TintaSiyasi.id -- Amerika Serikat secara resmi menghentikan impor udang beku dan cengkeh dari Indonesia. Keputusan ini diambil setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) mendeteksi adanya kandungan radionuklida Cesium-137 (Cs-137) pada kedua produk tersebut. Udang beku tersebut berasal dari PT Bahari Makmur Sejahtera (BMS), sedangkan cengkeh dari PT Natural Java Spice. (CNBC Indonesia, 2-10-2025)
Kasus ini mencuat sejak Agustus 2025, ketika kontainer berisi udang Indonesia tiba di pelabuhan AS dan terindikasi mengandung Cs-137. Pemerintah AS kemudian menarik seluruh produk udang yang sudah beredar dan memulangkan 18 kontainer ke Indonesia. Kapal lain yang tengah menuju AS pun diminta berbalik arah.
Ekspor Udang Terhambat
Akibat insiden ini, sekitar 900 ton udang beku gagal diekspor. Pemerintah mengembalikan seluruhnya ke PT BMS untuk ditindaklanjuti. Ada dua opsi yang dipertimbangkan: mengekspor ulang ke negara lain atau menjual ke pasar domestik. Pilihan kedua dinilai lebih realistis karena sulit menemukan mitra ekspor baru di tengah isu paparan radioaktif. Pemerintah bahkan menegaskan bahwa udang PT BMS masih aman dikonsumsi.
Udang yang terkena paparan Cs-137 ini merupakan jenis vaname dalam bentuk olahan beku. Menurut hasil pemeriksaan, kontaminasi tidak menyebar merata sehingga ada sebagian produk yang tetap bebas dari paparan. Selama lima tahun terakhir, udang menjadi salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia ke AS, dengan kontribusi hingga 66 persen pada 2022. Karena itu, kasus Cs-137 dikhawatirkan akan berdampak luas terhadap ekspor hasil perikanan lainnya.
Penelusuran Sumber Radiasi
Menindaklanjuti temuan ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerja sama dengan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) menelusuri sumber paparan di pabrik PT BMS, Cikande. Pemeriksaan di tambak Lampung dan Pandeglang menunjukkan hasil negatif, namun di area pabrik ditemukan kontaminasi Cs-137, terutama di halaman luar.
Investigasi diperluas hingga radius 500 meter, dan ditemukan titik cemaran lain di tempat rongsokan besi dan warung warga. Setelah area pemeriksaan diperluas hingga 5 km, ditemukan 10 titik kontaminasi baru. Dugaan akhirnya mengarah ke kawasan industri baja milik PT Peter Metal Technology (PMT) Indonesia. Alat pendeteksi radiasi menunjukkan level tinggi di sekitar tungku peleburan baja.
KLHK pun langsung menyegel dan menghentikan operasi pabrik tersebut. Dari hasil evaluasi, sembilan pekerja diketahui ikut terpapar Cs-137. Pemilik pabrik, yang merupakan warga negara Tiongkok, dikabarkan sudah kembali ke negaranya. BRIN dan Bapeten menemukan bahwa sumber radiasi kemungkinan berasal dari scrap metal impor yang dilebur di pabrik PT PMT.
Bisnis Gelap di Balik Scrap Metal
PT PMT diketahui merupakan salah satu pemain besar industri baja di Cikande. Setiap tahun, pabrik ini memproduksi puluhan ribu ton billet dan batang baja dari bahan baku besi bekas. Karena permintaan bahan baku tinggi, perusahaan mengimpor scrap metal dari luar negeri. Menurut pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan, besi bekas terkontaminasi Cs-137 berasal dari Filipina, dan pemerintah telah mengembalikan 233 kontainer scrap metal ke negara tersebut.
Namun, hasil investigasi juga menunjukkan adanya impor dari negara lain seperti Jepang, Australia, Korea Selatan, Eropa Timur, dan AS. Bisnis scrap metal ini memang menggiurkan secara ekonomi, tetapi di balik itu terdapat risiko besar karena banyak limbah industri dan medis yang tercampur di dalamnya, termasuk limbah radioaktif.
Sayangnya, negara-negara pengimpor seperti Indonesia sering kali memiliki sistem pengawasan yang lemah. Alat deteksi radiasi di pelabuhan (radiation portal monitor) kerap tidak berfungsi, atau sengaja dimatikan demi mempercepat proses logistik. Di sisi lain, muncul dugaan kuat adanya mafia scrap metal yang memanfaatkan jalur ini untuk membuang limbah berbahaya dari negara maju ke negara berkembang. Kasus Cikande kemungkinan hanya puncak gunung es dari praktik tersebut.
Lemahnya Pengawasan Negara
Peristiwa ini memunculkan keresahan publik. Banyak yang mempertanyakan sejak kapan radiasi Cs-137 ini menyebar, bagaimana dampaknya terhadap warga sekitar, dan mengapa pengawasan negara begitu longgar. Paparan radioaktif yang menumpuk dalam tubuh dapat menimbulkan gangguan serius seperti kerusakan sel, organ, hingga kanker.
Kejadian ini sekaligus menyingkap realitas pahit bahwa negara berkembang sering dijadikan “tempat pembuangan” limbah berbahaya oleh negara maju. Negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia, seolah tidak memiliki kekuatan untuk menolak hegemoni tersebut. Padahal, sejarah mencatat, dunia Barat dulu justru gentar terhadap kekuatan Islam.
Pandangan Islam terhadap Perdagangan Luar Negeri
Dalam pandangan Islam, aktivitas ekspor-impor tidak boleh berjalan bebas sebagaimana dalam sistem kapitalis. Negara (Khilafah) memiliki kewenangan penuh untuk mengawasi perdagangan luar negeri, baik yang dilakukan individu maupun perusahaan. Di setiap perbatasan, negara akan menempatkan pos pengawasan (masalih) untuk memeriksa semua barang dan memastikan tidak ada ancaman bagi keselamatan umat.
Masalah ini menjadi bentuk tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Barang berbahaya atau merugikan tidak akan dibiarkan masuk. Pengawasan yang ketat ini juga didukung oleh tiga pilar utama sistem Islam: ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan sanksi tegas dari negara. Para penjaga perbatasan menyadari amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Sistem Ekonomi Islam menjelaskan bahwa hukum impor adalah mubah, berdasarkan QS. Al-Baqarah ayat 275: “Allah telah menghalalkan jual beli.” Namun, ekspor hanya dibolehkan bila kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi, dan perdagangan dengan negara kafir harbi yang memerangi Islam secara nyata dilarang.
Khatimah
Kasus paparan Cs-137 di Cikande menjadi bukti nyata lemahnya pengawasan negara terhadap arus impor. Ketergantungan industri terhadap bahan baku luar negeri menunjukkan betapa sistem kapitalisme membuat negara berkembang terus bergantung pada negara maju.
Berbeda dengan sistem Islam, negara Khilafah akan menegakkan pengawasan ketat atas setiap barang yang masuk, serta membangun kemandirian industri dalam negeri. Setiap proyek dan industri berjalan demi kemaslahatan umat, bukan kepentingan segelintir kapitalis. Dengan demikian, tidak akan ada lagi eksploitasi sumber daya yang membahayakan manusia dan lingkungan.
Wallahu a‘lam bishshawab.[]
Oleh: Mila Amartiar
Aktivis Muslimah