama
Dalam Islam, ulama adalah pewaris para nabi. Mereka bukan sekadar guru, tapi penjaga akidah umat. Menghina ulama berarti merusak sendi kehormatan ilmu.
Rasulullah Saw bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang tua kami, tidak menyayangi yang muda, dan tidak memuliakan ulama kami.” (HR. Ahmad)
Maka wajar bila umat tersinggung. Kemarahan terhadap pelecehan bukan tanda radikal, tapi bukti masih hidupnya iman. Sebaliknya, diam terhadap penghinaan adalah tanda matinya nurani.
Tuduhan terhadap HTI: Framing atau Fakta?
Lucunya, dalam setiap kontroversi yang melibatkan umat Islam, nama HTI hampir selalu disebut. Bahkan dalam kasus yang jelas-jelas tak ada kaitan struktural pun, tuduhan itu muncul seperti reflek otomatis. Padahal faktanya, HTI tidak pernah ada bukti bahwa mereka terlibat dalam produksi tayangan televisi apa pun.
Tuduhan ini bukan fakta, melainkan framing politik. Mengapa? Karena menuduh HTI itu “aman” secara politik. Ia memberi kesan bahwa segala bentuk kritik umat terhadap kezaliman atau pelecehan agama adalah bagian dari gerakan terlarang. Padahal, yang umat lakukan hanyalah amar makruf nahi mungkar.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menulis, “Ketika umat menolak kebatilan, itu bukan pemberontakan itu panggilan iman.”
Artinya, membela ulama dan pesantren bukan urusan organisasi, tapi urusan akidah.
Sumber Masalah: Sistem Kapitalisme Sekuler
Kasus Trans7–Lirboyo hanyalah cermin kecil dari penyakit besar bernama kapitalisme sekuler. Sistem ini menempatkan kebebasan ekspresi di atas kehormatan agama. Ia memberi izin untuk menghina simbol Islam atas nama “kreativitas,” tapi membungkam dakwah ideologis atas nama “radikalisme.”
Dalam logika ini, media tidak lagi menjalankan fungsi amar makruf nahi mungkar, tapi menjadi alat produksi opini demi menjaga stabilitas kekuasaan dan modal.
Maka jangan heran, umat Islam sering jadi korban framing, karena mereka adalah satu-satunya kekuatan ideologis yang berpotensi menggoyang legitimasi sistem sekuler itu sendiri.
Solusinya Kembalikan Media pada Fungsi Islam
Dalam sistem Islam (khilafah), media bukan alat kapital atau propaganda, tapi alat dakwah dan pendidikan umat. Tugasnya bukan mencari sensasi, tapi menegakkan kebenaran. Jurnalisnya bukan sekadar pencari berita, tapi penyampai amanah.
Media dalam Islam tidak boleh menghinakan ulama, menistakan ajaran, atau memutarbalikkan fakta karena itu pelanggaran terhadap hukum syariah. Sebaliknya, ia wajib menyebarkan ilmu, keadilan, dan pemikiran yang membangun kesadaran umat.
Oleh karena itu, saatnya umat melek narasi. Kasus ini mengingatkan kita bahwa perang ide hari ini bukan di medan perang, tapi di layar kaca. Yang memegang pena dan kamera bisa lebih tajam dari pedang dan umat Islam tak boleh hanya jadi penonton.
Umat harus melek narasi, memahami ideologi, dan berani menyuarakan kebenaran dengan cara yang santun tapi teguh. Karena selama sistem sekuler ini berkuasa, Islam akan terus menjadi korban sensasi. Namun ketika Islam menjadi sistem yang memimpin, media akan kembali pada fitrahnya, yaitu melayani kebenaran, bukan menjualnya. []
Nabila Zidane
Jurnalis