Bukan sekadar karya untuk dikenang manusia, tetapi amal yang membuat Allah dan Rasul-Nya layak mencintai dan menolong kita. Karena hakikat karya seorang mukmin sejati bukanlah pada popularitas, tetapi pada keberkahan dan keikhlasan.
Berkarya Sebagai Bentuk Pengabdian
Setiap manusia diberi potensi oleh Allah. Ada yang pandai berbicara, ada yang gemar menulis, ada yang terampil mengajar, ada yang tangguh bekerja di lapangan. Semua itu bukan kebetulan — melainkan amanah.
Berkarya dalam Islam bukan sekadar aktivitas duniawi, tapi ibadah ruhani. Ketika niatnya lurus, setiap karya menjadi jalan menuju ridha-Nya. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." (HR. Ahmad)
Inilah standar kemuliaan dalam Islam. Bukan seberapa banyak kita dikenal, tetapi seberapa banyak orang yang merasakan manfaat dari keberadaan kita. Maka, berkaryalah dengan niat agar setiap tindakan, sekecil apa pun, menjadi ladang pahala yang terus mengalir hingga hari akhir.
Mendapatkan Cinta Allah dan Rasul-Nya
Cinta Allah dan Rasul tidak bisa diraih hanya dengan kata, tapi melalui bukti nyata. Cinta itu tumbuh dari ketaatan, dari kerja keras yang disertai keikhlasan, dari perjuangan yang tidak berhenti meski tak disorot manusia.
Allah berfirman:
"Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu." (QS. Ali Imran: 31)
Ayat ini adalah kunci emas. Mengikuti Rasulullah berarti meneladani kejujurannya, ketekunan dakwahnya, kelembutan akhlaknya, dan kesungguhan dalam menolong umat.
Jika setiap karya kita diniatkan untuk meneladani beliau, maka Allah akan menurunkan cinta-Nya, menolong dalam setiap kesulitan, dan menenangkan hati kita di tengah perjuangan.
Membahagiakan Orang Tua dengan Prestasi dan Akhlak
Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagi orang tua selain melihat anaknya menjadi insan yang berilmu, berakhlak, dan beramal.
Kita bisa saja sukses secara duniawi, tetapi nilai sejati kesuksesan adalah ketika orang tua meneteskan air mata syukur karena memiliki anak yang menjaga kehormatan mereka di hadapan Allah dan manusia.
Maka, ketika kita belajar, bekerja, atau berjuang, niatkan pula untuk menghadiahkan kebahagiaan bagi kedua orang tua. Jadikan mereka bangga bukan karena kita kaya, tapi karena kita taat. Bukan karena jabatan, tapi karena kita menjadi manusia yang bermanfaat dan berakhlak mulia.
Menjadi Manusia yang Bermanfaat bagi Umat.
Hidup yang paling bermakna adalah hidup yang memberi.
Memberi ilmu, memberi kasih, memberi keteladanan. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak orang pintar, tetapi lebih banyak orang yang peduli. Dunia tidak kekurangan orang cerdas, tetapi kekurangan orang yang berhati nurani.
Ketika kita membantu satu orang yang lemah, mungkin di mata dunia itu hal kecil — tapi di sisi Allah, bisa jadi itu lebih besar dari ribuan amal yang tanpa niat tulus.
Maka, jadikan setiap hari sebagai kesempatan untuk menebar manfaat: menolong sesama, menginspirasi dengan kebaikan, dan mengajak orang menuju cahaya iman.
Kesimpulan: Jejak yang Abadi di Alam Semesta
Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan tanpa makna. Kita tidak tahu kapan waktu kita habis, tapi kita bisa memastikan bahwa sebelum ajal tiba, kita sudah meninggalkan jejak yang akan terus berkilau di langit amal.
Berkaryalah dengan niat yang suci, dengan semangat yang tinggi, dan dengan hati yang ikhlas. Jadikan karya kita persembahan kepada Allah, bukti cinta kepada Rasul, hadiah untuk orang tua, dan manfaat untuk umat.
Karena pada akhirnya, bukan berapa banyak yang kita capai yang akan dikenang, tetapi berapa banyak hati yang tersentuh oleh kebaikan yang kita tinggalkan.
"Teruslah berkarya, menorehkan tanda di alam semesta — tanda yang membuat Allah dan Rasul-Nya ridha dan cinta; tanda yang membuat orang tua bangga; dan tanda yang membuat umat tersenyum karena keberadaan kita di dunia ini berarti bagi mereka."
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)