Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kesadaran Politik Gen Z Dikriminalisasi

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 05:10 WIB Last Updated 2025-10-24T22:10:16Z

TintaSiyasi.id -- Gelombang demonstrasi yang terjadi pada Agustus 2025 menyisakan luka demokrasi. Berdasarkan laporan Tempo.co, Polri menetapkan 959 orang sebagai tersangka, dan di antaranya 295 adalah anak-anak. Fakta ini memunculkan keprihatinan mendalam, sebab seperti yang disampaikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melalui Kompas (26/9/2025), proses hukum terhadap anak-anak ini tidak memenuhi standar perlindungan hukum anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Lebih jauh, Komnas HAM turut mengingatkan adanya potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penetapan status tersangka terhadap ratusan anak tersebut. Banyak di antara mereka diduga mengalami intimidasi selama proses pemeriksaan, bahkan tanpa pendampingan hukum yang layak. Fenomena ini menandakan adanya upaya pembungkaman terhadap kesadaran politik generasi muda, khususnya Generasi Z, yang mulai menunjukkan sikap kritis terhadap ketidakadilan sosial dan politik.

Generasi Z kini bukan lagi sekadar penonton di tengah hiruk pikuk politik nasional. Mereka tumbuh dalam era keterbukaan informasi, di mana segala bentuk ketimpangan sosial, korupsi, dan kebijakan elitis dapat mereka akses hanya dengan satu ketukan jari. Kesadaran ini mendorong sebagian dari mereka untuk turun ke jalan, menuntut perubahan yang lebih adil dan berpihak kepada rakyat.

Namun, alih-alih diapresiasi sebagai bentuk partisipasi politik, kesadaran politik mereka justru dikriminalisasi. Label “anarkis” disematkan tanpa melihat konteks yang lebih luas — bahwa banyak di antara mereka hanyalah peserta aksi yang mengekspresikan kekecewaan terhadap sistem yang mereka anggap tidak berpihak kepada rakyat.

Di sinilah paradoks demokrasi modern muncul: kebebasan berpendapat dijunjung tinggi secara teori, tetapi dibungkam ketika suara itu tidak sejalan dengan kepentingan penguasa. Demokrasi-Kapitalisme hanya memberi ruang bagi kritik yang aman, tidak mengancam struktur kekuasaan dan kepentingan ekonomi elit. Mereka yang berani melawan arus akan dijegal, dicap radikal, atau bahkan dikriminalisasi.

Dari Kesadaran Emosional Menuju Kesadaran Ideologis

Kemarahan dan kekecewaan Gen Z sesungguhnya berakar dari keinginan untuk memperbaiki keadaan. Akan tetapi, tanpa arah ideologis yang jelas, kesadaran itu mudah dimanipulasi dan dipelintir menjadi tindakan destruktif. Di sinilah pentingnya pendidikan politik yang benar, bukan sekadar pendidikan prosedural demokrasi, melainkan pendidikan berbasis aqidah Islam yang menumbuhkan pemahaman hakiki tentang peran manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Dalam pandangan Islam, amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang melekat pada setiap individu Muslim. Termasuk di dalamnya adalah kewajiban untuk mengoreksi penguasa ketika berbuat zalim. Hal ini bukan bentuk anarki, tetapi justru implementasi nyata dari tanggung jawab keimanan.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa zalim lalu menasihatinya, kemudian penguasa itu membunuhnya.” (HR. al-Hakim)

Dalam sistem Islam, generasi muda dibentuk dengan pendidikan yang berbasis aqidah Islam, bukan sekularisme. Mereka dididik untuk memahami realitas politik, hukum, dan ekonomi dari sudut pandang syariat, bukan kepentingan kapital.

Negara dalam sistem ini juga menjamin pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis dan berkualitas, sehingga pemuda tidak terbebani urusan ekonomi yang membuat mereka apatis terhadap politik. Dengan bekal spiritual dan intelektual yang kuat, kesadaran politik mereka akan terarah — bukan untuk merusak, melainkan untuk membangun peradaban yang diridhai Allah SWT.

Kasus kriminalisasi terhadap anak-anak dan remaja dalam demonstrasi Agustus 2025 seharusnya menjadi refleksi nasional. Ketika suara keadilan dibungkam, maka demokrasi kehilangan maknanya. Gen Z yang tumbuh dengan idealisme dan keberanian tidak semestinya dihukum karena ingin memperbaiki bangsa.
Sudah saatnya kesadaran politik mereka diarahkan pada perjuangan yang lebih mulia — bukan sekadar menggugat sistem, tetapi mengganti sistem yang rusak ini dengan tatanan Islam kaffah yang menjamin keadilan sejati bagi seluruh umat manusia.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Adliyatul Hikmah Gustian
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update