Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Nusantara: Kota Pintar dalam Retorika, Kota Sekuler dalam Realita

Senin, 13 Oktober 2025 | 06:05 WIB Last Updated 2025-10-12T23:05:52Z

TintaSiyasi.id -- Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) kembali menegaskan visinya membangun Nusantara sebagai kota pintar, kota hutan, sekaligus ibu kota politik Indonesia. Seperti diberitakan Antara News (29/09/2025), progres pembangunan tahap pertama (2020–2024) diklaim sudah 99 persen rampung. Tahap kedua (2025–2030) akan fokus pada penyelesaian proyek-proyek yang tertunda, termasuk pembangunan kawasan legislatif dan yudikatif dengan kontrak kerja yang dijadwalkan pada 15 Oktober 2025. Target besarnya, pada 2028 Nusantara resmi menjadi ibu kota politik Indonesia.

Secara retoris, pembangunan IKN digambarkan futuristik sekaligus ramah lingkungan. Julukan "kota pintar" memikat imajinasi publik tentang teknologi mutakhir yang terintegrasi dalam tata kelola kota. Sebutan "kota hutan" (forest city) menenangkan kegelisahan ekologis, seolah seluruh pembangunan modern dapat berdampingan dengan alam. Bahkan disebut, setiap dua pekan 1.100 pegawai IKN melakukan penanaman pohon di kawasan tersebut. Tak ketinggalan, sebagai “ibu kota politik”, IKN dijanjikan menjadi pusat baru roda pemerintahan.

Namun, di balik narasi manis itu, ada sejumlah catatan kritis yang tak boleh diabaikan. Pertama, konsep "kota pintar" rawan menjerumuskan pada ketergantungan teknologi asing. Infrastruktur digital, sistem keamanan siber, hingga aplikasi layanan publik, sebagian besar masih bergantung pada vendor dan investasi luar negeri. Lantas, apakah "pintar" itu berarti mandiri, atau justru terjebak dalam kontrol kapital teknologi global?

Kedua, konsep forest city berpotensi hanya menjadi pencitraan hijau—terlihat menanam pohon, padahal hakikatnya mengabaikan nilai dan tanggung jawab menjaga alam. Menghutankan kembali kawasan yang sebelumnya hutan tanam industri belum tentu mampu mengembalikan fungsi ekologis hutan primer yang hilang. Apalagi, jika di saat bersamaan pembangunan infrastruktur masif justru menggerus tanah, air, dan habitat satwa. Apakah masyarakat benar-benar memperoleh keseimbangan lingkungan, atau hanya citra hijau yang dipoles demi legitimasi proyek raksasa?

Ketiga, IKN sebagai "ibu kota politik" masih menyisakan pertanyaan besar. Apakah pemindahan ibu kota benar-benar demi pemerataan pembangunan, atau justru demi agenda politik dan bisnis segelintir elit? Pusat politik semestinya menjadi pusat pelayanan umat dan keadilan. Tetapi dalam sistem sekuler, politik sering direduksi menjadi perebutan kekuasaan dan distribusi proyek. Tidak mengherankan bila kritik publik menilai IKN lebih kental sebagai proyek modernisasi yang sarat kepentingan, ketimbang solusi struktural atas persoalan rakyat.

Di sinilah kontras dengan pandangan Islam sangat tampak. Dalam sistem Islam, pembangunan kota, apalagi ibu kota, tidak berdiri di atas paradigma sekuler-liberal yang menuhankan kapital dan teknologi. Kota dibangun sebagai pusat peradaban yang menyejahterakan rakyat, menjaga alam sebagai amanah, dan menempatkan politik sebagai jalan untuk menegakkan keadilan. Teknologi tidak dipuja, tapi dijadikan sarana untuk melayani kebutuhan manusia. Hutan bukan sekadar kosmetik pembangunan, melainkan benar-benar dijaga demi keberlanjutan hidup. Dan ibu kota bukan simbol gengsi negara, melainkan pusat pelayanan umat dalam naungan syariah.

Sejarah mencatat, ketika Daulah Islam memilih kota sebagai pusat pemerintahan, pertimbangan utamanya bukan citra modern atau narasi hijau, melainkan kemaslahatan umat. Madinah al-Munawwarah misalnya, dipilih Rasulullah Saw. sebagai pusat kekuasaan bukan karena letaknya strategis semata, tapi karena masyarakatnya siap menerima risalah Islam dan menegakkan hukum Allah. Begitu pula Baghdad dan Damaskus di masa kekhalifahan, menjadi pusat ilmu, peradaban, dan keadilan—bukan proyek mercusuar kosong.

Karena itu, wajar jika publik hari ini meragukan jargon IKN sebagai “kota pintar, kota hutan, ibu kota politik”. Selama asas pembangunan tetap sekuler, maka bias ekonomi-politik akan sulit dihindari. Apa yang dijanjikan sebagai smart city bisa berujung pada smart surveillance, di mana rakyat diawasi ketat tanpa jaminan hak-haknya. Apa yang disebut forest city bisa berhenti pada simbol hijau di atas kertas. Dan ibu kota politik bisa saja hanya menjadi panggung elit, jauh dari pelayanan umat.

Maka, masalah mendasarnya bukan sekadar di mana ibu kota berdiri, atau seberapa canggih teknologi yang dipasang, tetapi pada sistem apa yang menjadi pijakan pembangunan. Selama sistem itu sekuler, maka wajah pembangunan tetap akan ditentukan oleh logika kapitalisme: untung-rugi, investasi, dan kekuasaan segelintir orang.

Sementara Islam menghadirkan paradigma berbeda. Ibu kota sejati adalah pusat pemerintahan yang tunduk pada hukum Allah, melayani kebutuhan rakyat tanpa diskriminasi, menjaga alam dengan prinsip amanah, dan menegakkan keadilan yang hakiki. Inilah yang absen dari proyek IKN.

Pada akhirnya, kita bertanya; apakah IKN benar-benar solusi bagi rakyat, atau sekadar simbol kemajuan yang rapuh dalam sistem sekuler? Jawaban jujurnya, hanya akan terlihat ketika kita berani menimbangnya dengan timbangan syariah, bukan sekadar retorika pembangunan.

Maka, wahai umat, jangan terjebak pada gemerlap ilusi kota pintar, kota hutan, atau ibu kota politik yang dibungkus narasi modernisasi. Karena semua itu tidak lebih dari fatamorgana jika dibangun di atas fondasi sekuler yang cacat. Sejarah telah membuktikan bahwa hanya syariah Islam yang mampu menjadikan sebuah kota—bahkan sebuah peradaban—benar-benar adil, sejahtera, dan bermartabat.

Sudah saatnya kita berani melepaskan diri dari jebakan kapitalisme pembangunan, dan kembali menuntut sistem yang menjadikan Allah sebagai pusat aturan. Ibu kota sejati bukanlah sekadar bangunan megah atau teknologi mutakhir, melainkan pusat pelayanan umat yang berlandaskan syariah. Inilah satu-satunya jalan agar negeri ini tidak terus diperdaya oleh proyek politik jangka pendek, melainkan benar-benar berdiri kokoh sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Wallahu a'lam. []


Oleh: Tuty Prihatini, S.Hut.
Aktivis Muslimah Banua

Opini

×
Berita Terbaru Update