TintaSiyasi.id -- Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PELITA UMAT Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. menyebut bahwa Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) baru memberikan ruang syariat Islam dapat diterapkan dalam ranah pidana yang berlaku di daerah tersebut.
“KUHP baru memberikan ruang syariat Islam dapat
diterapkan dalam ranah pidana yang berlaku di daerah tersebut,” ungkap Chandra
di akun Facebook Chandra Purna Irawan, Senin (06/10/2025).
KUHP Baru akan dilaksanakan pada tahun 2026, sekitar 3
(tiga) bulan lagi, ujar Chandra. “Terdapat pasal yang menarik untuk dicermati
oleh tokoh-tokoh agama, politisi daerah, dan ahli hukum, yaitu pasal 2,”
sebutnya.
“Pasal 2, pada ayat (1) dinyatakan, ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum
yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini,” bebernya.
“Pasal 2, pada ayat (2) disebutkan, hukum yang hidup
dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum
itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang,” imbuh Chandra.
Pengacara tersebut mengutip pendapat Eugen Ehrlich, (Eugen
Ehrlich, Fundamental Principles of The Sociology of Law, Walter L. Moll trans,
1936) hukum yang hidup (living law) adalah hukum yang tumbuh dari
masyarakat itu sendiri, bukan hanya dari pembentukan negara atau putusan hakim.
“Hukum ini adalah kebiasaan, norma kesusilaan,
kesopanan, dan nilai-nilai agama yang mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat
dan diakui secara efektif meski belum tertulis atau diformalkan oleh negara.
Contoh konkretnya adalah hukum adat yang lahir dari nilai-nilai agama,
nilai-nilai kesusilaan yang mempengaruhi sehingga menjadi kebiasaan masyarakat
serta telah menjadi bagian dari kehidupan mereka,” lanjutnya menjelaskan.
Kaidah-kaidah agama tertentu dapat diterima dan
dijadikan norma dalam kehidupan masyarakat, ujar Chandra, sehingga ia menjadi
bagian dari hukum adat yang berlaku dan ditaati secara turun-temurun.
“Di Indonesia, fenomena ini dapat dilihat pada
masyarakat yang secara turun-temurun menganut suatu agama, di mana nilai-nilai
agamanya terintegrasi dalam praktik-praktik dan kebiasaan sehari-hari, sehingga
terbentuklah hukum yang hidup (living law),” kupasnya.
“Adat bersendikan syariat merupakan dua unsur penting
dalam masyarakat Aceh yang tidak dapat dipisahkan. Berbicara adat, secara
sendirinya telah berbicara dan melibatkan hukum syariat. Hukum Islam yang telah
mengkristal dan menjiwai masyarakat adat Aceh tidak hanya dalam wacana, tetapi
juga menjadi kesadaran dan aplikasi moral seluruh masyarakatnya,” ulasnya.
Ia menuturkan, Islam telah menjadi bagian dalam
kehidupan masyarakat Nusantara sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan telah
dipraktikkan ke dalam kehidupan masyarakat dan bernegara, hal itu tecermin pada
berdirinya Kesultanan-Kesultanan Islam, di antaranya adalah Kesultanan Perlak,
Kesultanan Samudera Pasai, Kesultanan Ternate, Kesultanan Gowa, Kesultanan
Malaka, Kesultanan Demak, Kesultanan Banten, dan Kesultanan Mataram Islam.
“Hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut dituangkan
dalam Peraturan Daerah (Perda) harus dikompilasi dan dirumuskan dalam Perda di
daerah tersebut, bukan hanya norma yang tidak tertulis,” kata Chandra.
Ia menerangkan,dDaerah-daerah diberikan otonom
berwenang menentukan Peraturan Daerah (Perda) yang mencantumkan pidana mengenai
hukum yang hidup yang berlaku di daerah masing-masing.
“Oleh karena itu sudah saatnya masyarakat,
tokoh-tokoh, tokoh agama, politisi dan ahli hukum menyusun “Perda yang bermuatan
Pidana atau Hukum Pidana” yang mengatur hukum pidana di daerahnya,” usulnya.
Ia mencontohkan, pada Pasal 597 ayat (1) KUHP Nasional
(UU 1/2023) mengatur ”bahwa pelaku tindakan yang dilarang oleh hukum yang hidup
dalam masyarakat dapat dipidana”.
“Syariat adalah bagian dari masyarakat Nusantara,
selamatkan Indonesia dengan syariat. Demikian,” tutupnya menerangkan.[] Rere
