TintaSiyasi.id -- 1. Makna Sejati Gelar Sarjana
Menjadi sarjana bukanlah akhir dari perjalanan belajar, melainkan permulaan tanggung jawab yang lebih besar, yaitu menebar manfaat dan mencipta kemaslahatan.
Seorang sarjana bukan sekadar pencari kerja, tetapi seharusnya menjadi pencipta lapangan kerja, penggerak ekonomi umat, dan pelopor perubahan sosial.
Dalam pandangan Islam, ilmu tidak berhenti pada tumpukan teori, tetapi harus menumbuhkan amal dan karya. Rasulullah Saw. bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad).
Maka ukuran kesarjanaan bukan pada toga yang dikenakan, tetapi seberapa besar manfaat yang lahir dari ilmu yang dikuasainya.
2. Realitas Pendidikan Tinggi Kita
Kita patut bertanya dengan jujur:
Apakah kurikulum pendidikan tinggi kita telah mencetak pencipta kerja, atau justru hanya menyiapkan pencari kerja?
Secara konsep, arah kebijakan seperti Kampus Merdeka, Merdeka Belajar sudah mulai menumbuhkan semangat kemandirian dan kreativitas. Namun, di lapangan masih banyak kampus yang terjebak dalam rutinitas akademik. Mengejar akreditasi, mengejar IPK tinggi, tetapi melupakan esensi kemandirian ekonomi dan daya cipta.
Ruang kuliah masih dipenuhi teori, sementara dunia nyata menuntut solusi.
Mahasiswa masih sibuk menyusun skripsi formal, sementara lapangan pekerjaan semakin menyempit dan dunia usaha menuntut inovasi.
3. Arah Baru: Kampus Sebagai Inkubator Kehidupan
Pendidikan tinggi semestinya bukan hanya transfer of knowledge, melainkan wadah penciptaan solusi dan inovasi.
Kampus seharusnya menjadi inkubator kehidupan, tempat mahasiswa:
Mengasah ide menjadi karya
Mengubah ilmu menjadi nilai ekonomi
Menghidupkan potensi menjadi manfaat bagi masyarakat.
Sudah saatnya tugas akhir tidak hanya berupa skripsi teoritis, tetapi juga “business project” atau “social innovation project” yang nyata berdampak.
Kurikulum perlu membuka ruang kolaborasi lintas disiplin. Antara ilmu agama, ekonomi, teknologi, dan sosial agar lahir sarjana berjiwa pemberdaya, bukan sekadar penonton.
4. Jiwa Wirausaha dalam Bingkai Iman
Kemandirian ekonomi tidak boleh dipisahkan dari landasan iman dan akhlak.
Wirausaha sejati bukan sekadar mencari untung, melainkan mewujudkan keberkahan dan kemaslahatan.
Itulah konsep entrepreneurship Islami, bekerja dengan kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian sosial.
Seorang sarjana muslim harus mampu meneladani Rasulullah ﷺ sebagai pedagang yang amanah, sukses, dan penuh integritas.
Kemandirian tanpa iman melahirkan keserakahan, tetapi iman tanpa kemandirian melahirkan ketergantungan.
Keduanya harus berjalan seimbang.
5. Visi Pendidikan Tinggi Masa Depan
Pendidikan tinggi masa depan harus memiliki visi “Mencetak Sarjana Pemberdaya”.
Ciri-cirinya:
1. Berbasis Proyek Nyata (Real Project Learning).
Mahasiswa belajar dari persoalan masyarakat dan mencipta solusi nyata.
2. Kolaboratif dan Interdisipliner.
Setiap mahasiswa diajak bersinergi lintas bidang untuk melahirkan karya unggul.
3. Terhubung dengan Dunia Usaha dan Dunia Sosial.
Kampus menjadi mitra masyarakat dalam membangun ekonomi lokal.
4. Mengintegrasikan Iman, Ilmu, dan Amal.
Kemandirian ekonomi harus dibingkai dalam nilai-nilai takwa dan akhlak.
6. Penutup: Membangun Generasi Mandiri, Berdaya, dan Berkah
Bangsa yang kuat bukanlah bangsa dengan banyak sarjana, tetapi bangsa dengan sarjana yang menciptakan manfaat bagi sesamanya.
Sudah saatnya kurikulum kita melahirkan insan berkarakter pencipta, bukan penunggu peluang.
Kampus harus menjadi ladang lahirnya mujahid ekonomi, sarjana yang mencipta pekerjaan, menggerakkan ekonomi umat, dan menebar keberkahan di bumi Allah.
“Ilmu yang sejati adalah yang menghidupkan jiwa, menumbuhkan karya, dan menebarkan manfaat.”
Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo