Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Fatherless: Buah Pahit Kehidupan Kapitalisme-Sekuler

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 11:38 WIB Last Updated 2025-10-25T04:38:55Z
Tintasiyasi.id.com -- Fenomena fatherless atau ketiadaan peran ayah dalam kehidupan anak kini menjadi perhatian serius di Indonesia. Menurut sejumlah laporan, jutaan anak tumbuh tanpa figur ayah yang hadir secara fisik maupun psikis. 

Artikel di Kompas.id (10 Oktober 2025) berjudul “Bagaimana Dampak Ketiadaan Sosok Ayah bagi Tumbuh Kembang Anak” menyoroti bagaimana ketidakhadiran ayah dapat memengaruhi perkembangan emosional dan sosial anak. 

Sementara itu, dalam tulisan lain bertajuk “Lewat Media Sosial, Dukungan untuk Fatherless Mengalir”, berbagai kisah dan dukungan bermunculan di media sosial dari mereka yang tumbuh tanpa bimbingan ayah.

Fenomena ini tentu tidak lahir dari ruang kosong. Ia muncul sebagai akibat dari pola hidup modern yang sarat dengan tuntutan ekonomi dan nilai-nilai individualistik. Dalam sistem kapitalistik-sekuler, banyak ayah terjebak dalam kesibukan mencari nafkah hingga kehilangan waktu untuk berinteraksi dengan keluarga.

Akibatnya, anak-anak tumbuh dengan keterputusan emosional dari sosok ayah — figur yang sejatinya berperan sebagai pelindung, pendidik, dan teladan dalam rumah tangga.

Analisis

Kondisi fatherless bukan semata karena lemahnya komitmen individu, melainkan cerminan dari sistem kehidupan yang memisahkan urusan dunia dari nilai spiritual. Dalam sistem kapitalistik, keberhasilan seorang ayah sering diukur dari besarnya penghasilan, bukan kedekatannya dengan anak. 

Orientasi ini membuat banyak ayah merasa cukup dengan memberi nafkah materi, tanpa sadar bahwa anak lebih membutuhkan kehadiran dan bimbingan secara moral dan agama. 

Lebih jauh, struktur sosial yang menuntut efisiensi ekonomi menyebabkan para ayah tersita oleh pekerjaan. Mereka berangkat pagi dan pulang malam, sementara anak-anak tumbuh di bawah pengasuhan media, sekolah, atau lingkungan yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai keluarga dan agama.

Hilangnya fungsi qawwam — yakni tanggung jawab ayah sebagai pemimpin, pelindung, dan pembimbing — menjadikan banyak keluarga rapuh secara emosional.

Akibatnya, generasi muda kehilangan figur teladan dalam membangun kepribadian. Mereka mencari panutan di luar rumah, sering kali di dunia digital yang bebas nilai. Inilah buah pahit dari sistem kapitalisme-sekuler: keluarga tercerai oleh kesibukan ekonomi, sementara nilai-nilai spiritual terkikis oleh materialisme.

Konstruksi Islam sebagai Solusi

Islam memandang peran ayah dan ibu sebagai dua pilar utama dalam pembentukan karakter anak. Dalam Al-Qur’an, kisah Luqman yang memberi nasihat kepada anaknya (QS. Luqman: 13–19) menggambarkan pentingnya peran ayah sebagai pendidik dan pembimbing moral. 

Islam menempatkan ayah bukan sekadar pencari nafkah, tetapi juga pemimpin keluarga yang bertanggung jawab atas keshalihan anak-anaknya.

Sistem Islam tidak membiarkan ayah terjebak dalam tekanan ekonomi. Negara berkewajiban menyediakan lapangan kerja dengan upah layak, serta menjamin kebutuhan dasar masyarakat. Dengan demikian, seorang ayah tidak perlu mengorbankan waktu kebersamaan dengan keluarga demi bertahan hidup. Prinsip ini menjadikan rumah tangga sebagai tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak.

Selain itu, Islam juga mengatur sistem perwalian bagi anak yatim atau yang kehilangan sosok ayah. Mekanisme ini memastikan setiap anak tetap memiliki figur pelindung dan pembimbing. Dalam masyarakat Islam, tanggung jawab membina generasi bukan hanya urusan keluarga, tetapi juga kewajiban masyarakat dan negara. 

Dengan landasan seperti ini, fatherless sejatinya dapat dicegah. Ketika sistem kehidupan berpijak pada nilai-nilai ilahiah, setiap individu memahami perannya dengan seimbang — bekerja adalah ibadah, mendidik adalah amanah. Seorang ayah akan hadir bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional dan spiritual dalam kehidupan anak-anaknya.

Penutup

Fenomena fatherless menjadi alarm bagi masyarakat modern yang terlalu menuhankan materi. Sistem kapitalistik-sekuler telah melahirkan generasi yang kehilangan figur ayah, sekaligus kehilangan arah tujuan hidup. Padahal, ayah bukan hanya sumber nafkah, tetapi juga sumber nilai, kasih sayang, dan teladan bagi anak-anaknya.

Sudah saatnya kita meninjau kembali sistem kehidupan yang menjauhkan keluarga dari nilai-nilai Agama. Islam menawarkan konstruksi sosial yang utuh — menyeimbangkan tanggung jawab ekonomi dengan spiritual, dunia dengan akhirat. 

Ketika ayah kembali memegang peran qawwam sebagaimana mestinya, maka keluarga akan kembali menjadi benteng utama peradaban. Sebab, dari keluarga yang kuat dan penuh kasih sayanglah, lahir generasi yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.[]

Oleh: Rahma Inayah
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update