TintaSiyasi.id -- Beberapa waktu yang lalu, isu fatherless menjadi trending di media sosial. Hal ini dipicu oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai negara dengan angka fatherless tertinggi di dunia. Fatherless merupakan sebuah fenomena ketidakhadiran peran ayah dalam pengasuhan baik secara fisik maupun secara psikologis.
Menurut analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, sebanyak 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau fatherless. Angka ini setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia kurang dari 18 tahun. Temuan ini merujuk pada olahan data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional badan Pusat Statistik Maret 2024. (Voi.id, 11 Oktober 2025)
Maraknya fenomena fatherlees di Indonesia, memunculkan respon menanggapi kondisi fatherlees ini, baik yg mengalami maupun berbagai pandangan para ahli yang mengatakan bahwa fatherless adalah fenomena serius akibat ketidakhadiran peran ayah, yang berdampak negatif pada perkembangan anak.
Dari hasil survei kualitatif pada 16 psikolog klinis di 16 kota di Indonesia, dampak fatherless yang terjadi adalah rasa minder dan emosi/mental yang labil. Ini disebut masing-masing oleh sembilan psikolog. Adapun tujuh psikolog menjawab kenakalan remaja. Lima psikolog menyebut sulit berinteraksi sosial dan empat menjawab motivasi akademik rendah sebagai dampak berikutnya. (Kompas.id, 10 Oktober 2025)
Kondisi fatherless sendiri tidak dapat dianggap sebagai masalah yang sepele karena dapat memengaruhi berbagai aspek perkembangan anak, mulai dari emosional, sosial, hingga kognitif. Namun fenomena fatherless (generasi tanpa ayah) bukanlah kejadian yang terjadi begitu saja, melainkan akibat sistem kapitalisme sekuler yang menggeser peran ayah dari pemimpin spiritual menjadi sekadar pencari nafkah utama.
Dalam sistem ini, ayah sering kali sibuk dengan pekerjaan demi memenuhi kebutuhan material, tetapi abai terhadap peran membimbing keluarga secara spiritual dan moral, sehingga peran ini menjadi pincang dan anak kehilangan figur keseimbangan yang kokoh.
Sistem kapitalisme menanamkan ilusi bahwa keberhasilan seorang ayah diukur dari seberapa banyak ia menghasilkan materi, bukan seberapa hangat ia hadir di dalam rumahnya. Sekularisme menyingkirkan nilai spiritual, mengubah keluarga menjadi sekedar “unit ekonomi” akibatnya, banyak ayah hidup dalam dilema, hadir di rumah, tetapi jiwa tertinggal di pekerjaan atau menganggap rumah hanya ruang istirahat yang membuat lebih nyaman bergumul dengan ponsel, validasi dengan notifikasi.
Sistem kapitalistik sekuler yang menukar nilai dengan angka, cinta dengan kompetensi akibatnya ayah terseret dalam pusaran ekonomi yang menuntut waktu tanpa jeda, hingga peran Qawwam perlahan memudar, dari penjaga jiwa menjadi sekadar penyedia nafkah.
Dalam Islam, ayah dan ibu memiliki peran krusial yang saling melengkapi. Ayah bertanggung jawab sebagai pencari nafkah, pelindung, dan teladan pendidikan, sebagaimana dicontohkan dalam kisah Nabi Luqman yang menasihati anaknya tentang tauhid. Sementara itu, ibu adalah madrasah pertama yang mengasuh, menyusui, mendidik, dan menjaga keutuhan rumah tangga.
Di dalam Islam negara akan mendukung peran ayah dengan menyediakan lapangan kerja dengan gaji layak dan jaminan kehidupan dasar seperti sandang, pangan, papan serta jaminan pendidikan dan kesehatan gratis. Tujuannya adalah agar ayah memiliki lebih banyak waktu untuk bersama anak-anak mereka.
Sistem Islam menjamin kesejahteraan melalui distribusi yang adil. Dengan begitu, para ayah tidak terpaksa meninggalkan keluarganya demi bertahan hidup, tetapi diberi ruang untuk benar-benar hadir mendidik, menuntun, dan menanam nilai dalam jiwa anak-anaknya.
Sistem perwalian dalam Islam juga memastikan setiap anak memiliki figur ayah. Jika seorang anak kehilangan ayah biologis, maka wali akan mengambil alih peran perlindungan dan bimbingan. Inilah bentuk tanggung jawab negara Islam dalam mencegah anak tumbuh tanpa arah dan tanpa kasih.
Maka sudah saatnya kita mengembalikan peran ayah pada tempatnya bukan sekadar pencari nafkah, tetapi penuntun jiwa dan teladan dalam keimanan. Hanya dengan tegaknya sistem Islam secara kaffah, peran ayah kembali bersemayam di tengah keluarga dalam menumbuhkan generasi yang bukan hanya sukses, tetapi juga beriman dan bertakwa.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Sandrina Luftia
Aktivis Muslimah